Belum lama ini, Hong Kong dan Indonesia menjadi perbincangan hangat baik dikalangan masyarakat lokal maupun masyarakat dunia, aksi demonstrasi besar-besaran yang terjadi di Hong Kong dan di Indonesia tersebut melibatkan ratusan ribu hingga jutaan orang.
Namun untuk demonstrasi Hong Kong para demonstran terpusat di satu daerah, sementara di Indonesia demonstran bergerak dan terbagi-bagi disetiap daerah yang ada di Indonesia yaitu di Jakarta sebagai pusat pergerakan, diikuti juga di daerah Yogyakarta, Bandung, Malang, Balikpapan, Samarinda, Purwokerto dan daerah-daerah lainnya. Meski pada akhirnya tuntutan massa demonstrasi telah dipenuhi, gelombang aksi masih terjadi di kedua negara ini.
Latar Belakang
Demonstrasi di Hong Kong bermula pada bulan Maret tahun 2019, yang mana pemicu terjadinya demonstrasi di Hong Kong adalah karena pembahasan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) ekstradisi oleh Pemimpin Hong Kong.
RUU ekstradisi yang diperkenalkan tersebut tidak disetujui oleh seluruh masyarakatnya. RUU ekstradisi ini akan membuat Beijing bisa mengekstradisi pelaku kriminal dari Hong Kong ke China daratan. Banyak warga Hong Kong yang meyakini RUU itu akan membuat resiko orang-orang diekstradisi ke China.
RUU yang penuh kontroversi ini juga dipandang sebagai serangan terhadap nilai-nilai masyarakat Hong Kong, yakni hak dan kebabasan yang lebih leluasa (hak untuk ikut pemilu dan proses pemerintahan, bebas mengkritik pemerintah, lembaga peradilan yang independen, hak untuk berunjuk rasa, serta media yang bebas).
Hong Kong saat ini memiliki perjanjian ekstradisi dengan 20 yurisdiksi di dunia, termasuk dengan Australia. Pemerintah Hong Kong kini ingin mengubah aturan untuk memungkinkan ekstradisi ke yurisdiksi atau negara manapun meski tidak memiliki perjanjian, termasuk dengan China, Makau, dan Taiwan.
Ketiga yurisdiksi itu memang sengaja dikecualikan dari perjanjian di masa lalu karena kekhawatiran atas independensi peradilan dan rekor HAM yang buruk. Namun yang ditakutkan oleh warga Hong Kong adalah akan terjebak dalam sistem peradilan China yang korup dan terus berubah-ubah.
Aksi yang dilakukan oleh masyarakat Hong Kong ini tidak berhenti pada aksi yang mereka lakukan pertama kali, aksi tersebut terus berkelanjutan hingga Agustus. Peristiwa yang terjadi di Hong Kong tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia pada 23 September 2019 kemaren ini.
Aksi demonstrasi yang menggerakkan mahasiswa dan para pelajar di Indonesia juga disebabkan oleh ketidaksetujuan masyarakat terhadap beberapa RUU yang dianggap kontroversial seperti RKUHP, Revisi UU KPK, Isu Lingkungan, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Selain itu penolakan yang berujung pada demonstrasi ini karena dalam RKUHP atau RUU yang dirancang oleh pemerintah lewat badan legislasinya tersebut terdapat pasal-pasal karet dan multitafsir, dapat juga kita katakana bahwa substansi yang ada dalam rancangan itu belum tepat dan dianggap belum sesuai dengan keinginan dari masyarakat. Berbeda halnya dengan revisi Undang-Udang KPK, dalam revisi UU KPK ini malah terlihat bahwa lembaga legislativ yaitu DPR membuat KPK yang sebagai lembaga independen peranannya melemah.
Perspektif Teori Gerakan Sosial
Dapat terlihat bahwa aksi demonstrasi di Hong Kong dan Indonesia ini sama-sama disebabkan oleh produk hukum yang dirancang pemerintah. Aksi demonstrasi di kedua negara ini sama-sama gerakan untuk menolak hasil produk hukum yang di rancang oleh lembaga pemerintah. Karena dianggap tidak sesuai dengan keinginan warga negaranya serta akan memberatkan mereka.
Persamaan lain dari demonstrasi Hong Kong dan Indonesia adalah terkait respon pemerintah yang sangat lambat. Dalam aksi yang dilakukan dengan damai tuntutan para demonstran tidak terpenuhi, sehingga aksi yang dilakukan menjadi berkelanjutan dan berujung bentrok. Titik awal bentrokan di Hong Kong terjadi pada tanggal 12 Juni sejak aksi damai yang dimulai pada tanggal 9 Juni.
Meskipun pada tanggal 12 Juni demonstran tidak sebanyak aksi sebelumnya namun bentrokan terjadi pada aksi susualan. Terjadi bentrokan antara demonstran dengan aparat, pemukulan terhadap demonstran, penembakan gas air mata sudah tidak bisa dihindari lagi. Sementara di Indonesia, puncak aksi yang dilakukan oleh mahasiswa dan para pelajar terjadi pada tanggal 30 September.
Penembakan gas air mata, serta pemukulan juga terjadi pada saat itu, hal ini dikarenakan para peserta aksi sudah mulai merusak dan menghancurkan fasilitas-fasilitas yang terdapat disekitar tempat mereka melakukan aksi.
Dalam menyikapi aksi demonstrasi ini, negara hadir dengan menurunkan aparat untuk mengamankan massa aksi, baik di Indonesia maupun di Hong Kong. Namun di Indonesia jalannya aksi menimbulkan korban jiwa sebanyak 5 orang dan yang luka-luka parah juga banyak, sementara di Hong Kong dampak dari demonstrasi hanya menimbulkan korban-korban luka tanpa kehilangan nyawanya.
Jika kita melihat kedua aksi demonstrasi tersebut, secara teoritis aksi ini dapat digolongkan sebagai suatu gerakan sosial. Gerakan sosial merupakan sebuah politik perlawanan atau penentangan yang terjadi ketika rakyat biasa yang ikut bergabung dengan kelompok masyarakat yang mempunyai pengaruh menggalang kekuatan untuk melawan elit, pemegang kekuasaan, dan pihak-pihak lawan lainnya.
Snow mendefinisikan gerakan sosial sebagai sebuah gerakan kolektif yang terorganisir dan memiliki kelanjutan dengan tujuan dapat menentang otoritas yang ada, baik secara institusi atau lembaganya ataupun secara kultural.
Snow juga menjelaskan bahwa gerakan sosial hadir untuk menentang dari institutional authority atau lembaga yang memiliki otoritas dengan tidak melihat satu lembaga saja melainkan juga melihat lembaga-lembaga yang berasal dari area politik maupun lainnya. Bisa juga menentang dari bentuk cultural authority yang ada.
Dengan demikian Snow menekankan bahwa gerakan sosial tidak selalu menjadikan negara sebagai satu-satunya sumber kekuasaan dan otoritas, karena menurutnya gerakan sosial bisa terjadi karena disebabkan oleh adanya target dari lembaga-lembaga otoritas lain.
Gerakan sosial bukanlah berasal dari suatu organisasi formal ataupun dari partai politik, melainkan gerakan sosial sendiri merupakan gabungan dari jaringan-jaringan individu dan kelompok yang sebelumnya tidak memiliki ikatan yang kuat.
Perlu juga diketahui mengapa aksi demonstrasi di atas bisa dikatakan sebagai gerakan sosial karena melihat dari karakteristik gerakan sosial sendiri yaitu terlibat di dalam hubungan konfliktual dengan lawan yang dapat diidentifikasi dengan jelas siapa lawannya, lalu orang yang didalam gerakan sosial terhubung melalui jaringan informal, dan terakhir mereka yang tergabung mempunyai identitas bersama dalam batas waktu tertentu.
Terdapat tiga konsep dalam teori gerakan sosial yang biasanya berperan sangat penting dalam menentukan keberhasilan aksi-aksi kolektif. Ketiga konsep tersebut meliputi: (1) struktur kesempatan politik (political opportunity structure), (2) struktur mobilisasi (mobilizing structures), dan (3) pembingkaian aksi (framing).
Munculnya gerakan sosial seringkali dipicu oleh perubahan-perubahan signifikan yang terjadi dalam struktur politik. Dengan kata lain struktur kesempatan politik berdampak mempercepat terjadinya ataupun mengakhiri aksi kolektif. Namun struktur kesempatan politik saja tidak cukup untuk mendorong terjadinya aksi kolektif. Kesempatan itu juga harus ditopang oleh struktur mobilisasi yang biasanya berakar dalam jaringan-jaringan sosial yang sudah terbangun sebelumnya.
Melalui jaringan itu massa dan simpatisan direkrut dan dimobilisasi. Untuk memobilisasi massa itulah aktor-aktor gerakan sosial perlu membingkai aksi-aksi yang mereka rencanakan dengan slogan-slogan dan bahasa yang mudah dipahami dan sekaligus menggerakan sentimen mereka.
Konsep-konsep dalam teori gerakan sosial di atas dapat kita lihat dari gerakan aksi demonstrasi yang dilakukan di Hong Kong dan di Indonesia, para mahasiswa di Indonesia hadir untuk menuntut apa yang sebelumnya telah dirancang oleh lembaga pemerintah sebagai pemegang otoritas.
Aksi-aksi tersebut berusaha mengundang perhatian seluruh elemen, hal ini terlihat dengan banyaknya poster berisi kalimat protes yang dibuat dengan tulisan, dan nada-nada lucu. Dari protes yang membawa kandasnya kisah cinta, curhat “asline mager”, sampai hadirnya mereka yang introvert.
Meski kata-kata yang dibuat dalam poster-poster tersebut terlihat nyeleneh, kata-kata dalam spanduk dan poster tersebut bernada sarkasme. Kata-kata itu ditunjukan untuk memprotes berbagai macam masalah yang terjadi akibat ulah lembaga negara. Nada sarkas yang dibuat melalui poster tersebut merupakan sebuah sindiran dengan nada yang sedikit keras. Ada kejengkelan yang memang tidak bisa diungkapkan dengan nada yang halus. Poster-poster lucu itu juga bertujuan agar media dan masyarakat jadi mudah memahami apa yang menjadi tuntunan mereka.
Pada intinya, gerakan sosial yang terjadi di Hong Kong dan Indonesia, merupakan gerakan protes masyarakat sipil terhadap produk legislasi, baik di Hongkong dan Indonesia, mengingatkan kita bahwa proses perumusan hukum tidak boleh hanya berada di ruang rapat parlemen saja.
Fenomena ini menunjukkan adanya kesadaran kritis masyarakat yang tentunya merupakan kabar baik bagi demokrasi ke dua negara tersebut. Terbukti dengan masyarakat sipil melawan akibat adanya ketidak percayaan terhadap lembaga legislativ. Hal ini menegaskan bahwa proses perumusan sebuah hukum bukan hanya butuh sekedar legalitas formal, namun juga legitimasi sosial-politik dari publik.
Sementara partai politik dianggap gagal menjadi wadah perjuangan aspirasi publik layaknya negara demokrasi mapan. Akibatnya, masyarakat sipil memilih jalannya sendiri dalam memeperjuangkan aspirasinya di jalanan. Berangkat dari sinilah kita bisa melihat bahwa aksi demonstrasi dari Indonesia dan Hong Kong merupakan sebuah Gerakan sosial, namun terdapat beberapa poin perbandingan gerakan sosial yang terjadi di antara 2 negara tersebut.