Kamis, April 25, 2024

Tambang Emas Tumpang Pitu dan Lingkungannya

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.

Beberapa waktu lalu pasca aksi di depan kantor gubernur Jawa Timur, terdapat beberapa komentar yang cukup tendensius dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jawa Timur terkait pemberian penghargaan kepada PT. Bumi Suksesindo, selaku pemegang IUP eksploitasi pertambangan emas di Tumpang Pitu. Pernyataan itu diungkapkan oleh kepala DLH Jawa Timur dengan berbagai argumentasi yang condong kepada korporasi.

Dari pernyataan tersebut saya menilai ada beberapa pernyataan yang tidak sesuai. Pertama, mengenai standar lingkungan yang katanya memenuhi. Perihal hal tersebut, maka DLH harus berani terbuka standar lingkungan itu seperti apa? Hasil risetnya seperti apa? Kapan mereka melakukan riset? Dan oleh siapa? Tentu yang paling terpenting ialah narasi penilaiannya.

Mengingat dengan melihat mata telanjang, proses pengurangan hutan sebagai kawasan vegetasi dan penyangga di kawasan lindung, memiliki peran sangat vital. Jikalau satu fungsi rusak, maka akan mempengaruhi lainnya.

Ketika beberapa wilayah yang menunjukan berkurangnya pohon, bahkan penampakan top soil-nya, apakah itu tidak mempengaruhi fungai secara keumuman. Standar lingkungan ini perlu jelas seperti apa? Karena apapun yang berkaitan dengan lingkungan hidup tidak bisa ditawar, karena pembentukan gunung Tumpang Pitu itu butuh jutaan tahun.

DLH Jatim juga selanjutnya mengungkapkan jika dampaknya adalah debu, dan tidak ada kaitannya dengan pertambangan. Maka DLH Jatim harus lebih jeli lagi melihat situasi ini. Pasalnya sebelum ada pertambangan emas, debu tidak separah masa kini, ketika saat Tumpang Pitu dieksploitasi.

Debu juga diakibatkan oleh jalur akses warga yang dilewati oleh kendaraan berat korporasi. Selain itu juga material di atas digunakan untuk menambal jalan yang berlubang, salah satunya diakibatkan oleh alur lalu lintas korporasi. Salah satunya, yang ia mengungkapkan di luar wilayah tambang bukan tanggung jawab perusahaan, artinya ini adalah bentuk pernyataan yang banal.

Bagaimana bisa satu fungsi hanya dilihat secara partikulatif, tidak komprehensif. Ia melupakan soal hakikat dasar ekosistem yang saling berkaitan. Penting kiranya DLH Jatim tidak sekedar bersikap otoritatif seolah-olah paling paham dan benar. Tapi kenyataannya ada logika yang terbalik, dan tak berpihak pada keselamatan ruang hidup rakyat.

Pernyataan lanjutan yang cukup mencengangkan ialah, mengenai eksploitasi PT. BSI yang katanya hanga memakan lahan sedikit sekitar 80 hektar dari izin yang katanya 605 hektar. Perlu diketaui izin eksploitasi PT. BSI sendiri mencapai 4.998 hektar, pasca diterbitkannya IUP melalui SK Bupati No. 188/555/KEP/429.011/2012. Apapun bentuknya tidak ada ceritanya eksploitasi ekstraktif itu tidak rakus lahan.

Pernyataan itu seolah-olah bentuk apologi atau pembelaan dan pembenaran atas eksploitasi tersebut. Tidak akan mungkin lahan akan tetap eksis dan hutan tetap lestari jika sudah berhadapan dengan proses produksi. Kalau toh ada, itu benar-benar melawan hukum sains dan Tuhan.

Kondisi itu pun ditambah dengan memberikan IUP lanjutan kepada PT. DSI yang mencapai 6.623 hektar. Bagaimanapun proses pelepasan hutan di Tumpang Pitu merupakan proses cacat dan politis. Perubahan kawasan dari hutan lindung ke produksi, benar-benar melupakan realitas perihal fungsi ekosistem dan dipaksakan demi eksplotasi.

Perlu ditegaskan, bahwa merujuk dalam dampak pertambangan secara umum oleh Laura Sonter (2018) tentang Mining and biodiversity: Key Issues and Research Needs in Conservation Science.

Bahwa dampak lingkungan dari aktivitas penambangan dapat terjadi pada skala lokal, regional, dan global melalui praktik penambangan langsung dan tidak langsung. Akibat hal tersebut, pertambangan dapat menyebabkan erosi, lubang pembuangan, hilangnya keanekaragaman hayati, atau kontaminasi tanah, air tanah, dan air permukaan oleh bahan kimia yang dipancarkan dari proses penambangan. Proses-proses ini juga berdampak pada atmosfer dari emisi karbon yang berdampak pada kualitas kesehatan manusia dan keanekaragaman hayati.

Jika merujuk pada salah satu buletin ilmiah yang dikerjakan oleh ahli lingkungan berkaitan dengan pertambangan. Sebagaimana, yang dtuliskan oleh Unger, Corinne, Alex Lechner, dan Ian Wilson (2013), dengan judul “Prevention of negative mining legacies a mine rehabilitation perspective on legislative changes in Queensland.” Menunjukan bahwa lingkungan tidak bisa dikembalikan ke fungsi utama, artinya hanya bisa diminimalisasi dampaknya melalui serangkaian pendekatan.

Misal soal mitigasi jangka panjang yang terangkum dalam aneka regulasi. Tetapi dalam berbagai literatur, hingga tulisan ini tak menyebutkan bisa menghalau kerusakan lingkungan secara masif.

Apalagi berkenaan dengan bencana, setiap fungsi yang hilang dari ekosistem akan mempengaruhi kemampuan resistensi dalam meminimalisir dampak bencana. Setiap fungsi yang dikurangi dan hancur, akan berdampak pada keseluruhan sistem. Tentu, apalagi berkacan pada kerentanan wilayah selatan. Menambang di kawasan yang seharusnya dipertahankan kelestariannya, sama saja mengundang bencana yang tak sebanding dengan profit yang dihasikan.

Perihal kebaikan eksploitasi yang dikatakan sudah sesuai prosedur dan standar, perlu dipertanyakan lagi soal hal itu. Apalagi jika penilaian hanya berbicara soal Corporate Social Responsibility yang merupakan sebuah skema, di mana untuk menutupi eksploitasi, maka perusahaan akan membagikan sedikit bantuan untuk masyarakat. Perlu diketahui, CSR itu ada karena perintah undang-undang dan bukan jaminan akan suatu indikasi kesejahteraan. CSR itu sendiri ibarat kamuflase atas tindakan eksploitasi yang dijalankan.

Menurut Sheehy (2015) dalam Defining CSR: Problem and Solutions , menurutnya merupakan regulasi diri bisnis swasta internasional yang sebagai perkembangan dari situasi sosial politik. Karena CSR sendiri dapat dimaknai sebagai tindakan filantropis bagian dari pengorbanan keuntungan korporasi dan melampaui kepatuhan. Karena munculnya aneka pelanggaran HAM oleh eksploitasi, maka secara internasional menyepakati membentuk aturan lunak ini.

Aguinis dan Glavas melakukan tinjauan komprehensif dengan mengkaji literatur tentang CSR, yang mencakup 700 sumber akademik dari berbagai bidang termasuk perilaku organisasi, strategi perusahaan, pemasaran dan HRM. Ditemukan bahwa alasan utama bagi perusahaan untuk terlibat dalam CSR adalah manfaat keuangan yang diharapkan terkait dengan CSR, daripada termotivasi keinginan untuk bertanggung jawab kepada masyarakat. Artinya ada motif bisnis dan politik yang berkaitan dengan akumulasi profit.

DLH Jawa Timur dan seluruh elemen pemerintah Jawa Timur perlu merubah paradigmanya selama ini. Jika hal yang korelasional dengan konteks ini dipertahankan, maka upaya penyelamatan ruang hidup rakyat tidak akan bisa diakselerasi. Karena politik hijau tidak sekedar soal sampah atau menanam pohon.

Tetapi bagaimana menyelamatkan ruang yang masih eksis, daripada menghancurkannya untuk kepentingan sesaat. Menciptakan bencana dan menghilangkan kesejahteraan itu sendiri. Karena hakikatnya kesejahteraan sangat beririsan dengan keberlanjutan lingkungan hidup.

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.