Minggu, November 24, 2024

Tuhan juga Hadir untuk Perempuan

Lutfia Indah
Lutfia Indah
Saya merupakan seorang mahasiswa Antropologi di Universitas Brawijaya yang juga tergabung dalam Forum Studi Mahasiswa Pengembang Penalaran. Di sela kegiatan, saya masih menyempatkan diri untuk menulis di blog pribadi, dan tertarik pada sastra, budaya, serta masih belajar mengenai isu gender.
- Advertisement -

Isu mengenai gender dan upaya penyetaraan menjadi sebuah agenda yang tidak akan ada habisnya untuk dibahas dan diperjuangkan. Realita menunjukkan bahwa perbedaan gender yang menyebabkan adanya ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan membuat seolah-olah terdapat dominasi laki-laki terhadap perempuan.

Ketimpangan yang menyebabkan perempuan berada di second place ini, semakin diperkuat oleh tafsir dan doktrin agama yang telah direduksi oleh budaya patriarki, sehingga seolah-olah peristiwa ini telah memiliki legitimasi teologis tersendiri.

Tradisi agama yang dikonstruksi oleh masyarakat dengan budaya patriarki telah menciptakan beberapa ruang yang dinilai tidak adil terhadap peran perempuan. Bukan bermaksud untuk menyinggung nilai-nilai agamanya, namun disini yang lebih disoroti adalah pada manusianya yang sering kali menafsirkan nilai-nilai agama yang tidak ramah terhadap perempuan.

Jika kita coba lihat, sebenarnya agama hadir untuk menegaskan bahwa setiap manusia tidak ada bedanya di mata Tuhan kecuali perangainya sehingga terdapat nilai keadilan bagi setiap manusia, termasuk perempuan.

Tuhan menciptakan kehidupan untuk laki-laki dan perempuan, sehingga kebermanfaatannyapun harus saling bertimbal balik, bukan hanya untuk menguntungkan salah satu pihak dan melemahkan pihak yang lain. Sayangnya budaya patriarki mencoba mereduksi pemaknaan ini dengan menggunakan ajaran agama yang ditafsirkan secara misoginis. Apabila agama yang diambil dari nilai-nilai ketuhanan hadir untuk kebaikan dan keadilan, maka teks-teks agama haruslah ditafsirkan demi keadilan bersama pula.

Salah satu bentuk ketidakadilah gender adalah subordinasi yang sering menempatkan laki-laki sebagai pihak superior dan perempuan sebagai inferior. Hal ini mempengaruhi sebuah relasi sosial yang bersifat hierarkis dimana pihak superior pasti berada di tingkat atas dan merasa memiliki hak untuk mendominasi pihak inferior.

Subordinasi ini pada akhirnya membawa sebuah stereotype yang menyebabkan terbatasinya ruang gerak perempuan. Perempuan sering dikonotasikan sebagai pihak yang lemah dan bukan tempatnya jika mereka ingin bekerja di sektor publik sehingga mereka pasti membutuhkan peran laki-laki. Posisi ini semakin diperkuat dengan doktrin agama yang telah dikonstruksikan oleh budaya patriarki, dimana dunia luar adalah tempat yang berbahaya bagi perempuan sebab bisa menimbulkan fitnah.

Padahal Ir. Soekarno dalam bukunya yang berjudul Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia sempat menjelaskan bahwa terbentuknya wacana perepuan yang feminim, lebih mengandalkan emosi, perasaan, hingga hal-hal yang indah sebenarnya dengan sengaja telah dibentuk oleh budaya patriarki yang tidak memperbolehkan perempuan untuk keluar dari rumah.

Selain itu pada masa itu ilmu pengetahuan hanya dapat dimiliki oleh kaum laki-laki sedangkan perempuan lebih ditekankan pada ilmu mengenai keestetikaan. Hal tersebutlah yang sampai sekarang masih terus menerus direproduksi oleh masyarakat dan pada akhirnya perempuan dengan pendidikan tinggi dan menjadi seorang pemimpin justru dianggap tabu bahkan tidak sesuai dengan kodrat mereka.

Pembatasan ruang gerak perempuan ini sejalan dengan konsep androsentrisme yaitu sebuah peristiwa dimana agama telah dikonstruksikan maupun dikembangkan menggunakan perspektif laki-laki. Hal ini menimbulkan adanya keistimewaan bagi kaum laki-laki untuk menciptakan wacana mengenai keharusan perempuan patuh pada laki-laki terlebih dalam relasi suami-istri.

- Advertisement -

Soekarno menjelaskan tindakan ini dialibikan sebagai sebuah afeksi laki-laki terhadap perempuan, bahwa perempuan ibarat mutiara berharga yang harus dijaga dan dimuliakan oleh suami. Namun pada kenyataannya tindakan tersebut hanya akan mempertegas kuasa laki-laki atas perempuan. Perempuan akan dibuat tunduk dan patuh, yang hanya bisa dibuktikan dengan berdiam diri di rumah, sebab dunia luar terlalu bahaya bagi perempuan dan disamping itu ketidakpatuhan pada suami adalah sebuah dosa yang paling besar nilainya.

Lalu, benarkah semua itu adalah yang dikehendaki Tuhan untuk perempuan?

Tentu saja saya menjawab tidak. Tuhan melalui agama mengajarkan nilai-nilai cinta kasih kepada sesama manusia dan terdapat ajaran untuk berserah diri kepada-Nya. Apabila doktrin agama digunakan untuk melanggengkan kuasa atau dominasi laki-laki terhadap perempuan, maka dapat kita katakan sebagai kegagalan seseorang dalam berserah diri kepada Tuhan.

Hal ini didasarkan pada cara kita untuk memperlakukan manusia secara setara, bukan malah melihat orang lain, dalam hal ini perempuan sebagai liyan atau merasa bahwa kita memiliki posisi yang lebih tinggi daripada orang lain. Apalagi Tuhan memandang kedudukan semua manusia adalah sama, sebagai seorang hamba. Kita dapat melihat sisi-sisi keadilan yang dimiliki Tuhan, yakni tidak menempatkan posisi seseorang menjadi lebih tinggi berdasarkan status sosial maupun jenis kelaminnya.

Budaya patriarkilah yang membuat seseorang merasa dirinya jauh di atas orang lain, pelarangan atau menghalangi perempuan untuk memasuki ranah publik justru menjadi sebuah bukti kekhawatiran tergesernya posisi mereka oleh perempuan. Maka dari itu dibentuklah doktrin agama untuk mempertahankan posisi tersebut.

Tuhan melalui nilai dan ajaran dalam agama sebenarnya sangat memperhatikan posisi dan nasib perempuan. Perempuan diperbolehkan untuk memiliki kemandirian secara politik, ekonomi, hingga menentukan pilihan mereka sendiri.

Tuhan tidak pernah menganjurkan atau memerintahkan kita untuk menuhankan manusia, sehingga dengan ini dapat kita pastikan bahwa tidak ada manusia yang bisa ditundukkan secara mutlak oleh manusia lain. Tidak ada yang namanya liyan dalam kehidupan laki-laki maupun perempuan, keduanya adalah “diri” jika berhadapan dengan sesama manusia.

Sebenarnya yang dikehendaki perempuan bukanlah sebuah upaya untuk menjadikan dirinya berposisi lebih tinggi daripada laki-laki. Satu hal yang menjadi inti untuk keluar dari permasalahan ketimpangan gender ini adalah sebuah kolaborasi antara laki-laki dengan perempuan.

Tuhanpun mengajarkan kita untuk saling tolong menolong sesama manusia. Sekalipun Tuhan melalui agama telah menempatkan posisi perempuan setara dengan laki-laki, namun bila dalam menafsirkan ajaran Tuhan masih dilakukan secara androsentris, maka kesetaraan tersebut akan sulit terwujud.

Oleh karena itu, menjadi hal yang sangat baik bila antara laki-laki dan perempuan saling belajar untuk bersikap dan membangun relasi yang adil satu sama lain seperti yang telah ditanamkan Tuhan melalui nilai agama. Pernyataan ini juga sebagai tanda hadirnya Tuhan bagi perempuan, bahwa ada kewajiban berkolaborasi antara laki-laki dan perempuan untuk mendekonstruksi pemikiran patriarkis yang telah masuk pada doktrin keagamaan.

Sumber:

Zubaedah, S. (2010). Mengurai Problematika Gender dan Agama. Yin Yang, 5(2), 243-260.

Sumbulah, U. (2012). Agama dan keadilan gender. Egalita.

Lutfia Indah
Lutfia Indah
Saya merupakan seorang mahasiswa Antropologi di Universitas Brawijaya yang juga tergabung dalam Forum Studi Mahasiswa Pengembang Penalaran. Di sela kegiatan, saya masih menyempatkan diri untuk menulis di blog pribadi, dan tertarik pada sastra, budaya, serta masih belajar mengenai isu gender.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.