Beberapa waktu belakangan ini, terdapat fenomena menarik dalam konstelasi politik di tanah air. Meski pemilihan umum masih cukup lama, yaitu pada April 2019, namun genderang “perang” sudah mulai ditabuh jauh-jauh hari sebelumnya, baik melalui perantara media sosial, duel gerakan sosial, perang tagar, adu kaos, dan unjuk kekuatan dengan deklarasi-deklarasi dukungan.
Tak terkecuali, gerakan #2019GantiPresiden yang mulai merambah ke seluruh pelosok nusantara melalui kampanye yang sedemikian masif, baik oleh tokoh agama, politisi, pengusaha, maupun masyarakat awam yang tergabung dalam banyak aliansi.
Gerakan 2019 Ganti Presiden yang pada awalnya diinisiasi dan menjadi political branding salah satu calon presiden dari PKS, yaitu Mardani Ali Sera, ini berubah menjadi semacam social movement yang didukung oleh beragam kalangan dengan tujuan yang sama, ganti presiden tahun depan.
Meski tampak bahwa Gerakan 2019 Ganti Presiden sudah sedemikian terorganisasi, namun masih terdapat kelemahan yang sangat fatal dan pengaruhnya begitu signifikan bagi keberhasilan gerakan, yaitu kecenderungan bahwa gerakan ini terlalu ekslusif dengan branding yang kurang simpatik bagi mereka yang berada di luar istilah “umat”.
Memang tidak dapat dipungkiri, bahwa Gerakan 2019 Ganti Presiden mayoritas digawangi oleh kelas menengah Muslim dan didukung oleh grassroot yang juga Muslim. Mereka berhimpun dengan tujuan yang sama, yaitu menginginkan peralihan tampuk kekuasaan kepada kelompok yang dianggap lebih mewakili umat, terlepas apakah peralihan itu menuju kepada arah yang lebih baik atau sebaliknya.
Branding kampanye yang dibuat oleh pendukung gerakan ini pun, selalu membawa istilah-istilah yang merujuk pada Islam, seperti perjuangan umat, kembalikan kejayaan umat, menuju kebangkitan Islam, bahkan hingga menganalogikan Pemilu sebagai ajang peperangan melawan kedzaliman.
Ketika terminologi-terminologi tersebut dipakai sebagai branding kampanye Gerakan 2019 Ganti Presiden, terlihat jelas bahwa gerakan ini ingin mengkapitalisasi suara umat Islam yang mayoritas di negeri ini demi memuluskan tujuan politik kekuasaannya.
Dalam konteks politik elektoral, apabila suara mayoritas didapat, maka kemenangan akan diraih. Umat Islam beserta segala hal yang meliputinya adalah lahan yang sangat seksi untuk “dimaksimalkan”, jika tidak ingin disebut diesploitasi. Hal itulah yang dilihat sebagai peluang besar oleh pengelola isu dan propaganda Gerakan 2019 Ganti Presiden ini.
Namun di sisi lain, branding Gerakan 2019 Ganti Presiden yang bernuansa “Islam politik” ini, terkesan terlalu ekslusif dan tidak merangkul semua. Jangankan untuk merangkul semua kalangan dari latar belakang agama yang berbeda, bahkan untuk mengkapitalisasi suara umat Islam saja, sebagaimana yang mereka inginkan, kemungkinan akan menjadi hal yang sulit terwujud.
Presiden Joko Widodo meskipun dianggap berasal dari kalangan nasionalis, tetapi beliau mendapat dukungan dari PKB dan PPP yang punya basis sosio-kultural umat Islam yang jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi kekuatan Jokowi di wilayah Indonesia timur yang mayoritas penganut Nasrani, dan cenderung akan menjadi konstituen tetap Jokowi di 2019 nanti. Hal ini jelas menjadikan narasi #Jokowi2Periode terlihat lebih inklusif dibanding #2019GantiPresiden yang hanya menyasar ke satu latar belakang keagamaan tertentu.
Padahal sangat dimungkinkan, bahwa banyak orang di luar sana, yang bukan merupakan bagian dari “umat”, mereka yang berasal dari basis primordial yang berbeda, juga merasakan kesulitan yang sama, keresahan yang sama, sekaligus keinginan yang sama untuk mengganti presiden di tahun depan. Namun, sekali lagi sangat disayangkan, Gerakan 2019 Ganti Presiden telah mengemas dirinya sedekimian rupa, sehingga orang-orang dengan latar belakang yang berbeda menjadi ragu untuk bergabung dalam gerakan sosial yang fenomenal ini.
Bukankah lebih baik, jika membuat gerakan seinklusif dan seterbuka mungkin, agar semua pihak bisa bergabung? Bukankah lebih baik, jauhkan prasangka terhadap entitas agama lain, agar gerakan ini dapat diterima dengan jangkauan yang lebih luas? Atau bukankah lebih baik, jika gerakan ini tidak membawa term-term agama yang terlalu heroik atau bahkan mengerikan, yang justru menjadikan dirinya sendiri anti-klimaks?
Kita lihat saja, bagaimana ujung dari kisah yang mereka sebut sebagai “perjuangan umat” ini.