Kamis, Desember 5, 2024

Siapa Sejarawan Corong Propaganda Orde Baru?

Mustaqim Aji Negoro
Mustaqim Aji Negoro
Mahasiswa Sejarah UGM. Tukang tidur yang banyak bermimpi.
- Advertisement -

Tiga bulan setelah peristiwa kup 30 September 1965, ketika PKI dan para pengikutnya, atau orang-orang yang sekedar dituduh menjadi pengikutnya dibantai habis oleh pihak militer dengan sekutu sipil mereka, terbit sebuah buku yang mengguncang ingatan banyak orang. Isinya bercerita tentang jalannya pembantaian terhadap enam jenderal Angkatan Darat yang dilakukan oleh PKI dan kroni-kroninya di militer. Judulnya, Tragedi Nasional: Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia.

Buku ini lah yang nanti akan menjadi dasar “ilmiah” untuk menjustifikasi sekaligus alat legitimasi pihak militer dan golongan masyarakat anti-komunis untuk melakukan pembantaian massal terhadap orang-orang komunis atau yang dianggap berafiliasi padanya antara Oktober 1965 sampai Maret 1966. Salah seorang penulisnya adala seorang sejarawan UI yang menjabat Kepala Pusat Sejarah ABRI pada waktu itu. Namanya: Nugroho Notosusanto.

Ia lah yang nanti dikenal, mengutip kata-kata Katharine E. Mcgregor dalam bukunya Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia, “Merupakan salah seorang propagandis yang paling penting dalam rezim Orde Baru” (hlm. 75).

Dari sastrawan, sejarawan, hingga jadi tentara anti-komunis

Nugroho Notosusanto lahir di Rembang, Jawa Tengah, pada tanggal 15 Juli 1931. Ayahnya bernama R.P. Notosusanto mempunyai kedudukan terhormat yakni merupakan seorang ahli hukum Islam di Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, yang sekaligus juga merupakan salah seorang pendiri UGM.

Sejarawan Australia Katharine Mcgregor dalam artikelnya yang berjudul, “Nugroho Notosusanto: The Legacy of a Historian in the service of an authoritarian regime” menyebut, sejak kecil Nugroho memang sangat terobsesi untuk menjadi tentara. Keinginannya untuk bergabung di militer tersebut akhirnya terwujud setelah pecah perang revolusi pada tahun 1945 di Yogyakarta.

Ia yang waktu itu baru berumur sekitar 14 tahun akhirnya menggabungkan diri ke dalam Barisan Tentara Pelajar atau yang lebih dikenal sebagai Brigade ke-17 Tentara Nasional (hlm.210).

Setamat SMA di Yogyakarta pada 1951, sebagai seorang pelajar sekaligus prajurit muda, Nugroho dihadapkan pada dua pilihan sulit, yakni antara meneruskan karier di bidang kemiliteran dengan mengikuti pendidikan perwira seperti yang dikehendakinya, atau justru menuruti apa yang diamanatkan oleh sang ayah untuk melanjutkan karier di bidang akademis. Akhirnya Nugroho muda lebih memilih untuk memenuhi permintaan ayahnya dengan melanjutkan studi di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.

Selama kurang lebih sembilan tahun menjadi mahasiswa sejarah di UI, Nugroho muda sebenarnya lebih dikenal sebagai penulis sastra. Karya-karya sastranya di masa itu mencakup beberapa kumpulan cerpen seperti, Hudjan Kepagian, Tiga Kota, Rasa Sayange, dan Hidjau Tanahku Hidjau Badjuku, yang sebagian besar mengangkat tema-tema tentang perjuangan bangsa Indonesia menghadapi kolonialisme Belanda. Serta refleksi pribadinya ketika berada di medan pertempuran melawan tentara NICA dulu.

Selain aktif menulis cerpen, pada masa-masa itu ia juga aktif menulis esai kebudayaan dan sastra. Ia juga menjalin hubungan baik dengan para praktisi kebudayaan pada masa itu seperti Ramadhan KH dan HB Jassin.

Walau demikian, hubungan dekatnya dengan Jassin dan orang-orang dari lingkaran PSI yang banyak bersimpati terhadap tradisi sastra Barat dan anti-komunis, tidak serta merta membuatnya membenci para seniman dan penulis Kiri. Nugroho pada waktu itu sebenarnya memposisikan diri sebagai seorang nasionalis tulen yang tak mau terseret dalam urusan ideologi ataupun aliran politik praktis manapun (Herlambang, 2019: 139).

- Advertisement -

Pandangan netralnya mengenai urusan ideologi dan politik ini mulai bergeser semenjak ia menikahi keponakan Direktur Seskoad, Jenderal Suwarno, yang dikenal sebagai seorang partisan PSI dan juga merupakan alumnus sekolah militer di Fort Leavenworth, Amerika, yang dikenal sangat anti-komunis.

Sedikit demi sedikit pemikiran nasionalis non partisan Nugroho mulai terkikis. Digantikan oleh pemikiran kuat anti-komunis Jenderal Angkatan Darat tersebut. Puncaknya adalah ketika Nugroho dihubungkan oleh Suwarno dengan CIA pada 1961, serta di tahun yang sama ia menerima beasiswa Rockefeller Foundation untuk melanjutkan studi kesejarahan di London. Sekembalinya ke Indonesia tahun 1962, haluan kepenulisan Nugroho sudah berubah. Ia lebih banyak memfokuskan diri untuk menulis tentang soal-soal sejarah yang dikenal akademis, serta sudah tidak produktif lagi menulis kreatif (sastra) (Mcgregor: 213).

Warisan

Setelah menulis buku versi sejarah resmi Orde Baru mengenai peristiwa kup’65 yang fenomenal tersebut: Tragedi Nasional: Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia. Nugroho tanpa lelah terus menyebarluaskan ide-ide anti-komunis serta cerita-cerita kepahlawanan militernya. Entah itu melalui pembuatan diorama-diorama di museum, doku-drama, buku pelajaran sekolah dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi ataupun juga melalui film.

Untuk produk kebudayaan yang disebut terakhir tadi. Nugroho memiliki peran penting sebagai aktor intelektual sekaligus pembuat naskah di balik terciptanya salah satu alat propaganda tersukses Orde Baru untuk membumi hanguskan ide-ide PKI dan Kirinya, yakni melalui film Pengkhianatan G 30 S/PKI  (1984) yang digarapnya bersama sutradara kondang Arifin C. Noer.

Wijaya Herlambang dalam bukunya, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti Komunisme melalui Sastra dan Film sampai-sampai menyebut, “Narasi sejarah susunan Nugroho bukan saja menjadi satu-satunya narasi resmi tentang peristiwa 1965, tetapi yang lebih penting, versi tersebut ditransformasi ke dalam produk-produk kebudayaan lain seperti film, novel, diorama yang dipamerkan di museum, monumen, relief, dan buku pengangan siswa” (hlm. 138).

Sehingga jangkauan “kebenaran sejarah” versi yang dituliskannya tersebut menjadi begitu luas dan begitu merasuk dalam memori kolektif masyarakat Indonesia. Hasilnya dapat kita lihat sendiri di sekitar kita sekarang. Sudah lebih dari 21 tahun Orde Baru runtuh, tapi hantu-hantu PKI dan bahasa laten komunis yang dulu narasinya dihiduplah oleh Nugroho tersebut hingga kini masih membekas dan bertahan dalam ingatan banyak orang.

Mustaqim Aji Negoro
Mustaqim Aji Negoro
Mahasiswa Sejarah UGM. Tukang tidur yang banyak bermimpi.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.