Bukan hal yang mudah untuk memaparkan sebuah kesan tersendiri tentang Republik Islam Iran sebagai entitas negara yang utuh. Selain karena keterbatasan literature yang penulis baca, banyak perangkat pula yang mesti dipakai dalam menganalisa tema ini agar benar-benar komprehensif.
Mungkin sudah banyak artikel dan esai ilmiah yang membahas Iran dalam berbagai perspektif, dari persoalan politik, agama hingga sains. Oleh karena itu, penulis merasa terpanggil untuk ikut serta meramaikan diskursus tersebut, tentu dalam sudut pandang yang barangkali subjektif.
Iran adalah sebuah anomali, pengecualian dari mitos polarasi yang dibangun dalam tumpukan teori-teori Barat. Iran terbilang negara yang sangat rentan disalahpahami. Berbagai stigma bertebaran di setiap kepala orang, bahkan disinformasi ini bersifat multi dimensi intelektual.
Tidak sedikit yang berperanggapan bahwa Iran adalah negara sektarian fanatik dan anti keberagaman, memiliki rezim otoriter dan bertangan besi, negeri terbelakang, anti modernisme, dan hal-hal negatif lainnya. Pandangan semacam ini sudah menjadi mainstream diimani oleh sementara orang, akibat masifnya pemberitaan media-media Barat yang memang bermaksud menyebarkan propaganda tersebut. Tetapi bagi mereka yang mau sedikit lelah untuk mentelaah lebih dalam dan secara serius melakukan pengkajian, tentu propaganda demikian akan segera disadari sebagai sebuah mitos belaka.
Saat setelah Revolusi pada tahun 1979 lalu, banyak analis yang memperkirakan pemerintahan yang dipimpin oleh Khomeini itu tidak akan berumur panjang. Di masa transisi tersebut, Iran memang mengalami berbagai tekanan. Mulai dari ekspansi militer oleh rezim Sadam Husein, pengucilan internasional, sampai embargo ekonomi yang tiada akhir.
Kondisi diperparah oleh banyaknya penumpang gelap yang mencoba mendistabilitasi perpolitikan Iran. Terlebih ada asumsi yang menyatakan bahwa Iran kala itu hanya dipimpin oleh rezim ulama fanatik dan sama sekali tak mengerti mekanisme pemerintahan secara baik. Artinya, secara kalkulatif sangat kecil kemungkinan Iran akan bertahan lama. Tetapi ternyata hitungan kalkulatif tak selalu akurat, Iran tidak hanya mampu keluar dari serangkain tekanan, namun juga berhasil membalikan keadaan dengan berbagai prestasi yang melampui akal sehat. Kita hanya tinggal memilih dari aspek mana kita ingin melihat.
Pengaruhnya terhadap Wacana Intelektual di Indonesia
Penulis akan memulainya dari pengaruh para tokoh pemikir Iran pasca revolusi, minimal di dalam meramaikan diskursus filsafat dan politik. Setidaknya dalam konteks Indonesia ada dua tokoh yang paling berpengaruh, ia adalah Ali Shari’ati dan Murtadha Muthahhari. Dua tokoh ini secara brilian menampilkan gagasan menarik guna menjadi penyeimbang di tengah masifnya ide liberalisme yang datang dari Barat.
Dalam konteks Indonesia, dinamika pemikiran Islam pada masa itu lebih didominasi oleh ide pembaruan Islam, dari sana lahirlah tokoh-tokoh seperti Harun Nasution dan Nurcholish Majid. Meskipun gagasan tersebut terbilang cemerlang, namun tidak sedikit yang menganggapnya terlalu a politic dan minus resisten, artinya tidak kompatibel untuk dijadikan alat perjuangan.
Di tengah situasi tersebut, munculah para pemikir Iran. Tentu ini menjadi alternatif baru dalam memenuhi dahaga intelektualitas para aktivis yang sebelumnya tak memiliki pilihan menarik. Ali Shari’ati dan Murtadha Muthahhari segera menjadi primadona dan memenuhi berbagai kajian dihampir setiap perguruan tinggi.
Tidak sampai disana, bahkan tokoh-tokoh seperti seperti Amien Rais, Dawam Rahardjo, Jalaludin Rahmat sampai Yudi Latif pun tak mau ketinggalan dalam menikmati euforia tersebut. Tokoh-tokoh ini turut serta dalam menerjemahkan buku-buku para pemikir Iran, sehingga para aktivis Islam Indonesia seperti memiliki manifesto perjuangan mereka yang lekat dengan nuansa filosofis serta agitatif.
Oleh karena itu, tidak salah bila Antony Black berpendapat bahwa Revolusi Iran telah menjadi inspirasi bagi para aktivis politik Islam dimana-mana. Bahkan Olivier Roy, yang dikenal sebagai tokoh antagonis terhadap Islam Politik pun tak bisa menutupi kekagumannya terhadap Iran.
Di dalam sebuah karyanya, Gagalnya Islam Politik, ia mengatakan, “Revolusi Islam Iran adalah suatu gerakan revolusioner Dunia Ketiga yang ditimbulkan oleh aliansi yang belum pernah terjadi antara kaum intelegensia radikal dan kaum ulama fundamentalis. Karena itulah Islamisasi setelah kemenangan revolusi tidak memperlihatkan bentuk konsevatif seperti yang menandai proses Islamisasi negara di Pakistan, Arab Saudi atau Sudan, dan tempat lain”.
Selain itu, Olivier juga mengatakan bahwa ulama Syiah mempunyai budaya ganda, di satu sisi, sangat tradisionalis, namun di satu sisi sangat terbuka terhadap dunia modern. Jadi, di balik legalisme tersebut ada pemikiran filosofisnya. Tak heran bila para ayatullah sangat gemar melahap karya-karya Marx, Feueurbach dan lainnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh pemikir Prancis kawakan. Micheal Foucault dengan menyebutnya sebagai sebuah bentuk baru yang menandai kelahiran format baru “Spiritualitas politik”, yang tidak hanya untuk Timur, tetapi juga untuk Eropa yang telah mengadopsi praktek politik sekuler sejak Revolusi Prancis”.
Pada intinya Foucault mengakui kekuatan inspiratif yang besar dari wacana Islam revolusioner, tidak hanya untuk Iran, tetapi untuk dunia. Tentu kita boleh tidak setuju dengan sistem pemerintahan Iran secara teoritik, tetapi bukankah setiap negara berhak untuk menentukan prinsip-prinsip dasar dan ideologinya.
Terlebih diketahui Iran di dalam membentuk sistem pemerintahannya, turut melibatkan partisipasi publik, melalui sebuah referendum yang sangat demokratis. Tercatat sekitar 98% masyarakat menyetujui bentuk pemerintahan Republik Islam, dalam kurung “Wilayatul Fakih”.
Artinya, sistem Wilayatul Fakih mendapatkan akseptabilitas dari mayoritas masyarakat, sehingga dapat dikatakan rakyat Iran turut andil menentukan arah visi dari negara mereka. Sangat jarang kita temukan sebuah negara dibangun dengan melibatkan hampir seluruh rakyatnya di dalam menentukan sistem dan ideologi yang akan dianut.
Saat ini Iran dipimpin oleh Sayid Ali Khameini sebagai Wali Fakih/pemimpin tertinggi, yang dimana beliau menggantikan Khomeini pada tahun 1989. Di tangan Ali Khameini, Iran semakin berkembang sebagai negara yang berdaulat dalam berbagai bidang. Walaupun masih terdapat kekurangan, namun rasanya tidak berlebihan bila Iran dapat dijadikan contoh bagi dunia Islam, khususnya Indonesia yang mempunyai harapan besar agar mampu berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Inilah yang dicita-citakan oleh Presiden RI Pertama, Soekarno yang dikenal dengan istilah (Trisakti).