Baru-baru ini jagad media sosial diramaikan dengan sebuah tagar #lulusanUI yang menjadi trending topik pembahasan dan hujatan di Twitter. Ya, hal itu disebabkan atas cuitan seseorang yang kecewa dengan nominal gaji dari perusahaan yang ditawarkan kepadanya.
Postingan yang menjadi perbincangan bertuliskan seperti ini:
“Jadi tadi gue diundang interview kerja perusahaan lokal, dan nawarin gaji kisaran 8 juta doang. Hello meskipun gue fresh gaduate, gue lulusan UI pak!! UNIVERSITAS INDONESIA. Jangan samain ama fresh graduate kampus lain dong ah… Level UI mah udah perusahaan LN, kalau lokal mah oke aja asal harga cucok”
Lantas postingan tersebut mengundang reaksi kesal warganet. Ada yang berpandangan bahwa orang yang memposting tersebut mempunyai sifat sombong, dan tidak mau bersyukur.
Memang dugaan tersebut bisa juga benar dan bisa juga salah. Penulis pun menggaris bawahi jika hal itu memang sebenarnya tidak harus dilakukan oleh ia yang mungkin tidak merasa puas dengan jumlah gaji yang ditawarkan oleh perusahaan. Sebab masih banyak di luar sana mereka yang kesana kemari mencari lowongan pekerjaan.
Namun yang sangat disayangkan lagi adalah sikap dari pembuat postingan tersebut yang seolah-olah membanding-bandingkan antara lulusan kampus satu dengan kampus lainnya. Sebab mengapa, ya memang di Negara Indonesia tercinta ini masih kental dengan istilah penamaan, pelabelan tentang kampus favorit, kampus terbaik, kampus keren dan label-label lainnya.
Tapi perlu di ingat, yang membedakan antara kampus satu dengan kampus lainnya yakni terkait sarana dan prasarana yang ada di masing-masing kampus yang menunjang aktivitas perkuliahan.
Kemudian sistem atau kurikulum serta peran sivitas akademika dalam kampus dalam upaya mendorong dan meningkatkan mutu dan kualitas mahasiswa.Yang mana hal itu bisa meningkatkan prestasi terhadap mahasiswanya. Sehingga pantaslah mereka dilabeli kampus favorit dan lain sebagainya.
Tetapi tak menutup kemungkinan pula jika mahasiswa yang berada di kampus yang belum bisa dikatakan favorit pun bisa menghasilkan lulusan mahasiswa dan mahasiswi yang berprestasi, dan siap kerja ataupun berperan dalam keberlangsungan serta kemajuan negara ini.
Jadi tak bisa dibenarkan budaya membanding-bandingkan lulusan kampus satu dengan kampus lainnya. Apalagi asal kampus dijadikan sebagai patokan dalam pemberian jumlah gaji.
Lampu kuning bagi perusahaan
Nah, di sini perlunya bagi setiap perusahaan untuk mempertimbangkan kembali pola rekrutmen terhadapa para calon karyawan yang mendaftar. Kualitas para calon karyawan bukan ditentukan hanya dengan sebatas nilai akademik yang tercantum dalam selembar ijazah. Dan tidak pula hanya dengan label dari kampus mana ia berasal.
Sebab kualitas diri tertanam dalam individu masing-masing para mahasiswanya, bukan atas nama kampusnya. Kampus dan jajaran sivitas akademika di dalamnya hanya sebatas alat atau media untuk menunjang dan meningkatkan kualitas diri bagi para calon lulusannya.
Memang dari beberapa perusahaan mungkin mempercayai bahwa kampus favorit, ternama, terbaik dipandang sudah bisa menjamin untuk meluluskan para mahasiswa yang terbaik pula. Namun atas kejadian di atas yang tengah viral tersebut, kepercayaan tersebut bisa dipertanyakan kembali?
Bukan sebatas nominal gaji
Budaya membanding-bandingkan jumlah gaji pada perusahaan luar negeri dengan perusahaan dalam negeri adalah suatu hal yang lumrah dibicarakan. Namun tetap menyesuaikan dengan etika yang berlaku.
Ya, pandangan bahwa gaji yang diberikan oleh beberapa perusahaan di luar negeri lebih tinggi dibandingkan dengan gaji perusahaan dalam negeri. Apakah memang benar demikian?
Mungkin kita bisa menganalisis jumlah gaji yang didapat dengan pengeluaran atau biaya hidup yang dikeluarkan setiap hari atau bulannya.
Jika memang gaji banyak namun untuk biaya hidup dan lainnya disana mahal kan sama saja. Sebab setiap negara dalam konteks pengeluaran biaya hidup perharinya pasti sudah berbeda. Dalam lingkup kecil dalam negeri saja kita sudah bisa melihat.
Tiap daerah, kabupaten, provinsi biaya hidup seperti makan dan pemenuhan kebutuhan lainnya berbeda. Pun demikian dengan nominal gaji dalam beberapa perusahaan tiap daerah mengalami perbedaan. Hal itu bisa dilihat pada jumlah gaji Upah Minimum Regional (UMR) tiap daerah.
Maka dari itu sudah selayaknya kita ambil sisi lain dari nominal gaji. Banyak atau sedikitnya jumlah gaji yang di dapat harus dan patut untuk terus disyukuri. Sehingga keberkahanpun akan terus mengikuti kita. Berbeda jika kita tidak bisa mensyukuri dari apa yang dimiliki, sebanyak apapun nominal gaji kita pasti akan habis dengan sendirinya, baik disadari ataupun tidak.
Banyak hikmah yang diajarkan atas suatu kejadian atau peristiwa yang terjadi, seperti dalam viralnya tagar #lulusanUI ini salah satunya. Yakni tentang pentingnya bersyukur dan menjauhi perilaku sombong.
Janganlah hati dan nurani kita dibutakan hanya karena sebuah nominal gaji duniawi. Penulis ingin menutup tulisan ini dengan sebuah kalimat yang mungkin sudah tidak asing lagi di telinga para pembaca “Jika urusan dunia lihatlah ke bawah, namun jika urusan akhirat lihatlah ke atas”. Nah…