Awal tahun ini kembali muncul kabar duka meninggalnya seorang bayi yang baru dilahirkan seberat 2,6 kg, di RSU Aceh Singkil, Aceh. Meninggalnya dikabarkan karena perawat di RSU Aceh Singkil tidak menangani secara profesional. Salah satunya dikarenakan tidak adanya petugas medis (perawat) yang bisa pasang infus bayi. Sebelumnya, kabar kematian seorang anak balita di Kabupaten Brebes Jawa Tengah (Jateng). Balita Icha Selfia diduga meninggal dunia lantaran ditolak pengobatannya di Puskesmas.
Hati siapa yang tidak perih menyaksikan kematian seorang balita, apalagi diduga karena kelalaian dari pelayanan kesehatan terdekat, atau mungkin karena orang tua yang teledor, pemerintah yang kurang responsif, atau bisa jadi karena tidak adanya kesadaran masyarakat sekitar membantu keluarga bayi. Terlepas bahwa itu sudah takdir Tuhan, seharusnya ada gerakan dari warga sekitar, sebagai upaya dini untuk menolong keluarga si bayi atau siapapun yang tengah menghadapi kondisi kritis.
Berdasarkan pengalaman pendampingan di beberapa desa baik di Jawa maupun luar Jawa, pemerintah desa dan masyarakat pada umumnya masih gagap menghadapi situasi darurat ketika ada warganya yang sakit. Masyarakat juga pada umumnya masih berpikir bahwa pelayanan itu selalu berada di rumah sakit maupun dalam Puskesmas. Padahal, sebenarnya pelayanan kesehatan dasar yang paling prinsipil berada di tengah komunitas. Tidak banyak yang berpikir bahwa pelayanan kesehatan secara tradisional misalnya, bisa diupayakan oleh masyarakat itu sendiri.
Lalu bagaimana caranya warga mampu melindungi dirinya sendiri dan juga lingkungan sekitarnya? Begitu banyak pembelajaran positif yang telah dilakukan sejumlah komunitas di desa-desa baik Jawa maupun luar Jawa. Pembelajaran ini juga bisa diterapkan di desa-desa lain.
Pengelolaan Pelayanan Kesehatan Berbasis Desa
Saat ini belum semua desa mengenal praktik pengelolaan kesehatan berbasis masyarakat. Pengelolaan kesehatan ini salah satu tujuannya adalah mencoba menemukenali kebutuhan dasar masyarakat tentang kesehatan. Selain itu, membantu masyarakat dalam mengatasi kesulitan memperoleh pelayanan kesehatan dasar, yang setiap saat dibutuhkan. Yang juga sangat penting adalah meningkatkan kepercayaan diri masyarakat dalam berpartisipasi dan mengontrol kualitas pelayanan yang diberikan. Baik oleh dokter maupun bidan, sehingga hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas tetap terjamin. Artinya di sini ada upaya untuk meningkatkan posisi tawar masyarakat desa.
Meskipun kini sejumlah desa sudah mulai memiliki Poliklinik Bersalin Desa, Pos Kesehatan Desa (PKD) dan Posyandu menjadi otoritas desa, tetapi tidak sepenuhnya menjadi milik desa. Tetap ada pola “urusan bersama” antara desa dengan supra desa untuk mengelola tiga jenis institusi pelayanan kesehatan tersebut. Perencanaan, pengelolaan dan pendanaan atas Poliklinik Bersalin Desa, Pos Kesehatan Desa dan Posyandu merupakan kewenangan desa, sedangkan pembinaan teknis merupakan kewenangan dinas kesehatan.
Peningkatan kesehatan warga tentu tidak cukup hanya dilihat dari sisi kelembagaan itu. Kesehatan berbasis desa mengandung kewenangan, kebijakan, gerakan, kelembagaan, sumberdaya manusia dan pelayanan yang melibatkan aksi kolektif antara pemerintah desa dan masyarakat. Kebijakan desa merupakan pintu masuk dan pengikat bersama pelayanan kesehatan. Praktik pengelolaan pelayanan kesehatan berbasis desa contohnya seperti praktik pembelajaran di desa-desa Sumba Timur, Sumba Tengah, dan Kupang (Sutoro Eko, 2014).
Desa-desa di Sumba Timur telah memiliki Perdes tentang Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Perdes ini mengatur dan mewajibkan semua ibu hamil melahirkan di sarana kesehatan dan anak balita dibawa ke posyandu. Jadwal pemeriksaan rutin juga disepakati bersama masyarakat. Selain itu Perdes ini juga mengatur dan mendorong gerakan warga tentang penyediaan dana sehat ibu melahirkan (Dasolin) yang sewaktu-waktu dapat digunakan jika ada ibu yang melahirkan maupun dalam bentuk tabungan untuk ibu melahirkan (Tabulin).
Di Desa Tana Modu, Sumba Tengah, ada dua kegiatan yang digerakkan desa yaitu gerakan WC sehat, gerakan gizi anak balita, dan pengelolaan air bersih. Sejak tahun 2012 desa membuat seruan pentingnya membangun WC Sehat secara swadaya. Semua lembaga desa termasuk Karang Taruna, LPM, dan PKK, dilibatkan untuk fasilitasi dan memantau jalannya kegiatan. Peran Posandu juga bukan hanya dalam penimbagan bayi, imunisasi dan pemberian makanan tambahan, tetapi mengalani penguatan yang mengarah pada: Pelayanan kesehtan ibu dan anak (KIA), pelayanan keluarga berencana (KB), pelayanan imunisasi, pelayanan gizi, pelayanan penanggulangan diare, gerakan PHBS, pengembangan obat tradisional.
Di Desa Oleominana, Kupang, para kader perempuan melakukan gerakan membentuk jejaring siaga dusun, melakukan survei mawas diri untuk menunjukkan jejaring siaga dusun, melakukan survei mawas diri untuk menunjukkan kualitas keehatan desa, menghimpung dasoli (Dana solidaritas ibu bersalin) dan tabulin (tabungan ibu bersalin). Desa Kasetnana, menghadirkan inovasi dan revitalisasi dan revitalisasi posyandu sebagai pusat informasi dan konseling bagi anak dan perempuan.
Pengembangan Aset Lokal untuk Kesehatan Warga
Di sejumlah desa, praktik pengembangan aset lokal untuk kesehatan warga sebenarnya sudah dilakukan. Biasanya dipelopori oleh kelompok perempuan terutama Kelompok Wanita Tani (KWT), salah satunya melalui program pengembangan tanaman obat keluarga (Toga). Seperti praktik di salah satu Dusun di Ende, Sulawesi Tenggara. Desa tersebut pernah mengalami tingkat gizi buruk yang tinggi.
Upaya mencukupi gizi warga dusun di Ende tersebut adalah melalui penanaman sayur-sayuran. Hasilnya, sayur-sayuran ini kemudian dibagikan ke warga. Dalam jangka waku tiga tahun, sebagian besar warga desa tersebut sudah mulai menanam sayuran. Bahkan sekarang mereka sudah menikmati kelebihan hasil panen. Sayuran dari daerah itu juga sudah mulai dikirim ke daerah-daerah lain. Persoalan gizi mulai bisa diatasi sejalan dengan peningkatan ekonomi. Melalui sebuah program pendampingan, para ibu rumah tangga dan petugas posyandu digerakkan untuk mengolah makanan lokal pengganti nasi. Ternyata mereka sangat mampu. Warga pun berhasil mengolah makanan yang bergizi, yang berasal dari lingkungan mereka sendiri (Erni, MERDESA, 2016).
Mendorong pelayanan kesehatan terutama bagi rakyat miskin harus mengembangkan aset-aset lokal yang ada. Di sinilah pentingnya mengenal potensi lokal yang ada. Masyarakat desa seharusnya dapat memanfaatkan sumber daya alam yang ada di lingkungan mereka untuk kesehatan. Misalnya melalui sektor pertanian, bukan hanya dipandang sebagai sumber pangan atau ekonomi, tetapi juga sumber kesehatan. Padangan seperti ini, akan mengubah cara masyarakat dalam memperlakukan tanaman. Dengan demikian, upaya untuk menjaga masyarakat tidak sakit akan lebih diperhatikan.
Dari pembelajaran desa-desa tersebut, tentu pengembangan kapasitas warga seperti ini jauh lebih baik daripada mengharapkan bantuan dari luar. Khususnya upaya menggerakkan partisipasi aktif warga desa untuk menyejahterakan dirinya sendiri.