Jumat, April 26, 2024

Wacana Keperawanan dalam Masyarakat Kita

Rahma Runindaru
Rahma Runindaru
Seorang BTS ARMY yang menjadikan menulis sebagai kegiatan meditatif favoritnya. Perempuan yang kini menyibukkan diri sebagai aktivis kesehatan mental. Masih menyukai musik emo, kopi, dan buku. Ia telah menerbitkan dua e-book secara mandiri berjudul You dan Kado.

Isu keperawanan adalah isu yang bagi saya tabu tetapi terus-menerus terdengar, seolah tak ada habisnya sebelum semua perempuan akhirnya menikah. Ya, keperawanan memang selalu dilekatkan pada perempuan—hanya dan selalu—setidaknya sampai hari ini.

Keperawanan menjadi topik hangat bagi perempuan yang menjelang menikah dan ketika marak munculnya kasus-kasus pergaulan bebas. Keperawanan tidak pernah menyangkut laki-laki, seolah keperawanan hanya milik perempuan.

Kalau ada yang bertanya-tanya mengapa banyak remaja perempuan atau perempuan yang belum berada dalam status pernikahan di Indonesia sudah tidak perawan? Jawaban saya: karena banyak laki-laki yang sudah tidak perjaka. Baik.

Sebelum protes, saya tahu adanya fakta menurut kesehatan bahwa selaput dara yang robek dapat disebabkan oleh tiga faktor, yakni: Pertama, kecelakaan. Kedua, kesengajaan Sang pemilik selaput dara (masturbasi, Red). Ketiga, hubungan intim.

“….diketahui bahwa 11,2% gadis dilahirkan dengan selaput dara yang elastis, 16,16% dilahirkan dengan selaput dara yang mudah robek, 31,32% dilahirkan dengan selaput dara yang tebal dan elastis, dan hanya 41,32% yang dapat dianggap sebagai selaput dara normal.” (Nawal, 2000:49)

Pada dasarnya setiap perempuan dianugerahi selaput dara yang tidak sama dengan perempuan lainnya. Selaput dara memiliki bentuk, ukuran, dan ketebalan yang beragam. Namun, kurangnya wawasan mengenai hal semacam inilah yang menyesatkan pola pikir masyarakat kita.

Sehingga, semua perempuan dianggap memiliki selaput dara yang sama. Mestinya tidak perlu terlalu jauh membicarakan selaput dara, sementara perihal paras wajah setiap orang pun berbeda.

Kenyataannya tidak ada satu tubuh yang benar-benar sama dengan tubuh lainnya. Hal ini tidak hanya berlaku pada perempuan, pun laki-laki dianugerahi alat kelamin yang tidak sama dengan alat kelamin laki-laki lainnya.

Sayangnya, kenyataan semacam ini hanya dipahami oleh mereka yang memang berada pada bidangnya, dalam hal ini adalah kesehatan. Orang-orang di luar bidang tersebut tampak sangat awam dengan kenyataan yang seharusnya dapat menjadi pemakluman dalam berbagai masalah keperempuanan, khususnya keperawanan.

Namun, realitanya apakah setiap perempuan yang sudah tidak perawan dipertanyakan penyebabnya dengan tiga kemungkinan itu? Sejauh ini saya belum menemukannya di masyarakat kita.

Kita lebih senang melabeli stigma bahwa perempuan yang sudah tidak lagi perawan atau selaput daranya sudah robek berarti sudah melakukan hubungan badan. Bahkan, tidak jarang perempuan tersebut akan dilekatkan dengan label-label negatif, misalnya perempuan nakal, jalang, dan sebagainya.

Kembali pada pertanyaan di awal. Jika dilogikakan sesuai pemahaman masyarakat kita, maka semestinya jawaban atas pertanyaan apa penyebab banyaknya remaja perempuan atau perempuan yang sudah tidak perawan sebelum menikah?

Karena banyaknya laki-laki yang juga tidak lagi perjaka. Semestinya ini menjadi fakta yang bisa diterima, tetapi mengapa seolah-olah masyarakat tidak pernah menyadari hal ini? Apakah karena hegemoni patriarki yang sudah mengakar di dalam masyarakat kita atau ada sebab lain?

Kesucian bagi perempuan terletak pada robek tidaknya selaput dara, sementara hal tersebut sama sekali tidak berlaku pada laki-laki. Apakah hanya karena tidak ada tanda fisik yang dengan mudah dapat dijadikan penanda hilang tidaknya kesucian seorang laki-laki?

Sampai hari ini pun saya belum menemukan adanya publikasi tentang penelitian berupa hasil survei berapa banyak remaja laki-laki atau laki-laki yang sudah tidak lagi perjaka sebelum berada dalam status pernikahan. Sehingga, lagi-lagi hanya perempuan yang disudutkan, padahal perilaku laki-laki lah yang turut andil memengaruhi fluktuasi prosentase status keperawanan pada perempuan-perempuan di Indonesia.

Saya kerap kali geram ketika mendengar perempuan yang akan menikah oleh keluarga calon suaminya dipertanyakan betul-betul status keperawanannya. Tidak bisakah kita tidak mempermasalahkan hal tersebut? Kalau mempermasalahkan keperawanan, sudahkah mempermasalahkan keperjakaan juga? Lagi-lagi perlu diingat dan digarisbawahi bahwa keperawanan dalam stigma masyarakat kita dalah perkara robek tidaknya selaput dara Si Perempuan.

Persoalan pola pikir dalam menyikapi keperawanan bisa disebabkan adanya ekspansi budaya. Hegemoni patriarki di tengah masyarakat Arab bisa menjadi salah satu jawabannya. Entah melalui ekspansi berupa emigrasi atau ekspansi lain, nampaknya budaya pola pikir ini akhirnya terbawa dan tumbuh di tengah masyarakat kita.

Nawal El Saadawi dalam bukunya The Hidden Face of Eye yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Perempuan dalam Budaya Patriarki mengatakan bahwa:

“Seorang gadis yang tidak memiliki keperawanan lagi, bisa dikenai hukuman secara fisik, secara moral, atau paling tidak diceraikan jika hal itu ketahuan pada saat menikah. Gadis malang itu mungkin sama sekali tidak berdosa, hanya ia tidak mampu membuktikan kebenarannya. Ini karena kenyatan bahwa masyarakat kelas patriarkat membebankan keperawanan sebelum pernikahan kepada setiap gadis dan memastikan bahwa kehormatan diri dan keluarganya terkait erat pada ada tidaknya keperawanan ini.” (hal. 50)

Sangat jelas bahwa hegemoni patriarki mengendalikan pola pikir masyarakat Arab, hingga ada konsekuensi yang tidak tanggung-tanggung dibebankan pada perempuan yang tidak lagi memegang status “perawan”.

Bukan tidak mungkin hal ini juga berpengaruh pada masyarakat kita, arus masuknya agama Islam tentunya bisa menjadi salah satu kemungkinan yang turut membawa pola pikir tersebut. Sehingga, penerimaan yang keliru akan sulit membedakan antara ajaran agama dan budaya.

Buktinya, ketika ditemukan seorang perempuan yang ketahuan “tidak suci”, tidak diperlukan waktu untuk adanya penyelidikan, seseorang itu akan secara otomatis dijatuhi sanksi sosial. Sanksi sosial tidak kalah kejam dengan hukuman secara fisik, karena selain memengaruhi citra seseorang, bisa jadi ada masa depan yang ikut dipertaruhkan.

Sekarang, apakah mungkin wacana keperawanan dalam masyarakat kita yang lebih banyak selalu menyudutkan perempuan bisa berubah? Setidaknya, ketika mempertanyakan perihal keperawanan kepada perempuan, mestinya diimbangi dengan mempertanyakan keperjakaan kepada laki-laki. Bagi saya, memang sudah seharusnya masing-masing dari kitalah yang mulai menghentikan laju standar ganda moralitas tersebut.

Rahma Runindaru
Rahma Runindaru
Seorang BTS ARMY yang menjadikan menulis sebagai kegiatan meditatif favoritnya. Perempuan yang kini menyibukkan diri sebagai aktivis kesehatan mental. Masih menyukai musik emo, kopi, dan buku. Ia telah menerbitkan dua e-book secara mandiri berjudul You dan Kado.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.