Penulisan (tafsir) sejarah selalu debatable terlebih bila berhubungan dengan kekuasaan. Kita sering mendengar ungkapan, sejarah ditulis para pemenang, tetapi kita pun juga mendengar bahwa rakyat pun menuliskan sejarahnya sendiri atau lebih keren, “menulis sejarah sebagai kritik” dan yang seakan lebih gagah, “meluruskan sejarah” sebab dinilainya ada kebohongan dalam penulisan sejarah yang masih berlangsung dan seringkali dikuatkan dengan hoaks dalam sejarah kekinian.
Peristiwa yang paling krusial dalam perdebatan sejarah Indonesia pasca kemerdekaan tentu saja adalah Pemberontakan G 30 S tahun 1965 yang dimensinya begitu luas dan dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan sekaligus menyebabkan keruntuhan PKI yang merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia di masa Perang Dingin sehingga praktis tak mampu bangkit lagi; bahkan setelah melewati setengah abad.
Apa yang menyebabkan kekuasaan sanggup mempertahankan reputasinya begitu lama untuk menghajar PKI bahkan membungkam dan menenggelamkannya dalam sejarah kegelapan yang seakan tak ada celah?
Padahal sejarah kritiknya pun sudah dimulai dengan tersebarnya Preliminary Analysis of The October 1, 1965 Coup in Indonesia oleh Ben Anderson, tak lama setelah peristiwa G 30 S tersebut. Ini tentu berbeda dengan ketika PKI menghadapi penindasan kolonial Belanda di tahun 1926. Faktanya, setelah gagalnya pemberontakan PKI di tahun 1926 itu, PKI masih sanggup bergerak dan muncul lagi pasca Proklamasi Kemerdekaan 1945.
Betapa sejarah dengan fakta-fakta agungnya tak juga sanggup menolong PKI bahkan dari segi kemanusiaan di hadapan kekuasaan yang secara tak langsung dibantu dan diperjuangkan berdirinya oleh PKI sejak berdirinya pada tanggal 23 Mei 1914.
Penghilangan fakta-fakta yang bisa mengingatkan rakyat pada peran PKI pun dilakukan. Misalnya Ali Moertopo, Menteri Penerangan RI dalam kata sambutannya atas penerbitan buku “Maju Setapak” yang disunting Pitut Soeharto dan drs. A. Zainoel Ihsan, terbitan Aksara Jayasakti, Jakarta, tahun 1981, menulis peristiwa pemberontakan nasional tahun 1926 tanpa menyinggung peran PKI:
“Reaksi terhadap gejala sejarah tersebut yang makin mendorong pemuda-pemudi yang sudah mulai tebal kesadaran nasionalnya untuk menciptakan kekuatan nasional berdasarkan kesatuan dan persatuan, walaupun De Graeff sebagai Gubernur Jenderal yang baru makin bertindak lebih keras terhadap perlawanan rakyat di Banten, di Sumatera Barat, dan di beberapa tempat di Pulau Jawa pada tahun 1926, dengan memenjarakan 4500 orang, membuang 1300 orang ke Digul dan bahkan beberapa orang dihukum mati.”
Sementara Bung Karno justru masih tetap mengakui sumbangan PKI untuk kemerdekaan Indonesia di hari-hari terakhir kekuasaannya, katanya: “Banjak orang komunis, jang tulang-belulangnja berserakan dalam kuburan-kuburan jang tak dikenal di Digul, adalah pedjoang-pedjoang kemerdekaan jang ulung. Sampai sekarang orang komunis tetap mendjadi pedjoang besar.” (Cindy Adams, Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia, Gunung Agung, Djakarta;1966; 433)
Penghilangan fakta-fakta sejarah untuk mendukung kelanggengan kekuasaan bukanlah hal baru dalam sejarah nasional Indonesia di masa yang lalu. Begitulah demi tegaknya kuasa luhur Mataram, fakta-fakta sejarah kekuasaan Singhasari tidak ditulis bahkan dilenyapkan seperti yang dituliskan para pujangga Mataram dalam Babad Tanah Jawi. (lihat juga: C.C. Berg, Penulisan Sejarah Jawa, Bhratara, Jakarta, 1974; 115;132; 135).
Dalam perspektif lain, Slamet Muljana dalam bukunya yang berjudul: Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit menulis: “Suatu peristiwa yang agak menyolok ialah bahwa sejarah Singasari dan sejarah Majapahit itu dalam abad ketujuh belas boleh dikatakan telah musnah dari ingatan masyarakat Jawa.
Sebagai bukti ialah uraian Babad Tanah Jawi dan serat serat babad lainnya yang sama sekali menyimpang dari uraian Nagarakretagama dan Pararaton. Adanya Kerajaan Singasari sebagai pendahulu Kerajaan Majapahit dalam Babad Tanah Jawi sudah sama sekali dilupakan karena penggubah Babad Tanah Jawi menghubungkan pendiri Kerajaan Majapahit dengan Jaka Sesuruh dari Kerajaan Pajajaran.
Alih-alih dengan Dyah Wijaya dari Kerajaan Singasar–yang candi makamnya masih dapat disaksikan di Jawa Timur. Dengan sendirinya uraian Babad Tanah Jawi tentang Majapahit itu merupakan dongengan belaka. Celakanya dongengan itu lalu dianggap sebagai fakta sejarah dalam masyarakat Jawa.
Tampaknya, kita bisa menjawab pertanyaan: Apa yang menyebabkan kekuasaan sanggup mempertahankan reputasinya begitu lama untuk menghajar PKI bahkan membungkam dan menenggelamkannya dalam sejarah kegelapan yang seakan tak ada celah? Jawabnya adalah (tentu saja dengan menggunakan dana dan biaya negara yang besar ) pengabaian (ilmu) sejarah beserta fakta-fakta yang (terus-menerus) disodorkan sambil terus membangun dan memaksakan kisah dan dongeng yang harus dipercaya sebagaimana Berg dalam nada satir menulis tentang Penulisan Sejarah Jawa:
“Sang penulis sejarah tak merasa mendapat panggilan untuk mencatat kenyataan dari kehidupan sehari-hari ataupun untuk memberi keterangan tentang apa yang ada di luar masyarakat Jawa. Apa yang hidup di luar lingkungan keraton adalah kaum rendah dan hina, apa yang hidup di luar Jawa, bangsa biadab tak berharga untuk disebut-sebut.
Apa artinya perjuangan seorang yang bersahaja untuk mencari sesuap nasi, kalau di dalam penghidupan masih ada hal-hal jauh lebih luhur yang minta perhatian? Buat apa memberitakan tentang penyakit dan gangguan-gangguan yang diderita manusia fisik di lingkungannya dan cara bagaimana ia menyelamatkan dirinya, kalau orang dalam hubungan manusia dengan sekitarnya sudah harus pasrah sebagai takdir yang memang sudah ditentukan dan yang harus ia terima?
Mengapa pergi keluar perbatasan negeri sendiri, kalau di Jawa hidup Paku Buwana, “poros sekitar mana bumi berputar”, di Surakarta Adi ning Rat “yang luhur di dunia ini”?