Tahun 2018 adalah tahun politik. Khususnya di Jawa Timur, pada tahun 2018 akan diselenggarakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Pada tahun yang sama, dari 38 daerah kabupaten/kota, sebanyak 18 kabupaten/kota akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada). Sementara itu pada tahun 2019, Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan presiden.
Aroma dan hiruk-pikuk politik ini bahkan sudah bisa dirasakan sekarang, tidak saja secara nyata, tetapi juga di berbagai media sosial. Media sosial menjadi sarana pendukung utama dalam kampanye politik karena tingginya jumlah pengguna di tanah air.
Ketua KPU Arief Budiman mensinyalir potensi konflik pilkada 2018 cukup tinggi. Alasannya adalah kompetisi yang sangat ketat antar peserta, uang yang terlibat dan beredar cukup banyak, dan jumlah pemilih yang diperebutkan juga banyak (detik online). Abdul Ghofur, Direktur Eksekutif Rubik, menyampaikan lima jenis konflik yang berpotensi terjadi dalam pilkada, yakni: konflik internal penyelenggara, konflik antar-penyelenggara, konflik antar peserta pemilu, konflik penyelenggara dengan masyarakat, dan konflik antar masyarakat pendukung (Kompas online).
Di antara konflik-konflik di atas, konflik yang berbahaya dan mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa adalah utamanya konflik antar masyarakat pendukung, walaupun konflik ini sesungguhnya adalah turunan dari konflik antar peserta pemilu. Konflik ini mempunyai eskalasi yang luas – apalagi ditumpangi oleh provokator – dan biasanya mempunyai dampak psikologis yang panjang, bahkan ketika pemilu/pilkada telah usai.
Potensi terbesar pemicu Konflik horizontal adalah dibawanya isu sara (baca: agama) dalam ranah politik praktis. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat religious dan agama adalah alat sangat ampuh dan sensitif untuk menggalang dan memobilisasi massa. Apalagi, dengan menguatnya tren islamisme yang tidak menarik garis batas antara agama dan politik.
Kasus pilgub DKI belum lama ini misalnya, bagaimana isu dan agama dimainkan untuk mempengaruhi dan mengarahkan opini publik. Di antara contoh konkritnya adalah pemasangan spanduk di banyak tempat yang berisi ancaman tidak akan mengurus jenazah muslim yang memilih pasangan gubernur yang kebetulan non-muslim.
Kasus politisasi agama rentan terjadi di mana saja dan kapan saja. Persoalan ini seolah menjadi benang kusut yang sulit untuk diurai. Persoalan ini melibatkan banyak pihak: peserta pemilu yang berambisi untuk menang dengan segala cara, tokoh-tokoh agama dan masyarakat yang “suka” terseret dalam arus politik untuk memenangkan kontestan politik tertentu, penyelenggara negara yang belum bisa tegas menjalan sistem pemilu yang jurdil, dan masyarakat yang belum tercerahkan dalam persoalan politik (relasi agama dan politik).
Politics of Maqashid Versus Politics of Formalist Syariah
Ulil Abshar Abdalla dalam seminar “Islam dan Politik Praktis” di Pascasarjana IAIN Ponorogo (12 Desember 2017) memetakan paradigma politik umat Islam menjadi: kelompok “maksimalis” dan “minimalis”. Kelompok maksimalis diwakili syiah yang melihat imamah dan politik sebagai qadhiyah al-ushul (masalah pokok agama).
Syiah melihat agama harus melakukan kontrol secara ketat praksis politik. Otoritas agama dan politik menyatu dalam kepemimpinan seorang imam yang dinilai ma’shum. Berbeda dengan Syiah, Sunni mewakili kelompok minimalis. Sunni melihat persoalan politik sebagai qadhiyah al-wasa’il (persoalan komplementer). Artinya, agama bisa memberikan ruang bagi otoritas non-keagamaan dalam praksis politik.
Peta paradigma politik di atas menurut Ulil bisa dipakai untuk melihat praksis politik umat Islam di Indonesia, sungguh pun mereka berafiliasi pada kelompok sunni. Mereka yang berideologi HTI adalah kelompok maksimalis yang menghendaki formalisasi syariah, utamanya dalam bentuk politik kenegaraan (baca: khilafah). Kelompok ini melihat sistem demokrasi adalah sistem “kufur” yang mereduksi agama dalam peran yang marginal. Sementara NU dan Muhammadiyah adalah mewakili kelompok minimalis.
Kelompok ini meyakini Islam tidak memberikan aturan baku tentang politik dan bentuk pemerintahan. Islam hanya memberikan prinsip, nilai, dan moralitas yang memandu praksis politik. Bentuk dan sistem politik adalah wilayah ijtihad yang mengakomodasi realitas dan pengalaman umat Islam kontemporer. Gus Dur dalam hal ini menegaskan bahwa Islam adalah sistem komplementer yang melengkapi sistem-sistem yang sudah ada, Islam bukan ideologi alternatif.
Kelompok minimalis melihat syariah tidak pada aspek legal-formal sebagaimana kelompok maksimalis, akan tetapi pada sudut pandang maqashid al-shariah. Formalisasi syariah (dalam politik) menurut kelompok minimalis hanya “pepesan kosong” tatkala Islam hanya direduksi dalam simbol dan identitas politik yang sesungguhnya hanya untuk politik kekuasaaan, bukan politik kerakyatan. Yang terjadi justru agama kehilangan sakralitasnya (ideal-moral) yang mengancam harmoni kemajemukan yang sudah niscaya menjadi fitrah bersama.
Tantangan dan Harapan
Harus diakui praksis politik di Indonesia masih jauh dari berkeadaban. Politik identitas, politik uang, dan politik dinasti, misalnya, masih menghiasi praksis politik tanah air. Praktek-praktek kotor ini dilakukan oleh umat Islam dan partai politik yang mengatasnamakan Islam sekalipun. Agama menjadi komoditas politik yang diperdagangkan untuk kepentingan kekuasaan. Akibatnya, konflik dan peseturuan rentan terjadi, utamanya antar peserta pemilu.
Dalam konteks di atas, edukasi politik berkeadaban harus terus digalakkan. Walaupun Indonesia secara formal bukan negara Islam atau khilafah, tetapi sistem demokrasi keindonesiaan memberikan ruang gerak yang cukup bagi perkembangan agama.
Tentu bukan agama dalam makna identitas dan simbol, akan tetapi agama dalam makna yang lebih subtantif. Maka, peran agama justru dibutuhkan dalam menjaga dan merawat moralitas politik. Agama harus ditampilkan dalam pesan-pesan yang bersifat profetis (ideal-moral) untuk merespon fenomena politik kekuasaan dan agamaisasi politik akhir-akhir ini.
Selanjutnya, harus diakui kelompok terbesar di Indonesia adalah muslim. Karena itu sewajarnya umat Islam mendapatkan porsi aspirasi politik yang memadahi. Tetapi aspirasi politik yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan prinsip demokrasi, NKRI dan kemajemukan bangsa. Selama ini banyak kelompok yang memanfaatkan demokrasi keindonesiaan untuk tujuan yang melawan hukum.
Karena itu, menjadi penting untuk selalu mewacanakan kompatibilitas ajaran Islam dengan demokrasi. Tatkala praksis politik masih penuh kegaduhan, bukan sistemnya yang salah, tetapi para pelakunya yang mindsetnya masih terbelah dalam melihat Islam dan demokrasi keindonesiaan. Wallah A’lam.