Kamis, April 18, 2024

Sesat Pikir LHKPN Capim KPK

Helmi Chandra SY
Helmi Chandra SY
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta, Padang / Peneliti Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI)

Panitia seleksi calon pimpinan (capim) KPK periode 2019-2023 telah selesai melakukan seleksi tahap ketiga dengan menghasilkan sebanyak 40 orang dinyatakan lolos seleksi tes psikologi, Senin (5/8/2019) kemarin.

Kandidat yang lolos itu berasal dari berbagai unsur mulai dari Polri, pensiunan Polri, hakim, mantan hakim, jaksa, pensiunan jaksa, advokat, auditor, unsur KPK, Komisi Kejaksaan/Komisi Kepolisian Nasional, PNS, pensiunan PNS hingga para akademisi.

Namun resistensi terhadap hasil kerja pansel seakan tidak pernah berhenti, yang terbaru pansel dikritik karena mengabaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) bagi capim KPK sebagai syarat administratif dalam proses seleksi.

Logika yang dipakai oleh pansel adalah dengan menyebut bahwa LHKPN merupakan kewajiban capim terpilih bukan sebelum terpilih berdasarkan frasa mengumumkan bukan melaporkan dalam Pasal 29 UU KPK. Selain itu pansel juga berdalih LHKPN akan menjadi syarat diskriminatif bagi capim yang bukan berasal dari penyelenggara negara, benarkah harusnya demikian?

Sejatinya LHKPN merupakan daftar seluruh harta kekayaan penyelenggara negara beserta pasangan dan anak yang masih menjadi tanggungan yang dituangkan di dalam formulir LHKPN yang ditetapkan oleh KPK.

Secara historis sebelum dibentuknya KPK, penanganan pelaporan kewajiban LHKPN dilaksanakan oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Namun setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, maka KPKPN dibubarkan dan menjadi bagian dari bidang pencegahan KPK (www.kpk.go.id).

Jika merujuk pada payung hukum, adanya kewajiban LHKPN dalam Pasal 29 UU KPK dijelaskan bahwa untuk dapat diangkat sebagai pimpinan KPK harus memenuhi persyaratan.

Mulai dari WNI, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehat jasmani dan rohani, berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan, berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan.

Selanjutnya tidak pernah melakukan perbuatan tercela, cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik, tidak menjadi pengurus salah satu partai politik, melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi anggota KPK, tidak menjalankan profesinya selama menjadi anggota KPK dan mengumumkan kekayaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam pasal tersebut sangat jelas tercantum frasa “untuk dapat diangkat” yang berarti sebelum diangkat. Hal itu diperkuat dalam lampiran penjelasan pasal tersebut yang menyebutkan isi pasal “cukup jelas” sehingga tidak bisa kemudian makna pasal tersebut diartikan lain oleh pansel.

Selain itu jika merujuk pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme menjelaskan bahwa setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat kemudian melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat.

Penjelasan UU tersebut menjelaskan bahwa UU ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Sasaran utama UU ini merupakan para penyelenggara negara yang meliputi pejabat negara pada lembaga negara, menteri, gubernur, hakim, pejabat negara dan atau pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sehingga bagi pejabat negara atau mantan pejabat negara ada syarat tambahan berupa LHKPN sebagai syarat administratif yang tidak bisa ditawar-tawar saat melakukan pendaftaran capim KPK. Hal ini bukan kemudian diartikan sebagai tindakan diskriminatif sehingga diabaikan oleh pansel saat seleksi.

Instrumen Pemberantasan Korupsi

Kewajiban LHKPN sejatinya bukan hanya formalitas tanpa arti, namun LHKPN berfungsi sebagai instrumen pemberantasan korupsi. Bagi penindakan korupsi LHKPN bisa dijadikan sebagai titik awal untuk menelusuri terjadinya perkara korupsi dan pencucian uang (money laundering) karena melalui data LHKPN dapat diketahui dan ditelusuri kewajaran dan asal muasal kepemilikan harta milik penyelenggara negara.

Terlebih dengan adanya undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang memungkinkan negara mengambil dan menyita harta kekayaan atau sumber dana harta tersebut yang berasal dari tindak pidana korupsi.

Pada sisi pencegahan korupsi, LHKPN juga dapat menjadi instrumen yang memungkinkan dilakukan pengawasan kejujuran, integritas, dan deteksi dini adanya tindakan memperkaya diri secara tidak sah, baik sebelum, saat dan sesudah menjabat sebagai pejabat negara.

Sehingga setiap perekrutan dan pengisian pejabat negara termasuk KPK dapat menghasilkan orang-orang yang berintegritas sejak dari awal karena tentu amat sulit mengganti orang-orang yang diketahui punya track record bermasalah ketika telah terpilih dan menjabat nantinya.

Pelaporan LHKPN menjadi kewajiban yang melekat pada penyelenggara negara untuk mempertanggungjawabkan harta yang didapatnya dari uang rakyat. Ketentuan tentang kewajiban LHKPN mengamanatkan penyelenggara negara harus aktif melaporkan harta kekayaannya sendiri sebagai wujud dukungan terhadap pemberantasan korupsi.

Oleh karena menuntut peran aktif Penyelenggara Negara, terkadang masih ada sebagian Penyelenggara Negara mengabaikan kewajiban tersebut. Untuk itulah, pansel KPK harusnya menjadikan LHKPN sebagai salah satu syarat administratif dengan memaksa setiap capim melampirkannya.

Akhirnya adanya LHKPN bagi capim KPK adalah bentuk garansi bagi kepercayaan yang tinggi dari masyarakat dalam melihat KPK kedepannya. Bagi masyarakat, LHKPN selain sebagai salah satu alat untuk menilai integritas dan akuntabilitas penyelenggara negara, LHKPN juga dapat digunakan sebagai salah satu alat kontrol untuk mengawasi para penyelenggara negara tersebut.

Sehingga sudah sepantasnya pansel mengakomodir tujuan mulia tersebut dengan mempertimbangkan kembali LHKPN bagi capim KPK pada tahap tes selanjutnya dan bukan kemudian menyebut tuntutan masyarakat sebagai isu vested interest dalam kerangka berpikir yang salah.

Helmi Chandra SY
Helmi Chandra SY
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta, Padang / Peneliti Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.