Dua hari yang lalu, saya mendapat pesan Whatsapp dari ibu saya. Isinya tentang pencabutan izin untuk produk Albothyl disertai pesan penting yang meminta penerima pesan memberitahu keluarga, kerabat, dan orang-orang untuk tidak menggunakan obat tersebut. Disebutkan pula dalam pesan itu bahwa obat tersebut berfungsi membuat sel nekrosis (sel-sel tubuh mati). Jadi bukan menyembuhkan, tapi dibuat mati!
Pesan belum selesai dan dilanjutkan dengan keterangan bahwa sudah banyak korban yang menggunakan obat tersebut dan mengalami kanker lidah. Pesan diakhiri dengan keterangan bahwa penggunaan obat tersebut di luar negeri hanya untuk hewan.
Baiklah, bahkan ibu saya, ibu dari 2 orang anak bergelar apoteker, termakan juga oleh pesan Whatsapp yang kalau itu dilihat lagi malah lucu. Kalau ibu saya kena, bagaimana nasib ibu-ibu lainnya?
Kebetulan, pada saat yang sama sedang tayang salah satu film yang ditunggu-tunggu masyarakat karena sifatnya yang merupakan sekuel film laris banget pada zamannya, Eiffel I’m In Love 2.
Seketika saya merasa bahwa hubungan masyarakat dengan info-info sebagaimana yang diterima oleh ibu saya itu persis sama dengan hubungan Adit dan Tita. Gemas-gemas banyak salah kaprahnya, gitu.
Sebagian remaja awal 2000-an begitu mengenal kisah Adit dan Tita sejak novel Eiffel I’m In Love pertama kali beredar dan kemudian booming hingga filmnya bikin antrean di almarhum bioskop Mataram Jogja pada tahun 2003 benar-benar seperti mencari awul di Sekaten. Hubungan keduanya tidak lebih dari suka, sayang-sayangan, berantem, tapi sayang, terus berantem lagi, dan seterusnya.
Demikianlah kiranya masyarakat kekinian menjadi seorang Adit, manusia yang cuek dan ketus, bahkan kepada informasi penting yang bikin gemas—ya, anggap saja ini Tita. Akan tetapi, meski cuek dan ketus, masyarakat tetap peduli pada informasi-informasi penting itu. Sayang, bahkan.
Maka jangan heran jika kemudian pertentangan di masyarakat seketika muncul soal Albothyl yang dibekukan izin edarnya. Status-status bermunculan, termasuk juga unggahan video dari Hotman Paris, yang beriringan dengan beredarnya video buah uang dari Bu Dendy. Kita tahu, sebagaimana di atas langit masih ada langit, maka di atas Bu Dendy yang kaya raya itu, masih ada Hotman Paris.
Nah, sebagaimana hubungan Adit dan Tita selalu pulih, ada baiknya saya memaparkan beberapa hal yang bikin masyarakat agak salah kaprah soal informasi yang beredar tentang Albothyl ini. Siapa tahu nanti akur lagi sebagaimana Adit dan Tita di bawah menara Eiffel.
BPOM Kemana Saja, Kok Baru Ketahuan?
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan rilis pada tanggal 15 Februari 2018 dengan judul “Isu Keamanan Obat Mengandung Policresulen Cairan Obat Luar Konsentrat”.
Dalam rilis tersebut disampaikan bahwa Albothyl merupakan obat bebas terbatas berupa cairan obat luar yang mengandung policresulen konsentrat dan digunakan untuk hemostatik dan antiseptik pada saat pembedahan, serta penggunaan pada kulit, telinga, hidung, tenggorokan (THT), sariawan, gigi, dan vaginal (ginekologi).
Sebagaimana juga obat-obat lainnya, BPOM sebagai lembaga yang diamanahi tugas pengawasan, secara rutin melakukan pengawasan keamanan obat beredar melalui sistem farmakovigilans untuk memastikan bahwa obat yang beredar tetap memenuhi keamanan, kemanfaatan, dan mutu.
Farmakovigilans sendiri adalah seluruh kegiatan tentang pendeteksian, penilaian, pemahaman, dan pencegahan egek samping atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat. Khusus, Albothyl, selama 2 tahun terakhir, BPOM menerima 38 laporan dari profesional kesehatan yang menerima pasien dengan keluhan efek samping obat Albothyl untuk penggunaan sariawan.
Diantaranya, terdapat efek samping serius yaitu sariawan yang membesar dan berlubang hingga menyebabkan infeksi. Ya, serius, sih, tapi nggak ada kanker-kankeran. Saya pengen nyumpahi yang nipu Ibu saya dengan broadcast tadi, tapi kok takut dosa.
BPOM kemudian bersama ahli farmakologi dari universitas serta klinisi dari asosiasi profesi terkait melakukan pengkajian aspek keamanan obat yang mengandung policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat dan kemudian diputuskan bahwa tidak boleh digunakan sebagai hemostatik dan antiseptik pada saat pembedahan serta penggunaan pada kulit (dermatologi); telinga, hidung, dan tenggorokan (THT); sariawan (stomatitis aftosa); dan gigi (odontologi).
Maka, kalau pada bertanya ‘BPOM kemana?’, jawabannya adalah pembekuan izin edar seluruh cairan obat luar konsentrat—tidak hanya Albothyl—hingga perbaikan indikasi yang diajukan disetujui. Jadi ditarik untuk memperbaiki indikasi, tidak lagi mencantumkan segala yang dilarang sebagai indikasi.
Oya, lebih baik bagi kita untuk bertanya, Adit itu kemana aja selama 12 tahun membiarkan gadis secantik Tita melajang nggak kawin-kawin, bahkan harus nunggu disamperin ke Paris baru dilamar. Kemana aja, dit?
Kok Baru Sekarang?
Lagi-lagi, pertanyaan ini patut dikasih kepada Adit. Kok baru sekarang berani melamar Tita, ehm, sesudah belasan tahun? Sudah tahu kalau di Indonesia ada gerakan #IndonesiaTanpaPacaran, ini malah pacaran, LDR pula, nggak nikah-nikah pula.
Pernah mendengar obat bernama Sibutramine, Rimonabant, atau Alatrofloxacin? Semestinya nggak, soalnya obat-obatan tersebut telah ditarik di seluruh dunia. Jadi dalam belasan tahun LDR yang dijalani oleh Adit dan Tita, ada banyak hal yang berubah. Tidak hanya Presiden Indonesia sudah ganti 2 kali, tapi juga ada obat-obatan yang ditarik dari peredaran sebagai hasil dari farmakovigilans.
Alatrofloxacin ditarik pada tahun 2006 karena toksik pada hati, Rimonanbant tahun 2008 karena memiliki risiko depresi, dan Sibutramine, si obat diet, ditarik tahun 2010 karena risiko serangan jantung.
Dunia kesehatan juga mengenal Cerivastatin, obat untuk kolesterol berlebih, yang ditarik 10 tahun pasca dipasarkan karena diketahui dapat merusak ginjal. Atau yang cukup akrab bagi kita, Phenyl Propanol Amin (PPA), kandungan mantap pada obat pilek ini dulunya memiliki dosis 25 miligram.
Kini tidak lebih dari 15 miligram karena diketahui dapat meningkatkan tekanan darah dan kontraksi jantung yang membahayakan pada pasien yang mengidap penyakit jantung atau tekanan darah tinggi.
Atau juga obat bermerk Vioxx, obat anti inflamasi non steroid yang punya kandungan Rofecoxib. Obat ini mulai dipasarkan pada 20 Mei 1999 sesudah mendapat persetujuan dari US FDA, BPOM-nya Amerika. Namanya juga obat untuk nyeri, langsung laris manis. Eh, pada Februari 2001, US FDA menerima laporan peningkatan risiko serangan jantung dan stroke pada pasien yang menerima pengobatan Vioxx jangka panjang 2 kali lebih besar dibandingkan Naproxen—kompetitornya kala itu. Walhasil, tahun 2004, obat itu lantas tiada.
Maka, wahai netizen yang budiman dan selalu benar, ada baiknya kita menjadi sedikit lebih jeli. Jangan mempertanyakan kerja lembaga pemerintah kalau kita menjadi ngeh pada suatu masalah karena hasil dari kerja lembaga pemerintah itu sendiri. Apalagi sebenarnya penarikan obat karena pemantauan efek samping adalah hal yang wajar dan biasa di kancah kefarmasian.
Yang tidak biasa apa dong? Ya itu tadi, Adit sama Tita, LDR belasan tahun, putus nggak, kawin nggak.