Sabtu, April 20, 2024

Adilkah Peppu Ormas?

Sardjito Ibnuqoyyim
Sardjito Ibnuqoyyim
Penulis Misantropis

Sebagai seorang negarawan yang budiman tak sepantasnya kita menilai terlalu buruk peraturan dadakan tersebut. Walaupun itu terjadi saat ini dan sudah dinyatakan secara sah, tak sebaiknya kita melihatnya sebelah mata saja.

Sebagaimana diketahui di Indonesia, dunia politik serba serbi berlandaskan materi dan kekuasaan. Itu bisa ditandai dengan lahirnya para koruptor, belum lagi yang masih belum terungkap hingga kini. Sehingga kita mudah saja menutup mata kita pada dunia politik.

Perppu ini memang sebaiknya dilihat lebih mendalam. Kenapa dan apa? Jika dua kata itu ditanyakan kepada sebuah kasus, maka hasilnya bukan lagi dua kata tersebut tapi siapa?

Kasus Islamisme di Indonesia memang tak bisa lagi dikatakan bukan sebuah gerakan politis. Gerakan itu memang ditandai dengan hadirnya isu 212 dan sampai 123456. Menurut penulis juga tak sebaiknya kita menilainya itu sebagai sesuatu yang buruk, tapi melainkan sebuah tindakan sosialis. Bagaimana menjalankan massa agar para pemerintah bisa mengatakannya di depan umum itu termasuk gerakan yang sosialita.

Namun, pada dasarnya isu yang terakhir ini bisa dinilai bagus jika kita ingin mengatakan negara sudah menjalankan peraturan sebagaimana seharusnya. “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, ungkapan itu merupakan ungkapan agung sosialisme. Jika perppu ini berminat untuk membungkam para ormas dalam menjalankan Islamisme yang dapat mengundang kerusakan maka wajib dihilangkan, karena dapat mengabaikan nilai dari demokrasi.

https://cdn.tmpo.co/data/2017/07/12/id_622854/

Adil atau tidaknya adalah sebuah pertanyaan yang sulit dijawab. Karena di sisi lain sifat pemerintahan kita agak sulit ditebak dan bahkan terlihat menyimpang. Demokrasi dalam pengungkapannya, tapi pada kenyataannya, demokrasi hanya terjadi pada daerah geografis tertentu. Dan yang terlibat tentulah orang-orang tertentu saja. Sejatinya demokrasi tak memperlakukan dan memperuntukkan sebagian orang saja. Karena itu bukan lagi demokrasi tapi melainkan oligarki.

https://mmc.tirto.id/image/2017/10/23/

Jika Perppu ini merupakan salah satu dalih agar para ormas bungkam dalam menjalankan daya politisnya, mungkin itu bisa dikatakan juga benar tapi juga salah. Benar jika itu memang mengancam demokrasi, dan salah jika itu hanya ungkapan belaka bagi yang tak mau dirugikan (baik dari segi materi atau kekuasaan).

Mikhael Bakunin pernah mengungkapkan hal ini. Semua ideologi atau peraturan ideal yang kita ciptakan itu sebenarnya bagus dan bahkan lebih adil jika dijalankan, namun yang terjadi kesalahan ketika itu berujung hanya sebagian orang saja diuntungkan. Dalam bahasa sederhananya, kita akan selalu mencari jabatan atau tingkatan tertinggi itu sebagai sumber penghasilan dan menjadikan kita lebih berkuasa ketimbang melihatnya sebagai amanah dan tanggung jawab.

-isme mana pun bisa dikatakan baik, tapi itu semua tergantung yang menjalankannya. Dan pihak pro perppu ini juga tak seharusnya mengabaikan apa yang telah dan ingin diungkapkan oleh ormas-ormas yang sebelumnya. Itu disebabkan kalau kita mengabaikan ungkapan mereka artinya kita sama saja tak menghormati mereka. Bahkan itu adalah sebuah penghinaan.

Jika kita memang sudah dapat menerima perbedaan, baik dari pihak kontra dan pro pada perppu itu, sebaiknya kita menciptakan suatu parameter agar yang lain dapat merasa dihargai. Jika kita hanya mengungkapkan dan mengabaikan perbedaan dari yang lain, bukannya kita sama saja fasisme?

Fasisme merupakan ungkapan yang menurut penulis itu berhubungan dengan kekejian. Itu disebabkan fasisme hanya menerima satu ras atau kekhasan saja, sedangkan yang lain tak dapat diterima. Parameter inilah seharusnya bekerja sebagai bentuk penghargaan terhadap yang lain.

Ah rasanya kita berada di sebuah lingkaran, di mana peraturan diabaikan, namun digunakan untuk penghasil kekayaan dan kekuasaan? Atau malah kenaikan ras tertentu?

Apakah kata adil itu sendiri? Adil lebih merujuk kepada hak, artinya semua berhak menjalankan haknya masing-masing, namun apakah adil hanya terjadi pada suatu hukum atau artian lain hanya terjadi di dalam hukum itu sendiri? Sedangkan di luar dari pada hukum itu tak adil?

Mungkin pertanyaan-pertanyaan di atas tak pernah muncul di kepala kita. Tapi sebaiknya kita patut memikirkannya. Jika kita dalam sebuah negara, dan kita menjalankan hukum yang sudah disepakati. Apakah orang-orang suku yang ada di luar negara itu, tiap kali melakukan ritualnya sendiri, seperti memakan laba-laba, memakan hal-hal yang kita anggap tidak biasa, itu dikatakan tidak manusiawi? Karena itu di luar hukum sendiri, sehingga kita dengan mudahnya mengatakan itu tidak manusiawi.

Hal yang sederhana juga dapat dilihat semenjak era Descartes. Descartes sebagaimana juga diketahui selain pengaruhnya yang besar, beliau juga membelah peraturan-peraturan yang ada dengan dualismenya. Salah satunya yang mencuat adalah rasionalismenya.

Sekolah saja misalnya hanya memperhatikan hal-hal rasional sehingga yang tak rasional sebaiknya di rumah sakit jiwa saja ditempatkan. Di dalam ilmu kesehatan, atau saja kedokteran, yang gaib bahkan selalu saja diabaikan.

Adil atau tidaknya akan selalu berhubungan dengan dua sisi baik itu di luar hukum maupun di dalam hukum itu sendiri. Namun, memang sebaiknya perppu ini tak bisa mengabaikan nalar kita.

Sardjito Ibnuqoyyim
Sardjito Ibnuqoyyim
Penulis Misantropis
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.