Rabu, April 24, 2024

Selamat Ulang Tahun ke-80, dr. Kartono Mohamad

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.

Kemarin adalah hari yang sangat istimewa. Mungkin sebagian besar orang Indonesia akan mengenang 13 Juli 2019 sebagai hari ketika Jokowi dan Prabowo, dua kontestan Pilpres 2019, bertemu kali pertama setelah kampanye berakhir dan pemungutan suara dilakukan 17 April 2019. 

Butuh hampir tiga bulan untuk mempertemukan keduanya, seakan menjadi pertanda kontestasi yang paling keras yang pernah terjadi di negeri ini. Sebagai warga Indonesia, saya tentu senang luar biasa, dan berharap pertemuan itu bisa menjadi awal rekonsiliasi yang sesungguhnya—bukan cuma soal berbagi kekuasaan dan konsesi di kalangan elite.

Tapi, hari kemarin bukan saja soal itu. Kemarin, salah satu orang yang sangat berjasa bagi hidup saya berulang tahun ke-80. Mungkin beliau, dr. Kartono Mohamad, bisa saya sebut sebagai idola, bahkan pahlawan bagi saya.

Tulisan ini menjelaskan mengapa beliau punya tempat yang sangat istimewa di benak dan hati saya sejak beberapa dekade lampau hingga hari ini, bahkan hingga akhir hayat saya kelak. Sengaja saya tuliskan catatan ini selang satu hari setelah ulang tahun beliau, sebagai kado kecil.

Saya tumbuh di beberapa kota di Indonesia. Mungkin di Manado, ibukota Sulawesi Utara, sekitar tahun 1986, saya mulai rutin membaca dua media massa yang sangat punya pengaruh buat saya: Kompas  dan Intisari. Ketika itu, saya yang lahir pada tahun 1973, sedang menempuh pendidikan di kelas 3 SMP, dan semakin haus bacaan. Seluruh buku, komik, dan media massa yang tersedia, saya baca hingga habis. Pada Kompas  dan Intisari saya menemukan hal yang sangat menarik.

Berbeda dengan media massa yang lain yang tulisannya kerap mengandung kesalahan, saya menyukai konsistensi keduanya dalam menggunakan ejaan yang disempurnakan (EYD)—jadi keduanya bermanfaat untuk pelajaran bahasa Indonesia yang saya ikuti. Saya sangat mengagumi kedalaman berita dan analisisnya. 

Berbeda pula dengan media massa lain yang sangat sering menampilkan berita yang terlampau singkat, kedua media massa itu memuaskan rasa ingin tahu saya pada tingkat yang pas. Tentu saja, sebagai bocah kelas 3 SMP, ada banyak kosakata yang perlu saya mintai klarifikasi ke ibu, atau ke kamus Poerwadarminta yang ada di rumah.  Tetapi, itu menambah kesenangan saya yang punya kekaguman pada bahasa dan angka pada tingkat yang sama.   

Satu hal yang saya sangat tandai adalah bahwa para penulis yang ada di keduanya ternyata adalah orang-orang terkenal. Saya tahu itu lantaran dua hal. Pertama, mereka juga sering nongol di televisi—ukuran keterkenalan yang mungkin paling ‘valid’ ketika itu—selain muncul di pembicaraan di antara orang-orangtua yang saya dengar selintasan. 

Saya juga menemukan bahwa ada yang disebut sebagai wartawan, yang bekerja di media massa itu, dan ada pula yang merupakan penulis opini dan feature yang tidak bekerja di media massa itu, namun lantaran keahliannya mereka menuliskan artikel sesuai dengan bidang itu. Mereka yang menulis opini dan feature  itulah figur-figur terkenal.

Orang Penting Bernama Kartono Mohamad

Dari kedua media massa itu pula saya mengenal nama Kartono Mohamad, yang menjadi ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di tahun 1985 – 1988.  Jadi, ketika beliau menjadi ‘bos’ dari seluruh dokter di Indonesia—begitu pikiran saya ketika itu—saya sedang giat-giatnya membaca apa pun.  Dan ketika itu pula namanya sangat sering muncul, diwawancarai di mana-mana, dan menuliskan pemikirannya di banyak media massa, termasuk Kompas  dan Intisari.

Apa yang paling saya sukai dari tulisan-tulisan beliau adalah artikulasi yang luar biasa menarik. Apa pun tema yang dituliskan—baik itu kesehatan, kemiliteran, pembangunan sosial, etika, dan lainnya—tak pernah terasa berat. Saya tahu itu lantaran saya masih belia, dan mampu memahami yang beliau tuliskan. Sementara, para pakar lain yang menulis di kolom opini Kompas kerap membuat saya berkernyit dahi, dan tetap tak memahami maksudnya. 

Lantaran sangat menarik, tulisan-tulisan beliau pasti saya baca habis dalam waktu singkat, seluruh pesan kunci dan informasi tambahannya bisa saya ingat, bahkan beberapa di antaranya saya buatkan catatan khusus. Hal yang terakhir itu merupakan penanda bahwa apa yang beliau tuliskan itu saya anggap ekstrapenting.  Mengapa? Karena saya melatih ingatan sedemikian rupa dan tak pernah mencatat apa pun—termasuk ujaran para guru mata pelajaran di kelas—semenjak masuk bangku SMP, kecuali kalau menurut saya hal itu benar-benar penting dan bermanfaat dalam jangka panjang.

Jadi, kalau mulai kelas tiga SMP, sepanjang SMA dan masa perkuliahan saya membuat catatan, itu pasti lantaran idenya begitu menarik buat saya. Saya kerap membuat ringkasan isi buku, karena saya ogah menandai buku dengan apa pun. Buku-buku saya sangat bersih dari coretan pensil, apalagi bolpoin, dan penanda warna-warni yang banyak dipakai orang. Kalau penting buat benak dan hati saya, maka saya buat catatan tersendiri. Tetapi, sangat jarang ada artikel opini yang saya posisikan demikian. Beberapa artikel Kartono Mohamad mendapatkan ‘kehormatan’ itu.

Saking menariknya apa pun yang beliau tuliskan, di dalam diri saya tumbuh suatu tekad: apa pun kelak karier yang saya miliki, saya harus mampu menuliskannya ke dalam tulisan-tulisan yang menarik.  Saya pun mulai berusaha menuangkan apa pun yang saya baca, saya lihat, saya alami, ke dalam tulisan semenjak awal SMA. Saya mulai ikut beberapa lomba, dan menyabet satu dua kemenangan dari lomba-lomba penulisan yang saya ikuti. Terus demikian hingga saya lulus kuliah.

Lalu apa ‘karier’ saya? Entahlah bagaimana harus saya definisikan.  Saya sangat tertarik pada kelindan isu-isu sosial dan lingkungan. Belakangan, saya juga melihat bahwa isu ekonomi dan kaitannya dengan kedua isu yang saya sebutkan terlebih dahulu itu tak bisa dipisahkan. 

Tak percaya bahwa saya bisa membawa cukup pengaruh bila bekerja pada satu organisasi atau satu sektor saja, saya memilih untuk bisa keluar-masuk arena pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil—dan mengurusi isu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sering lewat konsultansi, kali lain lewat advokasi, dan sesekali dengan demonstrasi.

Tetapi, apa pun yang saya lakukan itu, saya mendapati bahwa menuliskan apa pun yang sedang kita kerjakan itu ke dalam artikel opini di media massa sangat penting. Seringnya itu saya pikirkan sebagai alat edukasi dan advokasi untuk publik, agar mereka bisa memahami apa yang sedang diperjuangkan oleh saya dan rekan-rekan. 

Saya juga menggunakannya sebagai katarsis atas kesumpekan pikiran dan perasaan lantaran melihat banyak hal tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Tetapi, mencontoh banyak tulisan opini yang saya anggap baik, termasuk tulisan-tulisan Kartono Mohamad, saya mencoba mendisiplinkan diri untuk tetap bersikap positif: lebih sedikit berkeluh-kesah, lebih banyak memberi ide perbaikan dan contoh-contoh yang sudah berhasil. Apa pun yang mau kita sampaikan, saya percaya, akan lebih besar kemungkinan berhasilnya apabila kita menekankan pada peluang-peluangnya, bukan sekadar mendeskripsikan tantangan.

Mengikuti jejak Kartono Mohamad, saya kini telah mempublikasikan lebih dari 300 tulisan. Tak seluruhnya ada di media massa nasional terkemuka, tetapi sekitar dua pertiganya memang demikian. Dan itu semua adalah ‘kesalahan’ seorang Kartono Mohamad.  Beliau membuat seorang anak SMP bertekad akan menjadi penulis opini sebelum tahu akan jadi apa kelak. Anak itu lebih tak peduli pada cita-citanya dibandingkan dengan harus bisa menuliskan apa pun yang nanti dia kerjakan.

Perjumpaan dengan Idola

Hidup saya kemudian menjadi lebih menarik lagi manakala akhirnya bisa bertemu muka dengan orang yang bertanggung jawab atas hal itu.  Walaupun saya bersedia bekerjasama dengan seluruh sektor untuk mengurusi pembangunan berkelanjutan (yaitu nexus di antara ketiga isu yang saya sebutkan terdahulu), ternyata waktu paling banyak saya habiskan untuk melakukan perubahan di sektor swasta. Corporate Social Responsibility (CSR), demikian istilah untuk kontribusi sektor swasta untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Tetapi, yang membuat saya akhirnya bertemu dengan Kartono Mohamad adalah kebalikan dari apa yang saya geluti. 

Biasanya, saya membantu perusahaan lebih sadar sosial dan sadar lingkungan. Tetapi, saya melihat ada perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan kesadaran sosial dan lingkungan di masyarakat sekadar sebagai cara untuk meningkatkan citranya belaka, plus menjual lebih banyak produknya, tanpa benar-benar mengubah apa pun dari tata cara produksi maupun produknya. Dalam buku-buku teks CSR, apa yang dilakukan itu dinamakan CSR-washing, dan secara keseluruhan menandai perilaku Corporate Social Irresponsibility (CSI). Kebanyakan yang melakukannya adalah perusahaan yang berada pada industri kontroversial.

Sebagai penganut kejujuran brutal, saya menyatakan secara terbuka di media massa dan berbagai kesempatan bahwa industri rokok di Indonesia adalah contoh sempurna CSI, bukan CSR. Saya menunjukkan contoh-contoh gamblang dari buku teks CSR, dari ketiadaan mereka di indeks-indeks Socially Responsible Investment (SRI), dan absennya mereka dari penghargaan-penghargaan CSR paling bergengsi. 

Di Indonesia, masyarakat awam dan mereka yang kerap dianggap sebagai ‘pakar’ CSR masih tak bisa membedakan antara CSR dan CSI, perusahaan-perusahaan rokok berjaya betul. Uang mereka yang melimpah memungkinkan donasi sana-sini, membuat proyek ini-itu, tanpa harus bertanggung jawab atas dampak ekonomi-sosial-lingkungan dari proses produksi dan produknya. Dan, perusahaan-perusahaan rokok malah kerap diganjar penghargaan ‘CSR’.

Tulisan-tulisan saya tentang industri ini sejak lebih dari satu dekade lampau membuat saya akhirnya berkenalan dengan komunitas pengendalian tembakau. Di sanalah saya kemudian bertemu dengan orang yang bertanggung jawab atas ‘jalan hidup’ saya sebagai penulis kolom, dialah Kartono Mohamad. 

Dari komunitas ini juga saya mengetahui panggilan akrabnya, Pak KM. Bergaul dengan beliau makin membuat saya terkagum-kagum pada kecerdasan, keluasan wawasan, ketajaman artikulasi, dan—yang saya tak bisa ketahui dari tulisan-tulisan—selera humor beliau. 

Karenanya, saya menjadi sangat sedih manakala Pak KM jatuh sakit beberapa tahun lampau; dan menjadi sangat bergembira manakala beberapa bulan terakhir Pak KM menunjukkan perkembangan kesehatan yang menggembirakan. Humor-humor segarnya bisa saya dapati lagi.

Pada perjumpaan beberapa bulan lalu di rumah beliau, ada seseorang yang ‘mengeluhkan’ makanan-minuman sedap yang terus muncul dan menggoda selera. “Apalagi nih yang belum keluar?”  Begitu yang saya dengar, lalu saya sampaikan ke Pak KM. Beliau lalu menyahut, “Bilangin: dia itu yang belum keluar!”  Saya terbahak. 

Ketika kami berkumpul kemarin untuk ulang tahun beliau yang ke-80 di rumahnya yang sungguh asri, ada yang bertanya dengan gembira, “Pak KM sekarang sudah bisa makan macam-macam, apa ada pantangannya?”  Jawabannya membuat saya betul-betul terbahak hingga air mata saya keluar. “Kalo mbayar,” begitu jawab Pak KM.

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan rasa terima kasih yang dalam atas inspirasi Pak KM ketika saya belia; atas wawasan yang saya terima lewat ratusan tulisan yang saya baca sepanjang menjadi pembaca kolom; atas perbincangan-perbincangan yang mencerahkan sekaligus mengasyikkan dengan celetukan-celetukan sepanjang saling mengenal; dan atas persahabatan yang indah. 

Semoga Pak KM bisa terus membaik kondisi kesehatannya, pulih seperti sedia kala, dan kembali mendidik Indonesia agar punya perhatian memadai atas hal yang paling fundamental untuk pembangunan: kesehatan masyarakat. Dirgahayu!

Depok, 14 Juli 2019                         

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.