Pada hari Kamis (26/9) Presiden Jokowi dikabarkan bertemu dengan 40 tokoh dari beragam latar belakang, akademisi, seniman, budayawan, ahli politik, ahli hukum dan ahli agama. Dilihat dari nama-nama yang beredar hampir semua yang hadir adalah orang yang berpengaruh dan punya konsentrasi dalam memperjuangkan demokrasi, pemberantasan korupsi dan hak asasi.
Pada kesempatan itu Presiden Jokowi menyatakan komitmennya. Jokowi menyinggung soal kasus Papua dan demonstrasi, “Saya ingin menegaskan kembali komitmen saya pada kehidupan demokrasi di Indonesia, bahwa kebebasan pers, kebebasan menyampaikan pendapat, adalah pilar demokrasi yang harus kita jaga dan pertahankan.”
Lalu mengatakan, “Jangan sampai Bapak, Ibu sekalian meragukan komitmen saya mengenai ini”. Tak jelas apa maksud dari “mengenai ini”. Sama halnya dengan tidak jelasnya bagaimana bentuk komitmennya pada kehidupan demokrasi. Meski begitu media sepakat bahwa “ini” yang dimaksud oleh Presiden Jokowi adalah demokrasi dan komitmennya adalah menjaga.
Barangkali kesepakatan pemahaman itu mucul karena sebelumnya Jokowi menyinggung komitmen pada kehidupan demokrasi dan pilar demokrasi yang harus dijaga bersama.
Pernyataan ”mengenai ini” yang dipahami media menjadi judul pemberitaan. Jadilah judul beritanya seperti ini, Jangan Ragukan Komitmen Demokrasi Saya, Jangan Ragukan Komitmen Saya Jaga Demokrasi, Jangan Ragukan Komitmen Saya Menjaga Demokrasi, Jangan Ragukan Komitmen Saya Pada Demokrasi, Jangan Ragukan Komitmen Saya Soal Demokrasi.
Perbedaan judul itu, mulai dari demokrasi saya, jaga demokrasi, menjaga demokrasi, demokrasi saya, soal demokrasi, menunjukkan bahwa pernyataan itu tidak langsung, melainkan tafsiran belaka. Siapa yang tahu apa yang Presiden Jokowi katakan? Hanya Presiden yang tahu.
Saya sendiri, sejak berita komitmen Jokowi (Men)Jaga demokrasi itu disiarkan sekitar pukul 15.00, mulai menduga-duga. Apa iya Jokowi mengatakan, “Jangan Ragukan Komitmen Saya Jaga Demokrasi? setelah saya telusuri dan bandingkan berbagai sumber berita, ternyata itu tidak pernyataan langsung. Judul itu hanya pemahaman media. Kalau begitu, bakal ada sesuatu yang terjadi.
Dan benar. Kurang dari 24 jam setelah Presiden Jokowi menyampaikan komitmennya, Dandy Dwi Laksono dan Ananda Badudu, ditangkap polisi. Netizen lalu terheran-heran dan kaget. Seruan Bebaskan Dandy dan Ananda riuh di media sosial, terutama twitter. Tanda Pagar (Tagar) #BebaskanDandy dan #BebaskanAnanda menjadi trend topik.
Peristiwa itu mengingatkan pada beberapa pernyataan Jokowi pada 2014 lalu soal komposisi menteri. Pada waktu itu ramai diberitakan bahwa Jokowi akan membangun pemerintahan profesional bukan bagi-bagi jatah menteri. Dan peluang menteri dari profesional lebih besar. Publik lalu berimajinasi dan berkesimpulan bahwa yang dimaksud adalah menteri pilihan Jokowi berasal dari orang profesional bukan politisi.
Pada saat diumumkan, kenyataan menunjukkan bahwa kabinet Jokowi-Jk adalah kabinet didominasi dari utusan partai. Jokowi lalu ‘menafsirkan’ ucapannya sendiri, bahwa termasuk dalam profesional bukan hanya profesional murni tapi profesional partai. Kita tahu bahwa istilah profesional partai hanya istilah pengganti dari utusan partai atau politisi. Agaknya, istilah itu digunakan agar terbebas dari kesan bagi-bagi kursi. Tetapi para pengamat sepakat mengatakan bahwa kabinet Jokowi-Jk bagi-bagi kursi.
Jauhnya jarak makna antara Jokowi dengan publik dalam memahami istilah profesional adalah awal dari retorika politik Jokowi. Ada banyak lagi perkataan Jokowi yang disalahpahami oleh publik. Perkataan Jokowi hanya Jokowi yang tahu maksudnya. Dan maksud setiap perkataan Jokowi itu ada dalam tindakan dan keputusannya.
Sebagai contoh. Jokowi pernah mengatakan, “Saya tidak akan membiarkan KPK diperlemah”. Publik lalu bergegas membuat kesimpulan bahwa pemberantasan korupsi mendapat dukungan dari Presiden Jokowi, KPK akan terus diperkuat atau Jokowi akan melawan bila ada yang memperlemah KPK.
Fakta menunjukkann pemahaman dan penafsiran publik terhadap kalimat Jokowi itu salah. Karena setelah keluar RUU KPK, para pengamat dan aktivis anti korupsi sepakat mengatakan bahwa RUU KPK adalah bentuk atau upaya pelemahan pemberantasan korupsi.
Lalu apa makna perkataan Jokowi itu. Dengan mengikuti cara berpikir Jokowi tentang makna profesional pada 2014, makna yang benar adalah Jokowi tidak membiarkan KPK diperlemah oleh DPR, tapi ia ikut memperlemah KPK. Bagi Jokowi ikut memperlemah sama dengan tidak membiarkan DPR memperlemah sendirian.
Perkataan lain dari Jokowi adalah, “Jangan ada pikiran untuk memperlemah KPK”. Publik berkesimpulan Jokowi akan senantiasa memperkuat KPK. Kenyataannya memang Jokowi tidak berpikiran memperlemah KPK tetapi ‘menyetujui’ revisi RUU KPK. Meskipun RUU itu disebut upaya memperlemah KPK tetapi menyetujui bukan pikiran, tapi tanda tangan. Yang tidak boleh adalah ada pikiran untuk memperlemah, bukan ada tanda tangan.
Retorika terbaru dari Jokowi adalah soal komitmen demokrasi. Komitmen apa yang disampaikan Jokowi sungguh tak jelas. Ia hanya mengatakan pilar demokrasi harus kita jaga bersama dan jangan ragukan ia mengenai ini. Maknanya apa? Sebenarnya hanya Jokowi yang tau apa makna yang ia katakan. Tapi sayang, media bergegas menyimpulkan sebagai komitmen Jokowi Jaga Demokrasi.
‘Untung’ saja ada penangkapan terhadap Dandy Dwi Laksono dan Ananda Badudu oleh kepolisian. Dengan penangkapan itu kita jadi tahu makna komitmen Jokowi. Maknanya adalah Jokowi komitmen membasmi kebebasan pers dan kebebasan berpendapat, para tokoh tidak boleh meragukan komitmen Jokowi menangkap aktivis dan orang yang membantu demonstrasi.
Jadi, melakukan sesuatu yang berbeda bahkan berlawanan dengan apa yang dikatakannya telah menjadi karakter Jokowi dalam memimpin republik ini. Jokowi berkata pilar demokrasi harus dijaga, pada saat yang sama kita melihat juga aktivis ditangkap. Katanya, pelemahan KPK tidak boleh dipikirkan, tapi kita melihat revisi UU KPK. Pembakaran Hutan harus dintindak tegas, katanya, tapi pemerintah melakukan PK setelah dijatuhi hukuman pembakaran hutan kalimatan 2015.
Gaya Jokowi itu oleh majalah Tempo digambarkan sebagai bayang-bayang pinokio, boneka kayu yang suka berbohong. Tapi Jokowi lebih dari sekadar berbohong. Ia melawan ucapannya sendiri, dilakukan secara konsisten hingga melekat sebagai karakternya. Ia melakukan semuanya dengan penuh percaya diri, maka karakter itu layak disebut sebagai Jokowikrasi.
Karena Jokowi akan memimpin Indonesia lima tahun lagi dan ia mengatakan akan bekerja tanpa beban, mungkin kita akan lebih banyak menyaksikan Jokowikrasi ini. Kita ucapkan Selamat Datang Jokowikrasi.