Kamis, Oktober 10, 2024

Agama dalam Tanda Tanya

Rachmat Hidayat
Rachmat Hidayat
Guru matematika yang hobi menulis. Lulus dari pascasarjana pendidikan menyadarkan saya pentingnya berbagi ilmu. Tertarik dengan banyak hal mulai agama, sains, politik, film dll.

“What Has Religion Done For Mankind?” Apa yang sudah dilakukan agama untuk umat manusia? Pertanyaan itu adalah judul dari sebuah buku yang menginspirasi saya untuk tulisan ini. Saya tidak hendak membahas buku itu.

Berat, kita gak akan kuat. Saya hanya akan mengajak kita semua untuk memikirkan beberapa hal untuk menjawab pertanyaan tersebut dari berbagai sudut pandang yang umum kita ketahui.

Untuk apa Agama? Sebagian orang akan menganggap bahwa pertanyaan itu konyol atau mungkin pertanyaan murtad dari orang yang kehilangan imannya. Tapi, menurut saya, pertanyaan itu menjadi penting untuk mengkaji bagaimana kita memperlakukan agama. Apakah agama telah kita fungsikan sebagaimana mestinya.

Bagi saya, agama tidak bisa dipandang sebagai subjek yang serta merta bisa mengubah manusia menuju arah yang lebih baik. Ia harus dipandang sebagai objek, dimana fungsinya ditentukan oleh para penganutnya.

Jadi, saya tanyakan lagi, untuk apa agama? Jika kita mengacu pada beberapa kitab suci atau teks-teks kuno dari setiap agama, maka kita akan menemukan kesimpulan bahwa agama sejatinya ada untuk membuat manusia menjadi lebih baik dan teratur. Karena agama tidak lain adalah seperangkat aturan yang mengatur tindakan manusia menuju diri mereka yang lebih baik.

Benarkah? Sekali lagi, untuk apa agama? Jika kita mau mencari jawaban yang ilmiah, kita bisa menemukannya di buku Sapiens karangan Yuval Noah Harari. Dalam buku itu, agama adalah salah satu dari tiga hal yang menyatukan umat manusia.

Agama adalah alat unifikasi yang cukup efisien. Bayangkan dalam beberapa abad saja agama dapat menyatukan orang eropa di bawah panji kekristenan. Ia juga berhasil menjadi pemersatu bangsa-bangsa di timur tengah di bawah naungan Islam.

Dua orang yang berasal dari bangsa dan bahasa yang berbeda bisa dengan mudah bersatu dan bekerja sama karena alasan seagama. Lihatlah berapa banyak orang berkumpul dari berbagai macam ras dan bangsa yang berbeda bisa begitu teratur mengelilingi ka’bah. Atau bagimana ribuan orang yang tidak saling mengenal bisa hadir dalam acara malam natal dengan tertib dan penuh kekeluargaan di Vatikan. Semua itu karena mereka seagama.

Seperti itu kah? Jika kita mengharap jawaban dari beberapa filsuf yang religius seperti Kant, Aquinas, atau Pascal, kita akan menemukan jawaban bahwa agama adalah tempat untuk melandaskan moral kita sebagai manusia. Seseorang dapat dikatakan bermoral jika ia dapat menjalankan agamanya dengan baik. Ajaran-ajaran moral menurut mereka adalah bersumber dari Tuhan.

Tentu, tidak semua filsuf menganggap demikian. Bapak para filsuf dunia, Plato justru mempertanyakan keterkaitan antara moral dan Tuhan melalui Euthyphro Dilemma, “Is the pious loved by the gods because it is pious, or is it pious because it is loved by the gods?”. Filsuf lain yang mempertanyakan hal semacam itu adalah Epicurus melalui “The Problem of Evil”.

Benarkah kita tak bisa bermoral tanpa agama? Orang ateis tak akan menjawab “tidak”. Menurut mereka, moral tidak selalu berkaitan dengan agama. Mereka mengkritisi keterkaitan moral dan agama. Pertanyaan yang sering mereka lontarkan adalah apakah perang yang menewaskan ribuan atau jutaan orang atas nama agama dapat dikatakan bermoral?

Ali A. Rizvi, seorang yang mengaku muslim ateis menyatakan dalam bukunya The Muslim Atheis bahwa moral tidak terkait dengan agama. Baginya, moral lebih kepada “lakukan apa yang kau inginkan dari yang orang lain lakukan kepadamu, dan jangan lakukan apa yang tidak kau inginkan dari orang lain lakukan kepadamu”.

Banyak Ateis justru menganggap bahwa agama hanyalah cara paling gampang bagi manusia untuk menjawab pertanyaan yang tidak (belum) bisa dijelaskan secara ilmiah. Orang dulu menganggap matahari dewa, karena mereka tidak tahu bahwa matahari hanyalah sekumpulan hydrogen dan helium yang panas.

Seremeh itu kah agama? Jika kita mau menilik sejarah, beberapa agama-agama kuno memang hadir untuk menambah kepercayaan diri manusia. Ketika manusia menyadari bahwa diri mereka lemah dan ada begitu banyak hal diluar kuasa mereka. Maka mereka mulai mempercayai kekuatan di luar kuasa mereka, kemudian menciptakan, menamai dan menyembah tuhan-tuhan mereka.

Ketika manusia merasa bahwa panen mereka sangat tergantung terhadap panas matahari mereka mulai menjadikan matahari sebagai tuhannya. Kemudian, ketika manusia sadar bahwa panen mereka juga sangat bergantung pada kesuburan tanah mereka mulai mempersonalisasi kesuburan menjadi dewi-dewi kesuburan. Misalnya dewi Isis dari kebudayaan Mesir, Freyr dari Nordik, dan Demeter dari Yunani

Benarkah sesimple itu agama bagi manusia? Ada penjelasan yang mungkin lebih rumit. Jawaban yang bisa kita peroleh dari kehidupan manusia dan segala tindak tanduknya.

Bagi beberapa manusia, sengaja atau tidak, agama adalah alat justifikasi dan klasifikasi. Tidak jarang kita menganggap baik buruknya seseorang dari tampilan keagaamaannya. Seorang bertato sering kali dipandang lebih rendah dari seorang berjubah putih.

Sering juga kita menggolong-golongkan manusia sesuai kemampuan agamanya. Seorang anak putri pemuka agama dengan seabrek ilmunya tentu tak layak bersanding dengan anak petani yang cuma tahu cara menanam ketela. Mereka berdua sudah berbeda kasta. Mempertemukan keduanya barangkali hanya ada di sinetron FTV Belaka.

Benarkah? Senaif itu kah mereka memfungsikan agama? Ada yang lebih buruk. Bagi beberapa manusia, agama adalah alat untuk mencari makan. Tidak jarang bukan, kita mendengar pengajian berbayar (bertarif) yang menjadikan surga sebagai iming-imingnya seolah mereka adalah pemegang kuncinya.

Tak jarang praktik-praktik keagamaan dibumbui sedikit mistis untuk mengeruk uang para pengunjung yang butuh beberapa wejangan untuk masalah mereka, sumbanglah maka masalahmu selesai, atau bersedakahlah sebanyak-banyaknya niscaya penyakitmu akan hilang.

Benarkah sekotor itu agama difungsikan? Yang paling kotor barang kali adalah menggunakan agama dalam politik praktis. Dikotomi pada istilah partai Allah dan partai setan adalah penggunaan agama yang paling menjijikkan. Seoalah Tuhan mereka seret dalam pertempuran politik yang penuh intrik dan tipu daya. Manusia-manusia yang nir-akal itu sudah berlagak seperti Tuhan untuk mengarahkan rakyat menggunakan suara sesuai nafsu berkuasanya.

Benarkah sebengis itu mereka menganggap agama? Sila dipikirkan lagi. Saya tidak hendak membuat kesimpulan dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Saya hanya ingin mengajak kita melakukan swarefleksi tentang cara kita memperlakukan agama. Untuk itu, ijinkan saya sedikit mengubah pertanyaan saya sekarang, “untuk apa agama bagi anda?”.

Apapun jawaban anda, kita pasti sepakat satu hal bahwa dunia tidak akan menjadi seperti sekarang ini tanpa Agama.

Rachmat Hidayat
Rachmat Hidayat
Guru matematika yang hobi menulis. Lulus dari pascasarjana pendidikan menyadarkan saya pentingnya berbagi ilmu. Tertarik dengan banyak hal mulai agama, sains, politik, film dll.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.