Rabu, Mei 8, 2024

Sikap Publik Terhadap Seks dalam “Dua Garis Biru”

Adi Osman
Adi Osman
Penulis tinggal di Padang, Sumatra Barat. Bergiat bersama Lab Pauh 9, sebuah ruang studi sastra dan humaniora.

Sewaktu SMA dulu, pada pelajaran Biologi, kami memasuki bab pembahasan alat reproduksi manusia. Ketika guru membahas alat kelamin (laki-laki/perempuan) hampir seisi kelas cekikian hingga tertawa lepas, termasuk saya. Padahal yang dibahas hanya bagian-bagian pada alat kelamin.

Kini, di kedai kopi bersama kawan-kawan laki-laki, salah satu cerita yang populer belakangan ialah cerita tentang seks daring. Kawan saya yang menjadi sumber cerita suka mempergarahkan akun-akun seks daring.

Satu hal yang masih sama atas kondisi kini dengan sewaktu SMA dulu ialah menanggapi perihal seksual dengan bergarah-garah. Sambil berkelakar, kami membahas perkara seksual di kedai kopi itu. Artinya, ada kemungkinan bahwa setidaknya sejak saya punya kenangan terhadap seks sembilan tahun lalu hingga kini respons saya dan orang sekitar masih seperti itu.

Baru-baru ini Dua Garis Biru (2019), film tentang seksualitas, menjadi perbincangan hangat. Film ini cukup serius membicarakan seksualitas di kalangan anak muda. Akan tetapi, ada yang lebih serius lagi, yaitu orang-orang yang menanggapi film ini dengan petisi daring.

Melalui petisi itu mereka menolak film itu ditayangkan. Mungkin mereka hanya menonton cuplikan film itu tanpa menontonnya dari awal sampai akhir. Jika dari cuplikan saja mereka sudah bisa menilai isi film, betapa canggih mereka menerapkan jurus belum terkilat sudah terkalam (alun takilek alah takalam).

Dua Garis Biru disutradarai dan ditulis naskahnya oleh Gina S Noer, penulis skenario film Keluarga Cemara (2018), Kulari ke Pantai (2018), Posesif (2017), dll. Film ini merupakan debut Gina sebagai sutradara film. Dalam film ini Gina (mewakili tim pembuat film) menghadirkan kisah anak muda yang berhubungan seksual dan hamil, menghadapi tanggapan negative dari publik, pendidikan yang cenderung mengamankan diri, dan absennya negara.

Film ini dimulai dengan cerita sepasang siswa SMA,  Bima (Angga Yunanda) dan Dara (Adhisty Zara), yang berpacaran. Mereka berhubungan badan sehingga Dara hamil. Dara berencana untuk aborsi, tetapi tidak jadi. Kehamilan ini akhirnya diketahui dan mengguncang keluarga Bima dan Dara, serta sekolah mereka.

Mereka lalu dikawinkan, dan Bima bekerja di restoran milik ayah Dara. Anak yang dikandung Dara direncanakan akan diberikan kepada saudara ibu Dara. Setelah lahir, anak Dara diasuh Bima, sedangkan Dara pergi ke Korea untuk mengejar cita-citanya.

Memang akar kesalahan ada pada Bima dan Dara yang sudah terlanjur bersanggama. Umumnya persepsi ini selalu dilanggengkan oleh karya-karya seni lain, contohnya film-film yang diproduksi pelajar kerap menumpuk kesalahan pada individu pelaku—tonton film di Youtube yang berbicara tema ini.

Dua Garis Biru membidik akar kesalahan ini dengan bidikan yang tidak putus-putus (long take) di dalam ruangan kesehatan sekolah. Di dalam ruang itu Dara terbaring. Bima, orang tua Dara, orang tua Bima, dan kepala sekolah masuk satu persatu.

Ledakan emosi oleh ayah Dara menanggapi ujaran Bima yang dianggap tidak masuk akal dan ibu Bima yang melihat ayah Dara memarahi Bima hingga semuanya bertekuk lutut menangisi keadaan dan keluar dari ruang sehingga meninggalkan Dara dan Bima direkam tanpa putus. Dengan bidikan seperti ini penonton dibiarkan untuk menyimak satu per satu tokoh dengan segala macam reaksi dan emosinya dengan saksama hingga emosi itu ditumpahkan pada Bima dan Dara.

Dua Garis Biru tidak berhenti di situ. Kesalahan ternyata bukan hanya oleh Bima dan Dara. Ada ketidak-seriusan struktural yang berkontribusi atas kondisi mereka hingga begitu. Pertama adalah anggapan umum oleh publik, yang cenderung hitam putih, atas perilaku berhubungan badan di luar nikah.

Secara umum pandangan tersebut menyimpulkan bahwa anak muda yang berhubungan badan di luar nikah merupakan aib keluarga, tidak bermoral, mencoreng nama keluarga, buah kegagalan pendidikan orang tua, dsb. Ini terlihat diungkap sendiri oleh Bima serta orang tua Bima dan Dara di beberapa bidikan.

Saat meyakinkan Dara, misalnya, Bima berujar “Orang akan bosan ngomongin kita.” Yang diutamakan Bima ialah perkataan orang. Perkataan atau penilaian orang lain terhadap sebuah masalah seperti itu kerap berakar dari pandangan yang hitam putih atas seksual di sosial. Dan banyak lagi visual yang mempertegas perilaku seperti ini.

Perihal seksual selalu dipres oleh publik. Ia tabu untuk dibicarakan secara normal karena akan diasosiakan dengan anggapan hitam putih tadi. Hal ini juga saya dapat pada pengalaman menonton film ini di bioskop.

Pada saat adegan Dewi, kakak Bima, datang ke kamar Bima dan memarahi Bima sambil meraung-raung, Dewi mengatakan “Apakah kamu tidak tahu kondom?” Hampir semua penonton tertawa menanggapi adegan ini layaknya adegan saya dan kawan-kawan belajar biologi di sekolah saat SMA.

Apakah karena terlalu tabu untuk ditanggapi secara normal, perihal seks, terutama yang terkait di sini ialah kondom, harus ditanggapi dengan tertawa? atau lebih aman dengan menghakimi? Atau dengan gerakan nikah muda? Eh.

Yang juga tidak kalah tidak “serius” menanggapi peristiwa seks Bima dan Dara ini ialah sekolah mereka. Setelah mengetahui kehamilan Dara, kepala sekolah membuat keputusan: mengeluarkan Dara dan membiarkan Bima untuk melanjutkan. Bagi Dara, keputusan itu bagaikan tersungkur ke dalam lobang dengan banyak beling di sana, sehingga terluka makin parah.

Pendidikan akan pengetahuan seks ternyata juga kurang di sekolah. Ini tersirat pada saat dokter bertanya pada Bima dan Dara sesudah memeriksa janin Dara. Dokter bertanya, “Di sekolah sudah diajarkan tentang reproduksi manusia kan? Resiko kehamilan? Dan kelahiran?” Dara dan Bima mengangguk ragu.

Ada indikasi bahwa sekolah tidak memberi pelajaran terkait hal ini dengan komprehensif, misalnya hanya nama dan bagian alat kelamin saja, seperti yang tampak pada dinding ruang kesehatan, tempat gambar dan bagian alat kelamin dipajang. Seingat saya di sekolah saya dulu juga begitu.

Yang hampir tidak ada di dalam film Dua Garis Biru ialah kontribusi negara terhadap masalah seks. Negara hanya hadir lewat Kantor Urusan Agama yang meresmikan pernikahan Dara dan Bima.

Selain itu, peran negara nihil. Adakah selama ini negara kita menanggapi masalah seks secara serius? Bagaimana RUU Penghapusan Kekerasan Seksual misalnya? Kalau ada pun, peran negara hanya sebagai penyensor konten yang memuat tubuh bugil, bahkan memburamkan kutang Sandy (tupai betina) di dalam film Spongebob Squarepant.

Representasi sikap publik, institusi pendidikan, dan negara terhadap perkara seksual di dalam film Dua Gari Biru mempertegas kenyataan bahwa kita masih memperlakukan perkara seksual secara “bergarah-garah.” Perihal seks ditekan dengan perhitungan moral secara hitam dan putih. Kemunculannya cenderung ditabukan sehingga ia jarang dibicarakan secara normal.

Pendidikan pula ikut melanggengkan ketabuan itu dengan kurangnya materi pengetahuan tentang seks. Akibat dari semua itu ialah minimnya perhitungan anak muda atas akibat dan penanggulangan kejadian yang tidak diharapkan terkait seks. Ditambah belum adanya inisiasi yang “serius” dari negara untuk membuat program yang terkait dengan permasalahan seksual di Indonesia.

Adi Osman
Adi Osman
Penulis tinggal di Padang, Sumatra Barat. Bergiat bersama Lab Pauh 9, sebuah ruang studi sastra dan humaniora.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.