Seorang junior, ketika mengikuti perkaderan bertanya kepadaku, tentang eksistensi. beliau bertanya, mana yang lebih dahulu hadir, adab ataukah ilmu. dalam konteks operasional, mana yang lebih utama, antara akal ataukah ilmu. berbicara eksistensi, sesuatu itu langgeng dan bermula terkait hukum kausalitas, adab terbentuk dari unsur-unsur ilmu sehingga pantas tidaknya dalam kerangka epistimologis ditimbang dari ilmu. ilmu sebagai kausal untuk adab, namun dalam tataran Aksiologis, adab merupakan parameter akhir yang menjadi ukuran ketinggian ilmu seseorang..!secara teologis, Rasul diutus Allah dalam rangka menyempurnakan -dalam konteks ini disamakan dengan akhlak-umat manusia. apa yang terjadi sekarang saya pkir adalah resistensi dari ketimpangan psikis seorang penuntut Ilmu. banyak dari orang-orang berilmu yang memiliki adab yang rendah tidak mencerminkan ketinggian ilmunya. Syekh az-Zarnuji berkata dalam kitabnya Ta’lim Muta’lim:
وَيَنْويَ بِهِ الشَكْرَ عَلىَ نِعْمَةِ الْعَقْلِ وَصِحَّةِ الْبَدَنِ وَلاَيَنْوِيَ بِهِ اِقْبَالَ الَّناَسِ وَلاَاسْتِجْلَابَ حِطَامِ الْدُّنْيَا وَالْكَرَامةَ عِنْدَ الْسُلْطَانِ وَغَيْرِهِ
“Seseorang yang menuntut ilmu haruslah di dasari atas mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan. Dan dia tidak boleh bertujuan supaya dihormati manusia dan tidak pula untuk mendapatkan harta dunia dan mendapatkan kehormatan di hadapan pejabat dan lainnya.”ungkapan syeikh di atas setidaknya menunjukkan rasa kesadaran manusia sehingga timbul sikap syukur, yang termanifestasi dalam sikap keikhlasan, yang pada akhirnya membentuk karakter penuntut ilmu yang beradab atas dasar rasa syukur tersebut.dengan begitu kita akan sepenuhnya mempercayai bahwa ilmu akan menghasilkan adab yang tinggi jika saja menuntutnya dengan kesadaran dan kesyukuran.semoga semakin hari semakin bertambah kaum Intelektual yang beradab!