Jumat, April 26, 2024

Terorisme dan Zona Merah Pejabat Negara

Mulawarman Hannase
Mulawarman Hannase
Dosen Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia

Aksi-aksi kekerasan dengan berbagai modusnya terus terjadi di negeri ini. Kekerasan yang kita saksikan dengan bermacam motifnya tentunya mengancam stabilitas dan keamanan bangsa. Keamanan seakan menjadi hal yang sangat mahal. Hampir semua sendi dan elemen bangsa rasanya menjadi tidak steril dari ancaman kekerasan.

Betapa tidak, Kamis 10 oktober 2019 di Daerah Pandegelang Banten, terjadi penyerangan terhadap Menkopolhukam Republik Indonesia, Wiranto, yang menyebabkanya harus dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif.

Menteri Kabinet Kerja Joko Widodo ini diserang oleh dua orang dengan menggunakan senjata tajam (pisau). Padahal, sekarang ini media masih intens menyorot kekerasan yang terjadi di Wamena, aksi-aksi demonstrasi yang menelan banyak korban jiwa, serta aksi pengeroyokan yang diduga dilkukan terhadap Ninoy Karundeng di sebuah tempat Ibadah.

Penyerangan terhadap Wiranto yang dilakukan oleh Syahrial Alamsyah alias Abu Rara dan Fitria Adriana sangat mencengangkan dan tentunya membuat shok banyak pihak. Di Indoneisa, sudah lama kita tidak mendapatkan seorang pejabat tinggi negara diserang secara brutal dengan menggunakan senjata tajam.

Bukan pada sosoknya secara pribadi, tapi jabatan yang melekat pada Wiranto yaitu Menkopolhukam menjadikan dirinya sebagi simbol negara. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa penyerangan terhadap Wiranto adalah penyerangan terhadap simbol negara. Apapun bentuknya, perbuatan anarkis terhadap siapa pun, apalagi pejabat negara bertentangan dengan konstitusi dan harus dilawan.

Menurut polisi, Badan Intelejen Negara (BIN), dan beberapa pengamat, penyerangan tersebut dilakukan oleh sosok yang terafiliasi dengan jaringan Jamaah Anshar al-Daulah (JAD) yang sering melakukan aksi-aksi teror di negeri ini. Apa sebenarnya tujuan besar dari aksi ini, bagaimana peristiwa ini memaknai sikap pejabat negara dalam proses penanggulangan terorisme di Indonesia?

Perlawanan terhadap Negara

Penyerangan tersebut bisa saja ideologis, politis atau murni kriminal. Greg Fealy, seorang peneliti dari Australia National University (ANU) yang banyak melakukan penelitian tentang kehidupan sosial keagamaan di Indonesia berpandangan bahwa Indonesia sebagai negara Demokrasi harus benar-benar bebas, terbuka dan tidak boleh ada diskriminasi terhadap kelompok apa pun, termasuk kepada kelompok Islam Politik.

Baginya, kelompok yang mengusung ideologi khilafah dan kelompok yang muaranya akan mengganti sistem negara tetap harus diberikan ruang dalam sebuah negara demokrasi. Pandangan ini ada benarnya dalam sebuah negara yang menganut demokrasi liberal. Tetapi pandangan ini tidak tetap untuk diterapkan di Indonesia yang menganut demokrasi Pancasila.

Jamaah Anshar al-Daulah adalah kelompok Islam Politik Ekstrimis yang bertanggung jawab atas berbagai aksi-aksi terorisme di negeri ini. Kelompok ini mempunyai konstuksi pemahaman konservatif yang mengarahkanya pada perilaku kekerasan. Kita tahu bahwa salah satu teori yang menjelaskan terjadinya kekerasan atas nama agama adalah teori konstruktivis, yaitu bahwa orang melakukan kekerasan, salah satu motifnya adalah konstuksi pemahanan agama.

Konsep demokrasi bertentangan dengan Islam. Negara Indonesia dan pemerintahnya adalah para pelanggar hukum agama (thogut). Mereka harus dilawan dengan jihad. Dan jihad yang dilakukan harus jihad bersenjata (kekerasan).

Itulah konstruksi ideologis kelompok ekstrimis jihadis di Indonesia yang jaringannya terus berkembang di seantero negeri. Kelompok ini memiliki sendi dan jaringan yang cukup kuat. Beberapa aksi teror telah dilakoni, seperti bom Sarinah, bom Panci di kampung melayu, penyerangan terhadap polisi di Solo dan yang paling mutakhir diduga dilakukan oleh jaringan kelompok JAD terhadap Wiranto.

Kenapa harus Wiranto yang menjadi sasaran? Kita tahu bahwa pada beberapa tahun terakhir, negara begitu intensif melawan kelompok-kelompok pro kekerasan dan yang ingin mengubah sistem negara, baik dengan pola kekerasan maupun dengan pola gerakan.

Upaya negara untuk memerangi kelompok ini berada bawah komando Menkopolhukam Wiranto. Oleh karena itu, sangat beralasan kalau kelompok ini menjadikan Wiranto sebagai target kelompok-kelompok karena kebijakan dikeluarkan dianggap menghalang-halangi perjuangannya dalam mengimplementasikan pemahamannya.

Aksi ini juga oleh beberapa pengamat diakaitkan dengan pelantikan Presiden pada tanggal 20 Oktober mendatang. Namun, ketika kita menganalisanya dengan pendekatan teritorial, maka aksi ini sesungguhnya bersifat spontanitas.

Salah satu karakter dari kelompok kekerasan adalah selalu ingin memanfaatkan momentum semaksimal mungkin untuk melancarkan aksinya. Kedatangan Wiranto di daerah Pandegelang ini merupakan momentum berharga bagi jaringan ini untuk melakukan aksinya dan sekaligus ingin menyampaikan kepada publik bahwa mereka masih eksis, masih bisa melakukan amaliah dan masih terus berjuang untuk melawan negara.

Bisa dikatakan bahwa tujuan besar dari aksi ini adalah memberikan perlawanan terhadap negara yang dianggap menghambat gerakan-gerakan mereka dalam memerangi apa yang dianggap thogut. Dalam berbagai aksi yang dilakukan beberapa tahun terakhir, target-target serangan banyak sekali dilakukan terhadap polisi karena dianggap sebagai alat negara yang digunakan untuk memberantas jaringanya, khususnya Densus 88. Bahkan, serangan terhadap polisi bisa dilakukan di markas mereka sendiri (Mako Brimob) oleh para narapidana teroris.

Zona Merah dan Kedekatan dengan Warga

Kita lihat saat ini, tokoh populer terkini di Indonesia semisal Jokowi, Sandiaga Uno, Anis Baswedan dan lainnya, kesehariannya tidak pernah berjarak dengan kerumunan warga. Untuk menjadi tokoh bangsa yang digandrungi, ia harus menghilangkan sekat perisai antara dirinya dengan masyarakat.

Di sinilah kemudian timbul sebuah dilema. Sekuat apa pun seorang tokoh di mata publik, pasti ada saja kelompok dan orang-orang tidak suka. Pada kondisi inilah keamanan jiwa menjadi taruhan dan ancaman.

Bisa jadi serangan terhadap Wiranto menjadi pelajaran yang bisa ditiru para pembenci untuk menghabisi yang dibencinya. Pejabat negara pun yang harusnya selalu berada dalam kerumunan warganya kemudian bisa berada dalam zona merah. Mereka tidak hanya harus mendekatkan dirinya lewat media, tetapi harus selalu siap menyapa dan diajak “selfi” oleh warga di manapun ia didapati dan ditemui.

Strategi menyerang pejabat negara secara langsung merupaka variabel baru yang dilakukan oleh jaringan ini. Sebuah pola yang menunjukkan bahwa target mereka yang sebelumnya banyak diarahkan kepada pihak keamanan, telah ditingkatkan ke level yang lebih besar yaitu para pejabat negara.

Para pejabat negara dijadikan sebagai target oleh kelompok-kelompok pro kekerasan. Ini adalah pelajaran dan peringatan bahwa negara dan pihak keamanan harus mengadopsi strategi baru dalam memberantas terorisme dan kelompok-kelompok pro kekerasan. Aksi terorisme tidak boleh menjadi ketakutan dan alasan untuk berjarak dengan warga, tetapi aksi terorisme harus dilawan dan menjadi mativasi meningkatkan kewaspadaan dan prosedur keamanan.

Mulawarman Hannase
Mulawarman Hannase
Dosen Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.