Sabtu, April 20, 2024

Sengkarut Reklamasi Teluk Jakarta

Ulfah Mawaddatul Quddus
Ulfah Mawaddatul Quddus
-Analis Kebijakan Publik- Kandidat Magister Administrasi Kebijakan Publik Universitas Nasional

Kebijakan reklamasi teluk Jakarta mengalami lika-liku panjang yang terus bermasalah menimbulkan pro-kontra. Baik secara regulasi hukum yang tumpang tindih, kajian dan analisa yang belum tuntas, hingga pengaruh dari banyaknya aktor-aktor kepentingan yang terlibat.

Terakhir Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerbitkan IMB pulau D setelah sebelumnya mengeluarkan PERGUB No. 58 Tahun 2018 untuk membentuk lembaga ad hoc yang melaksanakan reklamasi dan PERGUB No. 120 Tahun 2018 untuk penunjukkan Jakpro (BUMD) sebagai pengelola.

Padahal, diawal pemerintahannya (2017), ia sempat membuat gebrakan dengan mengirim surat untuk cabut HGB di pulau C, D dan G kepada Menteri ATR/BPN hingga dilakukannya moratorium atas pengembangan reklamasi.

Teluk Jakarta sendiri merupakan salah satu kawasan strategis di Indonesia, yang mencerminkan Ibukota Indonesia, meliputi Kawasan Pantai Pesisir Tangerang, Jakarta dan Bekasi, yang berada di tiga provinsi Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat. Oleh karenanya Teluk Jakarta digolongkan sebagai “Pengembangan Wilayah Khusus”, yakni mewujudkan satu konsepsi pengembangan yang menyeluruh, menyangkut kegiatan konservasi, preservasi dan pembangunan.

Gagasan reklamasi hadir sejak Presiden Soeharto menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1995 tentang Rencana Pembangunan Lima Tahun ke Enam memuat arahan untuk mengembangkan Kawasan Pantai Utara Jakarta sebagai kawasan andalan.

Kemudian dilanjutkan dengan Keppres No. 52 Tahun 1995. Pasal 1 ayat (1) menyebutkan Reklamasi Pantai Utara Jakarta (Reklamasi Pantura) adalah kegiatan penimbunan dan pengeringan laut dibagian perairan laut Jakarta.

Kegiatan ini diberikan kepada Gubernur DKI Jakarta untuk mengembangkan Kawasan Pantura. Dalam perumusan kebijakannya, reklamasi ini mengalami lika-liku panjang hingga sekarang mulai dari permasalahan kajian AMDAL yang dinilai oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bermasalah, perebutan pengembang proyek, muncul isu-isu reklamasi untuk pendatang dari cina, dan protes keras dari para nelayan dan aktivis lingkungan yang menilai reklamasi hanya untuk kepentingan bisnis (profit) semata. Meski demikian, reklamasi teluk Jakarta tetap dilakukan.

Terdapat 17 pulau yang akan dilakukan reklamasi saat ini. Pulau yang telah dan sedang dilakukan reklamasi sampai saat ini adalah pulai C, D dan G.

Hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Teluk Jakarta memaparkan urgensi perlu dilakukannya Reklamasi, terdapat 15 isu strategis lingkungan hidup bio fisik dan sosial ekonomi budaya.

Meliputi Land and Subsidence; Rob dan Kenaikan Muka Air Laut; Banjir/Genangan; Abrasi dan Kerusakan Pantai; Degradasi Ekosistem Mangrove; Ketersediaan dan Kerawanan Air Bersih; Sedimentasi; Pencemaran Perairan Akibat Limbah Domestik dan Industri; Penanganan Sampah, dan Pemanfaatan Ruang Laut.

Kemudian tidak adanya visi keberlanjutan dalam konteks persaingan global/regional wilayah Teluk Jakarta maupun greater Jakarta; Kebijakan yang ada belum secara jelas merespon dan mengantisipasi ancaman permasalahan sosial yang ada.

Inefisiensi pemanfaatan lahan ditandai dengan kepadatan tinggi dalam pemukiman horizontal. Pola penataan spasial yang kurang mempertimbangkan keseimbangan dan keselarasan sosial dan ekonomi mengakibatkan segregasi sosial, kelas menengah tersingkirkan (fenomena urban sprawl), rawan konflik sosial, penurunan daya saing dan kualitas lingkungan hidup; Kemiskinan dan hilangnya kesempatan berusaha mengancam strata ekonomi lemah.

Meski demikian, dari 17 pulau 13 pulau telah dihentikan ijin pengembangannya dan empat pulau lainnya tidak dihentikan. Empat pulau yang masih berlanjut pembangunannya meliputi pulau C, D, G dan N.

Pulau C dan D pengembangan dilakukan PT. Kapuk Niaga Indah (anak perusahaan Agung Sedayu Group) dan Pulau G pengembangan dilakukan PT. Muara Wisesa Samudera (anak perusahaan PT. Agung Podomoro Land TBK). Pada ketiga pulau tersebut telah berdiri bangunan-bangunan property, sedangkan pulau N baru penimbunan pasir oleh pengembang PT Pelindo II.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberikan pernyataan bahwa empat pulau tidak dihentikan ijin pengembangannya tersebut karena telah terbentuk daratan, sehingga akan tetap dilanjutkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan warga Jakarta.

Hal tersebut yang menjadi dalih Anies untuk menerbitkan IMB meskipun draft Raperda Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta dan Rancangan Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil belum rampung.

Padahal dari perspektif Kebijakan Publik keputusan terkait Reklamasi idealnya menunggu Perda pengelolaan reklamasi terbit sehingga memiliki kekuatan hukum dan pengelolaan serta pemanfaatannya antara pemerintah provinsi DKI Jakarta dan pengembang menjadi jelas.

Dari jenis kebijakan publik, Reklamasi Teluk Jakarta merupakan Competitive Policy cenderung economical, terlihat dari perebutan pengelolaan reklamasi oleh pihak pengembang.

Selain persaingan perebutan proyek investasi tersebut, Pemerintah DKI sendiri dihinggapi praktek-praktek kotor para pemburu rente (rent seekers) sehingga proses perumusan sampai implementasi kebijakannya sangat alot dan penuh polemik. Terbukti pada 2016 terjadi Kasus korupsi dan suap Raperda Reklamasi yang menyeret DPRD DKI Jakarta M. Sanusi dan Presiden Direktur Agung Podomoro Land, Ariesman sebagai tersangka.

Menurut analisa penulis, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi alotnya proses perumusan kebijakan reklamasi Teluk Jakarta. Pertama, sesuai dengan data KLHS kebijakan Reklamasi Teluk Jakarta melibatkan banyak pihak baik pemerintah, swasta/pengembang dan seluruh stakeholders sehingga multi kepentingan dan kompleks.

Kedua, Proses perumusan kebijakan ini cenderung high politicalize, aspek ekonomi menjadi faktor penting tarik ulur Pemprov DKI dan Pengembang (sampai terjadi korupsi M. Sanusi DPRD DKI dan Ariesman PT. Agung Podomoro Land).

Ketiga, adanya proses yang dilewati dalam pembentukan sebuah kebijakan reklamasi, akhirnya banyak pihak yang menolak Pembangunan Reklamasi karena merasa ada tahapan yang tidak dilengkapi dan merasa tidak dilibatkan.

Selain itu, dilihat dari dinamika internal Pemprov DKI antara Gubernur dan DPRD tidak mampu bersinergi (devided) menuntaskan sengkarut reklamasi ini. Terlihat dari keputusan Gubernur Anies Baswedan dengan membentuk Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) bidang pengelolaan pesisir diketuai Marco Kusumawijaja dan memutuskan Jakpro (BUMD) sebagai pengelola reklamasi. Melalui dua lembaga ini Anies justru terlihat bermain solo dengan menggunakan Pergub sebagai kekuatan hukumnya.

Padahal terdapat tahapan regulasi yang terlewat dan belum selesai yang seharusnya disinergikan dengan DPRD terkait Perda yang mengatur pengelolaan reklamasi, tentu jelas Perda ini memiliki kekuatan hukum yang jauh lebih besar dibandingkan dengan Pergub. Idealnya, IMB tidak terburu-buru diterbitkan dan moratorium tetap dilakukan sebelum Perda rampung dibahas dalam Raperda bersama DPRD Provinsi DKI Jakarta.

Ulfah Mawaddatul Quddus
Ulfah Mawaddatul Quddus
-Analis Kebijakan Publik- Kandidat Magister Administrasi Kebijakan Publik Universitas Nasional
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.