Sabtu, April 20, 2024

Agama dalam Bayang-Bayang Teror #1

Henrikus Setya Adi Pratama
Henrikus Setya Adi Pratama
Pendiri Sekolah Komunitas Bhinneka Ceria. Penikmat musik Rap dan tukang gosip skena

Sepanjang tahun kita telah melihat dan mengalami berbagai kejadian teror. Sejak tahun 2010, telah terjadi konflik berlatarbelakang agama, baik antar maupun inter. Mulai dari pelarangan dan sengketan pendirian tempat ibadah, penyerangan komunitas Ahmadiyah penusukan seorang pendeta di Bekasi dan pemukulan Ulama. Belum cukup sampai disitu, Agama juga direpresentasikan dalam beberapa aksi terror melalui tindakan pengeboman yang mengakibatkan banyak korban.

Berbagai reaksi kecaman muncul dari masyarakat. Alih-alih menutupi tindakan kekerasan dan teror yang terjadi. Beberapa pihak menyebutkan tindakan itu muncul karena terdapat oknum yang memanfaatkan agama untuk kepentingan politik maupun golongan tertentu. Mereka berdalih bahwa agama tidak pernah menganjurkan kekerasan dan pembunuhan. Sebaliknya, agama mengajarkan manusia untuk hidup rukun, damai, saling menghormati dan menganjurkan kebaikan.

Namun, sejarah telah membuktikan bahwa agama selalu dekat dengan konflik dan kekerasan. Perang salib yang melibatkan dua benua telah berlangsung sejak 1090an, Perseteruan antara Katolik dan Protestan di Eropa pada abad ke 17, Konflik Hindu dan Islam antara Pakistan dan India, Konflik Budha dan Islam di Myanmar, serta banyak konflik lainnya yang memang berlatarbelakang agama. Hal ini dapat menjadi keretanan agama untuk selalu masuk dalam pusaran konflik dan kekerasan.

Perlu diakui bahwa agama terbentuk melalui proses sejarah yang panjang. Agama saling bertemu dan bercampur dengan adat dan budaya yang ada di masyarakat. Kemudian, agama muncul sebagai realitas sosial yang telah diberi bentuk melalui aktifitas dan kesadaran manusia. Sehingga, agama sebagai realitas sosial tidak bisa dipisahkan dari manusia. Agama memiliki makna yang luas mulai dari gagasan, pengalaman hingga praktik yang menjelma menjadi tindakan sosial.

Beberapa fenomena yang terjadi menunjukan pula bahwa tindakan kekerasan dan teror telah dimasuki semacam mekanisme ideologi didalamnya. Menurut Haryatmoko, Dalam hal ini ajaran agama kemudian dijadikan sebagai landasan dari ideologi tersebut. Hal ini dikarenakan semua upaya untuk memahami secara sistematis tindakan sosial tidak bisa dilepaskan dari fenomena ideologi.

Tafsir Kekerasan

Agama dalam kerangka ideologi menwujud dalam bentuk tindakan. Menurut Haryatmoko, Suatu kelompok sosial masyarakat cenderung ingin menunjukkan identitasnya atau merepresentasikan dirinya. Alasan kecenderungan ini karena pada dasarnya tindakan yang bermakna akan selalu memperhitungkan reaksi orang lain atau kelompok lain, entah apakah reaksi itu melawan, menyumbangkan sesuatu atau mendukungnya.

Agama menjadi menjadi rentan dimanfaatkan dan dieksploitasi untuk kepentingan kelompok maupun kekuasaan. Kejadian terror bom bisa berarti upaya kelompok tertentu untuk menanamkan dominasinya di dalam masyarakat. Hal itu juga tidak lepas dari dari hal-hal yang bernuansa politis yang cenderung disertai dengan tindak kejahatan. Hal tersebut juga dapat disebabkan kondisi struktur sosial politik oleh pemegang kekuasaan yang juga melakukan kekerasan secara sewenang-wenang atas dasar monopoli legitimasi.

Teror muncul dalam kondisi struktur sosial politik yang telah berulang kali mepertontonkan praktik kekerasan. Hal ini nampak dalam perilaku politik yang menggunakan agama sebagai alat kepentingan politik. Para pemegang legitimasi atas agama terus memproduksi cara pandang oposisi biner dan vis a vis yang memunculkan tindakan menafikan atau menyalahkan keyakinan dan keimanan yang lain.

Agama sendiri dipahami oleh Bourdieu sebagai sebuah gagasan yang memberi kekuatan yang memobilisasi. Sehingga dalam hal ini, sangat memliki potensi untuk melakukan tindakan kekerasan sebagai sebuah alat dominasi politik keagamaan.

Dalam kekuatannya memobilisasi agama menjelma menjadi hasrat Mimesis atau sebuah proses peniruan melalui praktik menafikan maupun tindakan kekerasan, Hasrat mimesis inilah yang kemudian banyak muncul dalam beberapa tindakan masyarakat. Tanpa sadar, tindakan-tindakan tersebut menjadi pemicu aksi terror yang terjadi.

Henrikus Setya Adi Pratama
Henrikus Setya Adi Pratama
Pendiri Sekolah Komunitas Bhinneka Ceria. Penikmat musik Rap dan tukang gosip skena
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.