Di zaman ini, khususnya di negara kita yang serba darurat ini, istilah komunis menjadi sangat peyoratif. Komunis selalu dikaitkan dengan kebengisan, cabul, dan tentu saja kekafiran. Jika ada seseorang yang ingin mengenal komunisme atau Marxisme, hanya untuk bahan pembelajaran, kajian akademis, atau hanya untuk nampak keren agar disebut “aktipis”, akan terasa sangat sulit.
Lebih parah lagi, bisa jadi orang itu mendapatkan stigma buruk, dicurigai, atau bahkan “digebuk” oleh aparatur pemerintah dan sebagian orang-orang fanatisme agama. Komunisme yang lebih bersifat ideologis, dan Marxisme atau ide-ide kiri lainnya yang bersifat keilmuan, akibatnya menjadi tak dapat dibedakan. Ia akan selalu diposisikan sebagai liyan, selalu dimarjinalkan oleh sistem yang berkuasa.
Itu sudah sering terbukti, misalnya, setiap menjelang akhir bulan September atau awal Oktober, propaganda anti-komunis akan memenuhi wajah media sosial kita, dan sebagian chanel televisi nasional akan semarak memutar film horor GS30/PKI itu.
Bukti lainnya, untuk menyebutkan segelintir kasus saja, seperti peristiwa pengepungan Gedung YLBHI-LBH Jakarta oleh ribuan massa pada tahun lalu, yang dianggap sebagai upaya-upaya dalam membangkitkan komunisme. Atau sweeping/penyitaan buku-buku kiri yang dianggap berbau komunis beberapa bulan lalu, semakin marak terjadi.
Segelintir bukti konkret itu, sudah cukup untuk menunjukan kengawuran cara berpikir dari sebagian besar masyakat dan pemerintah kita dalam memahami komunisme atau istilah kiri lainnya. Tentu saja, sebagian dari kita mafhum, bahwa kondisi itu hadir bukan dari ruang hampa. Namun, dari penggelapan sejarah yang panjang oleh rezim despotik Orde Baru, sampai saat ini.
Penyelewengan terhadap Marxisme atau komunisme di Indonesia, erat kaitannya dengan dusta yang diinternalisasikan oleh rezim Orde Baru kedalam kesadaran sebagian besar masyarakat kita.
Diperparah lagi dengan hadirnya ormas-ormas Islam sisa-sisa Orde Baru, seperti FPI, yang menolak setiap apa pun yang berbau kiri dan selalu mengedepankan cara-cara kekerasan. Akibatnya, “darurat akal sehat” menjadi tak terelakkan, serta semakin merebaknya hoax seperti hujatan tak berdasar: “Kumunis Kafir,” ‘Darah Kumunis Halal, Bunuh!,” dan “Komunis Musuh Allah”.
Padahal, para tokoh pergerakan nasional, hampir sebagian besar mengenal dan mengadopsi ide-ide Marxisme dan komunisme untuk melawan kolonialisme Belanda. Sebut saja, misalnya, Haji Misbach dan Soekarno. Tanpa mempelajari ide-ide Marxisme dan komunisme, para founding father kita itu, tak akan mampu mengenali secara utuh bentuk-bentuk penindasan yang dilakukan secara sistemik oleh kaum kolonial Belanda.
Haji Misbach dan Soekarno menjadikan ide-ide Marxisme-Leninisme sebagai pisau bedah atau alat analisis untuk memperkuat perjuangan politik mereka melawan kolonialisme, tanpa sedikit pun melunturkan iman keislamannya. Bahkan, Mohammad Hatta pun sempat menerjemahkan buku Das Kapital Marx yang hari ini masih dianggap berbahaya oleh pemerintah.
Di kalangan NU sendiri, kosakata Marxisme dan komunisme bukanlah hal yang asing untuk sebagian orangnya. Gus Dur sejak remaja telah bergulat dengan buku tebal Das Kapital Marx, Whats To Be Done dan Romantisme Revolusioner karya Lenin, buku merah Mao, dan lain sebagainya. Sepeninggalan Gus Dur, banyak para intelektual muda NU yang bergulat dengan ide-ide kiri atau komunis, misalnya, Muhammad Al-Fayyadl dan Roy Murtadho. Karena itu, tak selamanya orang-orang komunis itu kafir.
Pada masa pemerintahan Soekarno, hubungan NU dengan orang-orang kiri, khususnya para anggota PKI, malah sempat harmonis. Sampai meletusnya genosida terhadap orang-orang komunis dan yang dituduh sebagai kumunis oleh militer di bawah pimpinan Soeharto, hubungan orang-orang komunis dengan warga NU menjadi memburuk. Akhirnya, dampak dari bentuk politisida (genosida politik) itu, menimbulkan phobia komunis yang ekstrim sampai hari ini.
Walaupun, harus diakui, sebelum meletusnya tragedi ’65 itu, sempat terjadi konflik antara kalangan beragama, seperti NU, dengan orang-orang komunis. Pemberontakan Madiun pada tahun 1948 yang dikomandoi oleh Muso, merupakan awal mula terjadinya clash antara kalangan beragama dengan orang-orang komunis. Sampai akhirnya, kalangan muda seperti DN. Aidit dan Njoto, memperbaiki citra komunis akibat kekeliruan yang dilakukan oleh para pendahulunya itu. Komunisme pun mendapatkan kembali kepercayaan dari masyarakat Indonesia, hingga meletusnya tragedi ‘65.
Maka tak mengejutkan, jika para sesepuh NU seperti Mbah Wahab Chasbullah dapat menjalin hubungan yang baik dengan para anggota partai komunis pada masa pemerintahan Soekarno. Selain itu, Kiai Wahid Hasyim, ayahanda Gus Dur, menjalin kekerabatan yang baik pula dengan Tan Malaka, salah satu tokoh pergerakan dari kalangan komunis. Hal inilah yang disadari Gus Dur, hingga beberapa dasawarsa kemudian, Gus Dur mencoba mendobrak kedangkalan phobia komunisme itu.
Gus Dur berupaya memecah kebekuan hubungan antara anggota dan simpatisan PKI yang menjadi korban ’65, dengan tindakan rekonsiliasinya. Gus Dur pun berusaha menghapuskan TAP MPRS No. XXV/1966, yang melarang Marxisme-Leninisme. Selain karena bertentangan dengan demokrasi, Gus Dur menyadari bahwa pengiblisan orang-orang kiri atau para anggota eks-PKI, yang menjadi korban kudeta militer di bawah pimpinan Soeharto, merupakan suatu tindakan yang keji.
Seharusnya, apa yang telah dilakukan Gus Dur dapat membuka babak baru dalam sejarah, khususnya untuk generasi muda saat ini.