Kamis, April 25, 2024

Abu Tours: Kasus Baru, Cerita Lama

Roziqin Matlap
Roziqin Matlap
Dosen Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Jakarta Peneliti Pusat Pendidikan dan Anti Korupsi (PUSDAK) UNUSIA dan LBH Ansor

Kasus penipuan jamaah umrah kembali mengemuka. Kali ini dilakukan oleh PT Amanah Bersama Ummat (Abu Tours). Direktur Utama Abu Tours Hamzah Mamba atau Abu Hamzah kini telah resmi menjadi tersangka. Ia terjerat kasus dugaan penipuan calon jemaah umrah.

Abu Hamzah dinilai telah menggelapkan uang senilai Rp 1.8 triliun yang berasal dari 86.720 calon jemaah umrah. Kisah ini mengingatkan kisah sebelumnya tentang penipuan jamaah umrah First Travel. Bagi saya, kasus baru ini tidak mengagetkan, karena ceritanya adalah cerita lama. Baik penipuan First Travel maupun Abou Tours memiliki kesamaan pola.

Pertama, adanya gaya hidup hedonsime dari pendirinya. Baik pendiri First Travel maupun Abou Tours sama-sama suka jalan-jalan, mengoleksi barang mewah dan memamerkannya kepada khalayak. Keduanya juga sama-sama pernah hidup susah. Pemilik Abu Tours pernah menjadi tukang cuci piring di sebuah restoran pizza, dan sempat berjualan es teler hingga cotto Makassar.

Sedangkan bos First Travel sempat berjualan pulsa dan hamburger selama 8 tahun. Tampaknya, pameran kemewahan setelah sukses menjadi pelampiasan atas masa lalu yang tidak menyenangkan. Pameran dianggap sebagai bentuk usaha untuk mendapatkan pengakuan, terutama bagi kaum muda yang telah memperoleh banyak kekayaan dalam rentang waktu yang relatif singkat.

Hal ini dipermudah dengan perkembangan media sosial, yang memberi ruang bagi seseorang untuk menunjukkan kesuksesan dirinya. Sayangnya, kecenderungan untuk tampil mewah ini ternyata dimiliki banyak kalangan, mulai dari para artis, pengacara, pengusaha, dan lain-lain.

Penampilan mewah jadi konsumsi setiap hari di televisi, sehingga pemilik kemewahan menjadi idola bagi sebagian kalangan, mulai dari yang remaja hingga dewasa. Kisah seorang remaja putri menjadi Pekerja Seks Komersial hanya demi memiliki handphone terbaru, lalu remaja putra yang membunuh pamannya demi merampok uang untuk pasang kawat gigi agar terlihat menarik di depan kekasihnya, membuktikan bahwa bagi sebagian kalangan, kemewahan adalah segalanya.

Untuk itu, perlu perhatian dari semua pihak, mulai dari pemerintah, orang tua, pengusaha media, kamu intelektual, agamawan, dan masyarakat agar berusaha menghilangkan sikap hedonism ini. Sayangnya, Surat Edaran Komisi Penyiaran Indonesia yang melarang tayangan yang memamerkan kekayaan, ternyata hingga kini belum efektif. Tayangan demikian masih saja marak, dan laku di masyarakat.

Kedua, adanya anggapan bahwa jamaah umrah akan mendapat cobaan dalam beribadah. Anggapan ini dimanfaatkan oknum untuk menipu calon jamaah. Calon jamaah diminta untuk terus bersabar, dan bahkan sebagian diminta untuk menambah uang pendaftaran, demi memperlancar aksi penipuan.

Sayangnya, calon jamaah pun tidak curiga meski keberangkatan mereka untuk umrah sering ditunda-tunda oleh penyelenggara. Mereka terus bersabar dan bersabar, karena meyakini bahwa ini adalah cobaan untuk menguji keimanan dan kemauan untuk beribadah.

Ketiga, lemahnya pengawasan dari Pemerintah. Untuk diketahui, biro travel yang bermasalah, baik First Travel maupun Abu Tours, adalah biro travel yang terdaftar secara resmi di Kementerian Agama. Pemberian akreditasi oleh Pemerintah kepada First Travel, seharusnya menjadi pengakuan Pemerintah atas kelayakan usaha biro umrah dimaksud.

Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 18/2015, akreditasi dilakukan mendasarkan pada kualitas pelayanan, sumber daya manusia, finansial, sarana dan prasarana, serta administrasi dan manajemen. Bila ternyata biro umrah tersebut tidak sesuai dengan hasil akreditasi, Pemerintah seharusnya bertanggung jawab dan menjelaskan ke masyarakat mengenai metode akreditasi yang digunakan.

Sebagai sebuah keputusan Pemerintah, akreditasi harus dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menjamin dan bertanggung jawab terhadap setiap Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan.

Bagi masyarakat, dengan mendaftar di biro umrah resmi dan telah diakreditasi Pemerintah, menjadi jaminan keberangkatan mereka ke Tanah Suci.Berdasarkan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen berhak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut serta mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Sementara pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen. Selain itu, UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan mengamanatkan Pemerintah untuk mengawasi dan mengendalikan kegiatan kepariwisataan dalam rangka mencegah dan menanggulangi berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas.

Bila biro umrah yang diakreditasi pun tidak dapat dipercaya, kemana lagi masyarakat bisa mendapatkan perlindungan. Bisnis umrah di masa depan pun bisa terancam tanpa kepastian hukum.

Roziqin Matlap
Roziqin Matlap
Dosen Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Jakarta Peneliti Pusat Pendidikan dan Anti Korupsi (PUSDAK) UNUSIA dan LBH Ansor
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.