Perbuatan pelecehan seksual jelas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan istilah perbuatan cabul. Maka, harusnya seseorang yang melakukan kejahatan seksual ditindak tegas secara hukum, bukan menempuh ‘jalan damai’ seperti yang UGM lakukan.
Beberapa hari terakhir kasus pelecehan seksual yang dialami oleh mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) Agni (bukan nama sebenarnya) kembali diperbincangkan masyarakat karena penyelesaian masalahnya yang dianggap ‘begitu-begitu saja’ dan masih jauh dari keadilan yang dianggap pantas.
Keputusan UGM untuk menutup kasus tersebut dengan jalan damai yang ditandatangani oleh Agni dan HS tanpa paksaan seperti menyatakan: penegakan hukum melalui pengadilan boleh digantikan dengan jalan damai secara kekeluargaan.
Padahal, jika ditelaah lebih lanjut, penyelesaian secara kekeluargaan tidak berlaku pada kejahatan seksual. Umumnya, dalam tindak pidana, walaupun korban telah memaafkan pelaku, dan keduanya telah berdamai, proses hukum dari kasus tersebut tetap harus dijalankan (www.hukumonline.com).
Tak seperti kasus perdata, kejahatan seksual tak bisa sepenuhnya diselesaikan secara kekeluargaan karena berkaitan dengan mental dan psikis korban. Namun, UGM terlalu lama memproses kasus tersebut sehingga berpotensi memperburuk psikis korban. Oleh karena itu, kuasa hukum dan penyintas Agni memutuskan untuk menyetujui keputusan UGM menempuh jalur tersebut. (Rilis Pers Penyelesaian Kasus Agni)
Keputusan tersebut diambil untuk meminimalisir resiko kriminalisasi pada korban. Namun kenyataannya, UGM seperti melakukan framming pada keputusan tersebut dengan menyatakan bahwa kasus tersebut selesai dengan jalur damai. Dengan pernyataan seperti itu, UGM terkesan ingin dicap heroik dalam menyelesaikan sebuah kasus dan secara tidak langsung menggambarkan Agni yang seolah menyerah begitu saja pada perjuangannya. Tak ada bedanya jika kita sebut UGM secara tidak langsung mengkriminalisasi dan melakukan victim blaming terhadap korban.
Blunder UGM
Sejak awal kasus ini muncul, UGM terlalu lama dalam mengambil tindakan. Padahal UGM memiliki peraturan yang mengatur sanksi tegas terkait kasus kejahatan seksual. Peraturan kode etik kampus yang ditandatangi oleh seluruh mahasiswa UGM memuat ketentuan yang menyatakan “Saya bersedia diberhentikan sebagai Mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) apabila terbukti melakukan tindak pidana dan melakukan perbuatan asusila” terkesan dikesampingkan oleh UGM. UGM yang seharusnya menghentikan kegiatan akademik pelaku justru mengharapkan pelaku dapat lulus dengan semestinya. Bukankah tidak adil jika mahasiswa ber-IP 2,0 berakhir drop out (DO) dan mahasiswa tindak kejahatan seksual bisa lulus dengan damai?
UGM yang seolah melindungi pelaku dan blaming the victim dalam kasus ini juga semakin menimbulkan pertanyaan baru, siapa HS dan bagaimana hubungan latar belakang keluarga HS dengan pelaku?. Padahal, HS sedari awal sudah mengakui perbuatannya namun UGM dengan gigih memilih mempertahankan HS dan membuat masalah menjadi semakin berlarut-larut.
Dibandingkan hasil positif, UGM akan lebih banyak menerima hasil negatif dari keputusan tersebut. Tak hanya merusak nama baik UGM, secara tidak langsung juga menunjukkan bahwa manajemen krisis public relations di UGM juga terbilang payah. Keputusan UGM memperlihatkan cara pandang kampus dalam penanganan kasus kejahatan seksual yang masih terbelakang dengan cara kerja mereka yang tidak progresif.
Banyaknya blunder yang dilakukan UGM terkait kasus ini dapat dilihat mulai dari hasil penyelidikan Komite Etik UGM yang tidak disebarkan ke publik dengan alasan mengganggu psikologi anak-anak hingga pengusulan Komite Etik UGM agar HS meminta maaf kepada Agni dan melakukan konseling yang tidak difasilitasi dengan baik oleh kampus.
Blunder tersebut kebanyakan ditemukan ketika hasil penyelidikan maupun keputusan disampaikan ke rektorat. Pertanyaannya, mengapa rektorat seolah tidak memihak korban? Rasanya, kasus pelecehan seksual seakan enggan diakui oleh UGM. Bahkan, pembelaan terhadap pelaku lebih terlihat dibanding menegakkan hukum bagi penyintas.
Kesimpulannya, kasus kejahatan seksual harusnya tetap diproses oleh hukum. Penyelesaian kasus baik secara litigasi maupun non-litigasi harus tetap memiliki sanksi yang tepat terhadap pelaku. Kejahatan seksual di kampus harus diakui dan difasilitasi dengan baik tanpa blunder apapun. Kampus harusnya mempertimbangkan kesepakatan non-litigasi yang diterima oleh korban dikarenakan sanksi yang diberikan sesuai bukan hanya meminimalisir resiko korban.