Selasa, April 16, 2024

Adakah Partai Oposisi dalam Sistem Politik Indonesia?

Ahmad Sholikin
Ahmad Sholikin
Alumni Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif III (SKK - ASM III) dan Penulis di ahmadsholikin.web.ugm.ac.id

Terdapat dua momentum besar yang bisa dijadikan tanda munculnya fajar bagi perkembangan demokrasi modern; pertama, The Glorious Revolution yang terjadi di Inggris pada tahun 1688. Krisis yang dihadapai raja mencapai puncaknya pada tahun 1688. Sehingga terjadi the glorious revolution yang merubah tatanan sistem politik monarki absolut menjadi monarki konstitusional meskipun terjadi secara bertahap.

Dari revolusi tersebut terbentuklah parlemen pertama di Inggris dan terjadi pembagian kekuasaan di Inggris dari kaum feodal kepada para anggtota parlemen pilihan rakyat.

Momentum kedua adalah Declaration of Independence di Amerika tahun 1776. Declaration of Independence adalah suatu akta dari Kongres Kontinental Kedua yang menyatakan bahwa Tiga Belas Koloni memerdekakan diri dari Britania Raya. Deklarasi ini menjelaskan pembenaran atau justifikasi untuk melepaskan diri, dan merupakan pertama kalinya pernyataan kemerdekaan untuk Amerika Serikat. Deklarasi ini dianggap sebagai salah satu dokumen pendirian Amerika Serikat dan tanggal 4 Juli dirayakan sebagai Hari Kemerdekaan.

Sebelum kita masuk pada persoalan karakter sistem politik di Indonesia, dan benarkah ada partai oposisi di Indonesia maka perlu bahas ciri utama dari kedua sistem politik tersebut. Aspek-aspek yang membedakan kedua sistem tersebut adalah; a) Mandat, b) Apa dan siapa eksekutif, c) Mekanisme pengawasan.

Mandat Politik

Pemberian mandat dalam sistem parlementer diberikan oleh rakyat kepada para anggota legislatif saja. Sedangkan dalam sistem presidensiil, rakyat memberikan dua mandat, yakni untuk anggota parlemen dan untuk pimpinan eksekutif.

Konsekuensinya, pemilu dalam sistem presidensiil akan lebih rumit daripada pemilu dalam sistem parlementer. Kerumitan itu akan bertambah jika menerapkan sistem pemilu proporsoinal dalam sistem presidensiil.

Akan lebih rumit lagi jika sistem pemilu proporsoinal dalam sistem presidensiil itu berjalan dalam sistem multi-partai. Dan itulah yang terjadi di Negara Indonesia.

Apa dan Siapa Eksekutif?

Mandat dari rakyat diterapkan dalam pemberian suara (election). Dalam sistem parlementer, rakyat hanya memilih para anggora parlemen, bukan memilih pimpinan eksekutif. Lalu dari mana pimpinan eksekutif dipilih ? Pimpinan eksekutif dipegang oleh pimpinan partai politik dengan perolehan kursi 50% + 1 di parlemen.

Jika tidak ada partai politik dengan perolehan kursi 50% + 1 di parlemen, maka partai dengan perolehan kursi terbanyak mengajak partai-partai lain untuk bergabung sampai diperoleh perolehan kursi sebanyak itu. Gabungan partai dalam parlemen ini lah yang disebut “koalisi”.

Pimpinan eksekutif (Perdana Menteri) dipegang oleh partai dengan perolehan kursi terbanyak di parlemen. Sebagai pimpinan eksekutif, perdana menteri memilih para menteri dari para anggota parlemen. Para menteri ini separtai atau sekoalisi partai dengan perdana menteri. Jadi, perdana menteri dan kabinetnya adalah anggota parlemen semua.

Sedangkan dalam sistem presidensiil, rakyat memberikan suara untuk eksekutif dan legislatif. Itu mengapa di Indonesia kita memilih anggota DPD, DPR-RI dan DPRD, lalu juga memilih Presiden/Wapres, serta para Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Anggota legislatif  dan eksekutif dipilih langsung oleh rakyat.

Dalam sistem presidensiil, presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Sebagai pimpinan eksekutif, presiden lalu menunjuk para menterinya. Para menteri tersebut dipilih oleh presiden sekehendak dirinya, karena itu merupakan hak preogratif presiden. Bisa pengusaha, akademisi, politisi, agamawan, tantara, aktivis…. Bebas.

Mekanisme Pengawasan

Mandat dalam sistem parlementer menginduk pada parlemen, karena rakyat hanya memberi mandat pada legislatif. Setiap kebijakan diperdebatkan dalam parlemen, sesama anggota parlemen. Perdana menteri dan menteri nya duduk di satu posisi, sedangkan para oposisi dan kabinet bayangan ada di posisi lain. Kelompok oposisi dalam sidang parlementer duduk berada diseberang penguasa yang berfungsi sebagai pengawas penguasa.

Berbeda dengan sistem parlementer, dalam sistem presidensial rakyat memberi mandat pada eksekutif dan legislatif. Eksekutif dan legislatif bersifat seimbang check and balances. Berada pada dua kelembagaan yang berbeda. Harusnya DPR menjadi sebuah lembaga yang utuh untuk melakukan check and balances terhadap kebijakan presiden dan menterinya, pun sebaliknya.

Yang terjadi di Indonesia

Yang terjadi dalam sistem politik di Indonesia adalah sistem presidensiil yang dirancang sangat mirip dengan United States system. Yang membedakannya hanya pada cara bagaimana memilih seorang presiden. Di Indonesia, presiden dan wapres dipilih langsung oleh rakyat. Di United States, presiden dan wapres dipilih oleh para elector yang berada dalam electoral college. Para elector itulah yang dipilih langsung oleh rakyat.

Pada konteks negara Indonesia yang diterapkan adalah sistem presidensial dengan multi partai dan ini berbeda dengan United States yang di dominasi dua partai besar saja. Hal ini berakibat pada setiap presiden dan wapres Indonesia selalu harus diusung oleh banyak partai politik. Sehingga terbentuklah aliansi beberapa partai politik untuk mendukung calon presiden dan wakil presiden. Sedangkan disisi lain setiap partai politik dalam waktu bersamaan juga ikut pemilu legislatif.

Secara alamiah terbentuklah pengelompokan partai politik berdasarkan dukungan pada pasangan calon presiden dan wakil presiden. Sehingga partai politik yang pasangan capres dan wapresnya menang, lalu merasa sebagai partai penguasa. Yang pasangan capresnya kalah, merasa sebagai oposisi.

Di sinilah letak ketidakkonsistenan para politisi kita dalam bersistem politik, sehingga yang terjadi adalah sistem presidensiil rasa parlementer. Dan parahnya itu tidak ditegaskan dalam konstitusi kita. Apalagi sekarang yang terjadi adalah, partai politik yang tidak mendapatkan jatah menteri (PKS, PAN dan Demokrat) mencoba peruntungan mereka untuk 2024 dengan menyebut sebagai partai oposisi. Dalam sistem presidensial tidak ada mekanisme oposisi berhadapan dengan penguasa.

Hal ini mengakibatkan mekanisme checks and balances menjadi lemah, karena DPR terbelah. Yang merasa partai penguasa sibuk membela presiden, sedangkan yang merasa oposisi sibuk mencela presiden.

Lembaga legislatif tidak mampu mengembangkan fungsi menyeimbangi eksekutif, karena sibuk berantem sesama anggota legislatif. Karena ketidakkonsitenan para politisi tersebut mengakibatkan mekanisme check and balances yang menjadi ruh dari demokrasi hilang, dan membawa dampak yang sangat besar bagi rakyat. Hal-hal inilah yang membuat demokrasi di Indonesia sedang tidak baik-baik saja seperti saat ini.

Ahmad Sholikin
Ahmad Sholikin
Alumni Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif III (SKK - ASM III) dan Penulis di ahmadsholikin.web.ugm.ac.id
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.