Minggu, November 24, 2024

Ada Apa dengan Reuni PA 212 dan Arab Spring?

Wawan Kuswandi
Wawan Kuswandi
Pemerhati Komunikasi Massa
- Advertisement -

Riuhnya berita reuni PA 212 di Monas, ternyata tidak seheboh komentar warganet di sosial media. Rakyat dan warganet cuek dan masa bodoh dengan reuni PA 212. Kalaupun ada celoteh di jagat maya, cuma sedikit dan itu hanya dilakukan oleh kelompok 212 sendiri.

Munculnya reuni PA 212 tandingan yang dimotori Kapitra Ampera juga tidak mendapat respon positif. Akhirnya, dua pertemuan kelompok (sama-sama mengklaim PA 212) hanyalah sebentuk kegiatan yang ternyata lebih banyak mudharatnya dibandingkan dengan kebermanfaatan bagi bangsa ini menjelang pilpres 2019 mendatang.

Munculnya rumors yang menyebutkan bahwa ada sebagian oknum keturunan Arab yang bergelar habib berkonspirasi dengan kelompok politik tertentu, sangat kencang beredar jelang reuni 212. Mereka terkesan menyeret-nyeret umat muslim dengan memakai kemasan ‘Islam’. Diduga kuat, tujuan mereka ialah ingin menjegal pilpres 2019. Kalau ini benar, jelas ini tindakan ngawur banget! Isu yang diangkat dalam reuni itu juga masih seputar soal pemerintah yang pro aseng, PKI, anti islam dan pembakaran bendera tauhid (semua isunya basi).

Fenomena Arab Spring

Terlepas apakah reuni 212 itu bermaksud menjegal pilpers 2019 atau tidak, saya mencium ada satu metode dalam gerakan reuni 212 ini yang layak untuk dicermati dengan tenang dan nyantai saja. Anda tentu masih ingat fenomena Arab Spring beberapa tahun lalu di kawasan negara-negara timur tengah.

The Arab Spring merupakan gelombang revolusi unjuk rasa dan protes rakyat Arab. Sejak 18 Desember 2010 lalu, telah terjadi revolusi di Tunisia dan Mesir, perang saudara di Libya, pemberontakan sipil di Bahrain, Suriah, Yaman, protes besar di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, Oman, Kuwait, Lebanon, Mauritania, Arab Saudi, Sudan, dan Sahara Barat. Kerusuhan di perbatasan Israel, bulan Mei 2011 lalu juga terinspirasi oleh Arab Spring.

Metode gerakan Arab Spring yaitu menggunakan teknik pemberontakan sipil dalam kampanye yang melibatkan demonstrasi, dan pawai besar. Penyebaran hoaks, ujaran kebencian, fitnah dan penghinaan terhadap presiden juga disebar secara massif melalui sosial media, seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan Skype. Slogan yang dimunculkan para pengunjuk rasa dalam Arab Spring yaitu Ash-sha`b yurid isqat an-nizam yang artinya Rakyat ingin menumbangkan rezim ini. Pola ini juga diterapkan di Indonesia.

Meledaknya Arab Spring bemula ketika Tarek al-Tayeb Mohamed Bouazizi (usianya baru 26 tahun) membakar diri tanggal 17 Desember 2010 lalu. Aksi bakar diri Bouazizi akhirnya membuat Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali tumbang.

Revolusi Arab kemudian menjalar ke Mesir, Presiden Mesir Hosni Mubarak terguling, Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh jatuh, Pemimpin Libya Muammar al-Qaddafi tewas dalam perang saudara, Presiden Suriah Bashar al-Assad menghadapi pemberontakan sipil bersenjata. Kasus yang sama juga terjadi di Bahrain, Kuwait, Lebanon, Oman, Maroko, Arab Saudi, Sudan, dan Mauritania.

Para pengujung rasa Arab Spring biasanya melakukan aksi demo massal pada hari Jumat setelah salat Jumat. Metode ini sama dengan aksi demo yang dilakukan kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam di Indonesia yang menentang pemerintah dengan melakukan aksi demo massa pada hari Jumat.

Kebijakan Strategis Keumatan

Nah kembali kepada reuni 212, gerakan ini bukan kebetulan semata. Mereka mencoba menerapkan Arab Spring dengan cara melakukan aksi demo massal dengan menuduh pemerintah melakukan kejahatan HAM dan anti Islam. Contohnya ialah kasus hoaks Ratna Sarumpaet yang diidentifikasikan seperti Tarek al-Tayeb Mohamed Bouazizi di Tunisia dan soal pembakaran bendera yang mereka sebut bendera tauhid. Namun, kedua kasus itu gagal karena pihak kepolisian langsung bertindak tegas.

- Advertisement -

Gagalnya dua contoh di atas, bukan kartu mati bagi kelompok-kelompok yang anti pemerintah, mereka akan tetap terus mendompleng umat muslim untuk menekan pemerintah. Gerakan PA 212 mungkin akan semakin memuncak jelang momentum pilpres 2019.

Sebenarnya, ada titik lemah dalam gerakan PA 212 ini yaitu mereka tidak menyadari bahwa sesungguhnya keadaan umat muslim Indonesia sangat damai dan tentram dalam menjalankan hak-hak politiknya bersama penganut agama lain. Bahkan, Pemerintah juga pro terhadap muslim dan berada dalam trek yang benar ketika mengeluarkan berbagai kebijakan strategis yang berkaitan dengan keumatan.

Salah satu cara untuk ‘memblokir’ gerakan PA 212 yang disinyalir memakai metode Arab Spring ini ialah pemerintah jangan melakukan pembiaran terhadap gerakan aksi massa apapun yang dinilai sudah melanggar Undang-Undang atau terindikasi memecahbelah bangsa. Di sisi lain, para tokoh agama dan umat muslim wajib mengkritisi setiap gerakan aksi massa, karena antara kepentingan politik dan kepentingan agama adalah dua hal yang jelas-jelas sangat berbeda. Wassalam

Wawan Kuswandi
Wawan Kuswandi
Pemerhati Komunikasi Massa
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.