Baru-baru ini geger tentang sebuah disertasi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta yang ditulis oleh Abdul Aziz, yang memaparkan konsep milk al-yamin (atau yang semisalnya) dalam al-Qur’an menurut pandangan Muhammad Syahrur, seorang intelektual kenamaan asal Syuriah.
Secara singkat, disertasi ini sebenarnya ingin mengungkap pemikiran Syahrur bahwa milk al-yamin itu tidak hanya dipahami sebagai “budak”, tetapi lebih dari itu, yakni “semua orang yang diikat oleh kontrak hubungan seksual”.
Sebagaimana menurut Abdul Aziz, Syahrur mencoba mengkontekstualisasikan konsep milk al-yamin dalam kehidupan kontemporer dengan beberapa model perkawinan yang bertujuan memenuhi kebutuhan biologis, seperti nikah al-musakanah (samen leven), nikah al-mut’ah, nikah al-muhalli, nikah al-‘irfi, nikah al-misyar dan nikah al-misfar.
Jenis-jenis nikah tersebut dalam tradisi Muslim termasuk dalam hukum yang kontroversial, di mana terdapat ulama yang membolehkan dan mengamalkan, sebaliknya ada juga ulama yang mengharamkannya.
Barangkali yang menarik dari disertasi ini adalah keinginannya untuk merekonstruksi pemahaman bahwa dalam konteks pernikahan atau hubungan seksual konsensus atau aqd ihson (akad komitmen) harus lebih diutamakan. Hal ini tidak terlepas dari realitas bahwa di mana banyak sekali pernikahan yang justru membawa kehancuran, berakhir dengan kebencian, permusuhan dan kenestapaan.
Syahrur sebagai penggagas ide ini berkeinginan untuk melindungi institusi perkawinan yang diagungkan oleh syariat Islam untuk menjadi keluarga yang harmonis, bahagia, damai dan penuh kasih sayang.
Bahwa pernikahan adalah suatu perjanjian yang sakral dan kuat (mitsaqan ghalizhan), berdasar pada konsep kerelaan dan tidak sekadar menghalalkan hubungan seksual. Sehingga, disertasi ini bisa dilihat dari sisi pesan moral yang ingin disampaikan bahwa diturunkannya perintah menikah adalah untuk membentuk suatu keluarga yang abadi, sakinah mawadah warahmah, sehingga tidak bisa dilandasi dengan unsur keterpaksaan maupun paksaan.
Hal menarik lainnya yang ingin dimunculkan dari disertasi ini adalah perubahan paradigma terhadap kesadaran untuk tidak secara sewenang-wenang mudah menghukum orang berzina yang didasarkan pada ketatnya pembuktian zina.
Selama ini kita sudah mengetahui bahwa kita bisa menuduh seseorang melakukan zina dengan cara menghadirkan dua orang saksi yang adil, bahkan ketika tuduhan tersebut tidak terbukti, maka penuduh pun akan dijatuhi hukuman.
Ini mengindikasikan bahwa pesan hukum yang ingin dimunculkan sebagai pesan substansial adalah bahwa “jika untuk membuktikan seseorang berzina sangat sulit, maka secara otomatis, pesan yang ingin disampaikan adalah kita jangan mudah menghukum ataupun menuduh seseorang melakukan zina”. Secara tidak langsung, ini akan merekonstruksi bangunan hukum zina yang didasarkan pada sentimen pribadi (politik) kearah pembuktian yang valid.
Sementara dalam konteks konsep milk al-yamin hal yang menarik adalah kesadaran universal bahwa meskipun sistem perbudakan konvensional sudah dihapuskan atau tidak ada lagi, namun semangat dalam membebaskan model-model perbudakan modern harus tetap digalakkan.
Bahwa perbudakan dalam konteks hari ini tidak cukup bila dipahami dalam kerangka tradisional, makna universal dari konsep milk al-yamin adalah penyelamatan martabat kemanusiaan, yaitu tidak diizinkannya segala bentuk pemaksaan, perjodohan, dan kekerasan dalam bentuk apapun, apalagi dalam konteks pernikahan.
Sehingga, konsensus atau kerelaan (suka sama suka) menjadi jalan keluar atas permasalahan yang sering dialami dalam konteks pernikahan. Untuk itulah pesan utama dalam konteks ayat-ayat milk al-yamin, menurut Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin, seorang promotor disertasi ini, menjelaskan bahwa tidak sekadar dalam konteks kebutuhan biologis, melainkan lebih jauh dari itu yakni konteks martabat kemanusiaan.
Terakhir, barangkali dari sisi kritik terbaik yang bisa dilakukan dalam disertasi ini adalah melalui analisis gender, dalam hal ini menurut Dr. Alimatul Qibtiyah, seorang penguji pada sidang terbuka disertasi tersebut, mengemukakan bahwa konsep milk al-yamin jika ditinjau dari perspektif feminisme sangatlah problematis.
Misalnya, terjadinya pernikahan non-marital akan menyebabkan beban psikologis terhadap istri pertama, kesehatan reproduksi, hak-hak anak dan hak-hak perempuan non-marital itu sendiri.
Bahkan dalam konteks pengurangan praktek poligami justru terjadi pembiasan atau setidaknya perwujudan baru atas penindasan kaum perempuan dalam bentuk legalitas perselingkuhan.
Spirit al-Qur’an dalam ayat-ayat milk al-yamin yang disebutkan 15 kali, seharusnya dipahami sebagai bentuk semangat untuk melindungi perempuan dan menghapuskan perbudakan, yang jika dibaca dalam konteks kontemporer artinya keharusan untuk membebaskan perempuan dari penindasan, dehumanisasi, kehilangan akses ekonomi, menjadi objek seksual dan kehilangan kekuasaan atas kendali tubuhnya sendiri.
Terlepas dari perdebatan yang ada, kita harus menyikapi isu disertasi tersebut secara bijak dan tentu dengan pendekatan-pendekatan yang metodologis-akademis, bukan hanya langsung menghukumi atas pemahaman melalui media yang kadang justru dipenggal-penggal. Atau minimal kita bisa melihat kritik-kritik yang disampaikan pada sidang terbuka disertasi tersebut oleh para profesor dan doktor penguji.
Sekali lagi ditegaskan bahwa dunia akademik terlalu kompleks untuk bisa dicitrakan atau dihadirkan melalui media. Maka, bagi siapapun yang penasaran dengan isi disertasi dan kebenarannya, silakan membacanya langsung dan tulis kritik-kritik yang anda temukan, bukan malah mengikuti pelaporan oleh media, yang boleh jadi sengaja di framing hanya untuk menampilkan sisi negatifnya saja. Selamat mengkritisi!