Zaman semakin melangkah maju. Kecanggihan teknologi nampaknya menjadi fasilitator penting manusia menghadapi kondisi batas terhadap alam. Segala keterbatasan yang dahulunya merupakan penghambat gerak, kini dengan mudah diatasi dengan ragam kebaruan demi kebaruan inovasi dan teknologi. Setidaknya sejak masa Revolusi Industri abad 18 hingga hari ini, bukan main perubahan tersebut telah merubah wajah dunia hingga nampak begitu elok macam sekarang.
Hanya saja, kemajuan tersebut tidak begitu saja datang dengan tanpa membawa konsekuensi. Apa-apa yang kita saksikan sekarang, mulai dari kecanggihan teknologi transportasi, informasi, hingga perabot perlengkapan rumah tangga tidak diciptakan dari keadaan kosong. Dari kondisi “tiada menuju ada”.
Ia tidak semudah melantunkan mantra sim salabim, kemudian semua kecanggihan ini muncul dalam keadaan sempurna. Lalu kita hanya tinggal mencari dan menemukannya dalam transaksi jual-beli yang ramai di pasar sana. Tentu saja tidak semagis itu.
Sederhananya, apa-apa yang kita saksikan dan pergunakan dalam kehidupan ini diciptakan dari hasil-hasil yang mempergunakan berbagai macam Sumber Daya Alam (SDA). Dari jenisnya, ia dibedakan atas “SDA yang dapat diperbaharui” dan “SDA yang tidak dapat diperbaharui”. Jenis terakhir ini seringkali disebut sebagai SDA terbatas atau SDA cepat habis. Perlu waktu ratusan tahun bagi manusia untuk menemukannya dalam kondisi yang sama. Tentu bila menyaksikan kondisi terkini bumi ini, rentang waktu tersebut mungkin akan makin merangkak naik perhitungannya.
Hari ini, berbagai macam SDA telah berdiri diatas ambang batas penipisannya. Melalui pola-pola pengekstraksian yang gencar dilakukan, hal ini tentunya berimbas pada keseimbangan ekologis di muka bumi. Seringkali pengerukan SDA yang ditarik keluar dari perut bumi menghasilkan limbah-limbah destruktif yang tidak hanya memiliki daya penghancur atas kondisi ekologis sekitar. Lebih dari itu, ia juga kerap mengusik pola-pola dan metode keberlangsungan hidup manusia yang tinggal dan menetap disekelilingnya.
Ambang-Batas Planet
John Bellamy Foster, salah satu pakar ekologi terkemuka menyebut kondisi terkini dunia yang kita tempati sebagai sebuah kondisi “keretakan skala planet”. Mengapa demikian? Hal ini berangkat dari kerusakan demi kerusakan yang diciptakan manusia akibat masifnya kegiatan-kegiatan pengerukan SDA yang anarkis dan tidak terkontrol.
Hal ini jalin-menjalin dengan hasrat produksi berlebih yang bahkan melampaui tingkat kebutuhan manusia di dunia. Lalu kemudian disempurnakan dengan watak kontestasi guna mengejar kemajuan dan angka-angka pertumbuhan yang ingin terus-menerus dinaikkan tiap tahunnya.
Kepadatan jumlah manusia di muka bumi dengan kisaran kurang lebih 7 miliaran penduduk beserta watak konsumtif yang senantiasa dimanipulasi demi pertumbuhan ekonomi — khususnya negara-negara maju – jelasnya memperparah beban masif planet ini yang tentu saja tidak sedikit tanggungannya tersebut.
Bumi yang kita tempati, beserta segala macam sumber daya yang terkandung di dalamnya bukanlah sebuah “planet impian” dengan segala macam hal yang tidak terbatas. Sebaliknya, dalam keindahan yang digema-gemuruhkan, terdapat batas-batas tertentu yang dapat ia tanggung selama manusia beserta seluruh kompleksitas aktifitasnya masih cukup waras memperhatikan kondisi-kondisi batas tersebut.
Setidaknya terdapat beberapa ambang batas kritis planet ini, dan yang terparah saat ini adalah masalah perubahan iklim. Tanda-tandanya sudah dapat kita saksikan dari melelehnya es Samudera Arktik selama musim panas, yang kemudian berdampak pada berkurangnya pantulan balik sinar matahari.
Hasilnya, kondisi ini kemudian kita nikmati sebagai “pemanasan global”. Petanda lain yang juga dapat kita saksikan adalah naiknya permukaan air laut dengan rata-rata 1,7 mm/tahun sejak 1875. Namun angka ini bertambah sejak 1993, dengan rata-rata 3 mm/tahun. Kondisi ini nampaknya berdampak pada negara-negara yang berada letak geografis dataran rendah.
Indonesia, sebagai salah satu dari ratusan negara di dunia, tentu saja memiliki andil yang cukup besar dalam memberikan beragam efek negatif dari ekstraksi SDA yang berpengaruh terhadap merosotnya kualitas ekologis dunia yang telah mencapai ambang batas kritis tersebut.
Dari rentang Sabang sampai Merauke, tak terhitung berapa banyak pabrik-pabrik yang senantiasa menyemburkan asap dan limbah dari aktifitas produksinya. Pengerukan SDA oleh tambang-tambang dalam skala masif tentunya bukan hal baru dalam peta ekonomi negeri ini. Belum lagi pengalih-fungsian hutan dengan jumlah mengerikan menjadi lahan-lahan penghasil tanaman sejenis, nampaknya juga telah menjadi pemandangan yang seringkali dijumpai. Lantas akan sampai kapan tren-tren negatif seperti ini terus dipertahankan?
Peran Penting Negara
Tentu saja, menarik kiranya dilihat lebih jauh. Perlu digarisbawahi, beberapa hal yang dipaparkan diatas tidak bisa sepenuhnya dipisahkan dari aktifitas dan proses politik, dalam beberapa hal menyangkut sikap negara.
Sebab, negara merupakan instansi legal yang mewadahi kompleksnya aktifitas ekonomi — khususnya menyangkut pemanfaatan sumber daya alam (SDA) — yang pada akhirnya berkontribusi terhadap merosotnya kualitas ekologis dunia yang telah mencapai ambang batas kritis tersebut. Negara dengan instrumen kekuasaan yang dimilikinya, dapat melegitimasi — ataupun sebaliknya – men-delegitimasi proses-proses izin pembukaan bisnis pertambangan, pabrik dan lain sebagainya sesuai pertimbangan kelayakan yang bijak dan adil.
Idealnya, keputusan-keputusan yang dikeluarkan merupakan hasil pertimbangan matang yang menempatkan kepentingan serta kesejahteraan bangsa dan rakyatnya sebagai tujuan utama. Ditambah kegentingan ekologis yang dipaparkan diatas, sebagai salah satu sentral pokok pertimbangan negara. Tentu saja, hal ini mengisyaratkan posisi negara yang bebas intervensi dari pihak-pihak eksternal, khususnya elite-elite ekonomi.
Dengan demikian, problem penting menyangkut kondisi kerentanan ekologis saat ini tergantung pada bagaimana cara negara memandang dan menempatkan kegentingan ekologis yang nyata ini sebagai salah satu permasalahan pokok yang perlu segera ditanggapi.
Sebab dapat dipastikan, dampak-dampak ekologis yang kini hadir berdampak langsung pada rakyat yang berdiri dibawah naungannya. Tidak dapat tidak, cara pandang terhadap kemajuan dan pertumbuhan ekonomi perlu sedikit dirombak, dengan memasukkan unsur-unsur keberlanjutan ekologis dan efek kebutuhan serta kebermanfaatannya bagi rakyat luas.
Dengan kata lain, target kemajuan dan pertumbuhan yang dikejar negara tidak serta-merta tentang kemajuan dan pertumbuhan ekonomi melalui pengerukan SDA seluas-luasnya; dengan meninggalkan jejak dan biaya ekologis yang tak ternilai, dan seringkali berdampak langsung pada kehidupan rakyat luas.
Daftar Pustaka:
Foster, John Bellamy dan Fred Magdoff, 2018. Lingkungan Hidup dan Kapitalisme, edisi terjemahan. Penerbit: Marjin Kiri