Kamis, Oktober 10, 2024

Wacana Cadar dan Cingkrang Berpotensi Konflik

Prakoso Permono
Prakoso Permono
Penerima Lencana Teladan dari Presiden Republik Indonesia. Kandidat PhD dalam bidang Comparative Political Science.

Belakangan santer pemberitaan Jenderal (Purn.) Fachrul Razi melempar wacana pelarangan bercadar dan penggunaan celana cingkrang di kalangan aparatur sipil negara (ASN). Walaupun kemudian pernyataan ini diklarifikasi spesifik hanya berlaku di Kementerian Agama saja menurut Wakil Menag Zainut Tauhid.

Terlepas dari klarifikasi itu logika sederhana dapat menjelaskan dasar pelarangan ini, misalnya tentu saja terdapat aturan-aturan tertentu dalam penggunaan seragam atau pakaian dinas di lingkungan pemerintahan.

Namun demikian hal tersebut tidak mengurangi kritik terhadap kebijakan yang seakan-akan tidak memperhatikan kenyataan sosial yang terjadi di masyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat madani sudah sepatutnya kalangan kampus turut urun pendapat.

Wacana pelarangan ini memiliki potensi mendatangkan konflik. Nyatanya terdapat kelompok yang memang mengenakan cadar dan bercelana cingkrang di tengah-tengah masyarakat kita, fenomena ini adalah suatu kenyataan sosial.

Tentu analisis ini tidak menghubungkan hakikat cadar ataupun celana cingkrang yang kerap disebut antropolog King Fahd University Prof. Sumanto dalam berbagai tulisan santainya sebagai ekspresi kebudayaan Arab dan telah ada sebelum kemunculan lslam, analisis ini juga bukan hendak memperdebatkan doktrin keagamaan tertentu.

Yang jelas fenomena ini nyata dan dipersepsikan sendiri oleh penggunanya sebagai identitas religius. Dalam era post-truth kini memang yang menjadi penting bukanlah kebenaran dalam kasus ini mengenai cadar dan cingkrang adalah perintah agama yang hakiki atau ekspresi budaya asing.

Yang penting ialah sesederhana apa yang dipersepsikan sebagai suatu kebenaran. Sehingga apapun itu, cadar dan cingkrang oleh sekelompok masyarakat telah diterima sebagai suatu identitas keagamaan.

Tak dapat dipungkiri bahwa publik pun bereaksi, misalnya di dunia maya. Fenomena ini adalah pertanda iklim demokrasi yang sehat, yaitu saat publik turut serta ambil bagian dan urun suara dalam setiap kebijakan pemerintah.

Oleh sebab adanya reaksi itu bentuk-bentuk pelarangan penggunaan identitas cadar dan cingkrang tersebut patut dikhawatirkan melahirkan kristalisasi identitas mirip seperti penelitian Martin van Bruinessen pada kelompok Islam pada masa Orde Baru yang mengkristal identitasnya di bawah tekanan pemerintah Orba, atau disebut juga sebagai fenomena conservative turn.

Dampak dari kristalisasi potensi identitas tersebut ialah berkembangnya populisme berbasis identitas keagamaan yang dapat menimbulkan meruncingnya konflik horizontal antar masyarakat dengan beragam identitas berbeda, dalam pendekatan sosiologi konsep ini nantinya melahirkan relasi in-group dan out-group alias perbedaan identitas melahirkan stereotip atau prasangka yang belum tentu benar adanya.

Dalam situasi yang lain Tareq Ali menggambarkan kondisi semacam ini sebagai clash of fundamentalism, saat berbagai nilai dan identitas memaksakan satu sama lain maka pangkal logisnya ialah konflik antar kelompok masyarakat.

Salah satu dampak lain dari pelarangan busana yang dipersepsikan sebagai simbol keagamaan ini ialah fenomena labeling. Yaitu melabeli sekelompok orang dengan predikat atau atribut tertentu berdasarkan penggunaan identitas fisik semata, cadar dan cingkrang misalnya dalam kasus wacana Menteri Agama RI diidentikkan dengan mode berbusana yang keliru.

Kondisi semacam ini sepatutnya menjadi evaluasi sebagaimana akademisi di barat mengingatkan dalam berbagai riset bahwa narasi-narasi yang berujung pada kelahiran suspect community atau kelompok masyarakat yang dicurigai dengan label tertentu berpotensi menimbulkan blowback atau serangan balik pada pemerintah disebabkan oleh kebijakannya.

Potensi-potensi yang ada ini baiknya dikaji lebih mendalam tidak hanya dari persoalan legal formalnya namun juga dari sudut pandang dampak sosialnya oleh think tank Kementerian Agama RI sebelum diwacanakan di hadapan publik.

Konsisten dan Substansial 

Ada baiknya seluruh kebijakan pemerintah konsisten dengan nilai-nilai yang telah menjadi kesepakatan bersama seperti nilai kebebasan dan hak asasi. Penghormatan pada nilai-nilai kebebasan ini pula yang menjadi argumentasi kritik publik terhadap wacana Menteri Fachrul Razi, bahwa penghormatan pada kebebasan selama tidak melanggar kebebasan orang lain atau mengganggu kepentingan publik merupakan kewajiban negara untuk memenuhi, menghormati, dan melindungi prinsip kebebasan tersebut.

Nilai penghormatan pada kebebasan ini ialah konsekuensi kesepakatan kita dalam berdemokrasi, serta tentunya warna-warni perbedaan zahir tidak mencegah segenap komponen bangsa untuk menggapai cita-cita bersama kemerdekaan Indonesia, persis seperti yang selama ini dikampanyekan pemerintah. Kini waktunya untuk sabda pandita ratu, konsisten dan konsekuen dalam kebijakan.

Oleh sebab penghargaan terhadap nilai-nilai kebebasan dan hak tersebut barang kali masa depan demokrasi Indonesia akan mengantarkan kita pada masyarakat yang begitu inklusif. Yaitu masyarakat yang dapat menerima berbagai kenyataan identitas baik secara legal formal maupun secara sosial. Secara natural akan ramah pada kebhinekaan dan keniscayaan perkembangan identitas dan budaya seiring perkembangan zaman.

Tentu dalam konteks seragam memang logis memahami konsep seragam dalam bentuk yang benar seragam. Namun demikian pemerintah dalam hal ini menteri agama sepatutnya bijak dalam mewacanakan suatu kebijakan, salah satunya ialah dengan tidak sekedar memandang berbagai persoalan pada kulitnya saja melainkan juga melihatnya gambaran persoalan secara lebih substansial.

Bila kita masih berkutat pada diskusi tentang disiplin aparatur sipil negara, maka apakah dengan bercelana cingkrang secara otomatis menandai kinerja yang buruk? Tentu hal semacam ini mesti diuji lebih secara substansial.

Oleh sebab itu pemerintahan Presiden Joko Widodo seyogianya memperhatikan langkah eksekutor visi presiden khususnya dalam menangkal radikalisme atau juga ditawarkan dengan terminologi “manipulator agama” yang memiliki kemampuan dalam mengeksekusi suatu kebijakan yang bersifat preventif, soft approach, atau pendekatan kultural dan kemampuan untuk tidak tergesa-gesa dalam melempar wacana terbuka demi menghindari potensi munculnya konflik horizontal.  Pelemparan wacana yang serampangan kelak dapat menuai konflik.

Adapun secara substansial bangsa kita dihadapkan pada fenomena penggunaan identitas keagamaan yang lebih penting dan menuntut pembahasan serius. Seperti pembahasan upaya pemerintah dan seluruh komponen bangsa menyikapi penggunaan identitas keagamaan untuk kepentingan politik suatu kelompok kepentingan.

Contohnya seperti konstruksi bahwa suatu kelompok didukung dan memperjuangkan kelompok agama dan kelompok lainnya akan mencampakkan kelompok agama. Penggunaan identitas dan sentimen keagamaan dalam ranah politik kepentingan semacam itu lebih nyata merusak kohesi sosial dan mendorong terjadinya konflik horizontal yang membekas dan berkepanjangan.

Tentu masalah-masalah tersebut penting untuk menjadi perhatian pemerintah mulai dari sekarang khususnya dalam mempersiapkan diri menghadapi pemilihan kepala daerah serentak tahun mendatang ketimbang sekedar membahas soal cadar dan celana cingkrang.

Prakoso Permono
Prakoso Permono
Penerima Lencana Teladan dari Presiden Republik Indonesia. Kandidat PhD dalam bidang Comparative Political Science.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.