Bertepatan dengan Peringatan Hari Pajak 14 Juli 2025, pemerintah resmi memberlakukan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 yang menunjuk platform marketplace sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22. Kebijakan revolusioner ini menjadi respons atas pesatnya pertumbuhan ekonomi digital Indonesia yang nilai transaksinya mencapai Rp487 triliun pada 2024, namun kontribusi pajaknya belum optimal.
Langkah ini lahir dari paradoks fiskal yang mengkhawatirkan. Meski ekonomi digital Indonesia merupakan yang terbesar di Asia Tenggara dengan proyeksi USD82 miliar pada 2025 menurut SEA eConomy 2023, potensi pajak sektor ini belum tergarap maksimal. Data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengungkap fakta mencengangkan: dari 1,6 juta wajib pajak UMKM yang memiliki NPWP aktif, hanya 653.000 yang menyetor PPh final pada 2024. Artinya, lebih dari 900.000 pelaku usaha digital belum berkontribusi pada APBN meski aktivitas ekonominya masif.
Ketimpangan ini menciptakan jurang keadilan antara pelaku usaha konvensional yang tertib pajak dengan pedagang digital yang masih abu-abu status perpajakannya. Dengan asumsi margin bersih 10 hingga 20%, pendapatan yang tidak tercatat mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahun dan menjadi kerugian besar bagi kas negara yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan nasional.
PMK 37/2025 menerapkan pendekatan “collect at the source” dengan menunjuk marketplace sebagai pemungut PPh Pasal 22 berupa tarif 0,5% dari peredaran bruto, tidak termasuk PPN. Sistem ini secara fundamental menggeser mekanisme pembayaran PPh mandiri oleh pedagang menjadi pemungutan otomatis oleh platform, sehingga meminimalkan potensi kebocoran pajak yang selama ini meresahkan.
Implementasi kebijakan ini akan dilakukan secara bertahap, tidak sekaligus. Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Hestu Yoga Saksama, menjelaskan bahwa penunjukan akan difokuskan terlebih dahulu pada marketplace besar, dengan mempertimbangkan kesiapan masing-masing platform. DJP juga akan menyiapkan aplikasi khusus untuk mendukung proses ini dan memberikan waktu persiapan selama beberapa bulan. Platform yang ditunjuk nantinya harus memenuhi kriteria tertentu, seperti penggunaan rekening eskro serta nilai transaksi atau volume traffic yang melebihi ambang batas dalam periode 12 bulan, yang akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Direktur Jenderal.
Regulasi ini tetap memperhatikan perlindungan terhadap pelaku usaha mikro. Pedagang dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun dibebaskan dari kewajiban pemungutan, cukup dengan menyampaikan surat pernyataan kepada marketplace. Selain itu, beberapa jenis transaksi juga dikecualikan dari ketentuan ini, seperti layanan ojek online, pembelian pulsa, token listrik, logam mulia, serta jual beli tanah dan bangunan.
Bagi pedagang online, adaptasi terhadap aturan baru ini memerlukan pemahaman tepat mengenai kategorisasi omzet. Poin krusial yang perlu dipahami adalah pedagang dengan omzet maksimal Rp500 juta per tahun sama sekali tidak akan dipungut PPh Pasal 22 oleh marketplace. Untuk memastikan pembebasan ini, mereka wajib melampirkan NPWP atau NIK, alamat korespondensi yang jelas, serta surat pernyataan omzet tidak melebihi Rp500 juta. Tanpa surat pernyataan ini, marketplace akan otomatis memungut pajak 0,5% dari setiap transaksi.
Berbeda halnya dengan pedagang yang omzetnya melampaui Rp500 juta per tahun. Mereka tetap wajib menyampaikan NPWP/NIK dan alamat korespondensi, namun harus menyertakan surat pernyataan yang mengakui omzet melebihi batas tersebut sebagai sinyal bagi marketplace untuk mulai melakukan pemotongan PPh Pasal 22. Pemotongan pajak menjadi kewajiban yang harus dilaporkan paling lambat akhir bulan saat omzet melewati ambang batas.
Seluruh pedagang tanpa memandang kategori omzet harus mencatat dan mengarsipkan dengan rapi semua bukti pemotongan dari marketplace sebagai dokumen vital saat menyusun SPT Tahunan, terutama untuk keperluan perhitungan kredit pajak atau pelunasan PPh final.
Kebijakan ini memberikan dampak ganda menguntungkan: menyederhanakan administrasi perpajakan dengan sistem otomatis yang mengurangi beban birokrasi, sekaligus meningkatkan basis pajak secara sistemik. PPh Pasal 22 yang dipungut marketplace dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak bagi wajib pajak umum atau pelunasan PPh final bagi pedagang UMKM, sehingga tidak menimbulkan beban ganda.
Proyeksi ekonominya menjanjikan. Berdasarkan hitungan konservatif, jika hanya 10% dari total transaksi e-commerce dipungut PPh Pasal 22, potensi penerimaan mencapai Rp2,4 triliun per tahun. Angka ini belum termasuk efek lanjutan berupa peningkatan pelaporan SPT Tahunan dan kepatuhan pajak yang dapat menggenjot penerimaan negara lebih tinggi.
Dirjen Pajak Bimo Wijayanto menegaskan kebijakan ini bagian dari strategi komprehensif mengoptimalkan penerimaan pajak digital, termasuk rencana pajak aset kripto dan digitalisasi transaksi luar negeri. PMK 37/2025 diharapkan mendorong 800.000 pelaku usaha baru masuk sistem perpajakan formal.
Penting dipahami bahwa PMK 37/2025 bukan menciptakan jenis pajak baru, melainkan mengoptimalkan mekanisme pemungutan PPh yang sudah ada. Sebelum regulasi ini, pedagang online sebenarnya sudah memiliki kewajiban membayar pajak penghasilan, namun mekanisme pembayarannya mengandalkan kesadaran mandiri yang terbukti kurang efektif. Kini, dengan sistem pemungutan melalui marketplace, proses pembayaran pajak menjadi sistematis dan otomatis, meminimalkan penghindaran pajak yang selama ini menjadi persoalan menuju keadilan berusaha dan kesetaraan pemajakan digital.
Dengan demikian, PMK 37/2025 bukan sekadar perubahan teknis perpajakan, melainkan transformasi fundamental menuju ekosistem ekonomi digital yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan. Regulasi ini menjadi tonggak penting dalam upaya mewujudkan kesetaraan beban pajak antara pelaku usaha konvensional dan digital, sekaligus memastikan kontribusi sektor ekonomi digital yang berkembang pesat ini dapat dirasakan secara optimal oleh seluruh rakyat Indonesia melalui pembangunan nasional yang lebih baik. Era baru perpajakan digital Indonesia telah dimulai, membawa harapan pada terciptanya iklim usaha yang lebih tertib, transparan, dan berkeadilan.