Kamis, April 25, 2024

Satire yang Bikin Keder

Ulwan Fakhri
Ulwan Fakhri
Peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) | www.ihik3.com

Polemik Papua dalam beberapa hari terakhir makin genting ketika pemerintah membatasi akses internet di pulau tertimur Indonesia tersebut. Namun, belum reda pro-kontra terkait keputusan pemerintah yang disebut sebagai langkah perlindungan masyarakat dari konten hoaks itu, warganet digemparkan oleh pemblokiran video “iklan pariwisata” Visit West Papua bikinan media satire asal Melbourne, Australia, The Juice Media.

Lewat akun Twitter-nya (28/08/2019), The Juice Media menyatakan bahwa video yang dirilis jauh sebelum huru-hara di Surabaya pecah (tepatnya pada 21 November 2018) dan sejatinya lebih menyindir manuver politis pemerintah Negeri Kanguru itu tidak bisa diakses lagi di Indonesia atas permintaan pemerintah RI.

Memangnya, semenyeramkan apa satire sampai-sampai pemerintah “takut” dengannya? Bukankah video itu dan satire-satire lainnya sekadar lucu-lucuan? Mungkin ini termasuk berlebihan, walau bagi segelintir pihak, satire memang berbahaya.

Satire, kala dipandang secara dangkal, merupakan bentuk kreativitas dalam menyajikan hiburan yang sekaligus melecut rasio. Dibawakannya hal-hal yang berat secara lebih rekreatif ini sampai memicu fenomena pergeseran rujukan informasi publik kaum muda, dari program berita “serius” ke program satire seperti The Late Show dan The Daily Show.

Kesuksesan program satire ini juga tercermin dari riset Pew Research Center tahun 2007 yang mencatatkan nama komedian sekaligus pemandu acara The Late Show, Jon Stewart, sebagai tokoh berita papan atas, sekelas dengan sejumlah jurnalis dan pembawa berita senior sekaligus ternama di AS.

Terlihat sederhana, tetapi satire tidak sesederhana itu juga. Jika ditilik lebih dalam, fenomena lebih diminatinya berita satire ketimbang hard news merupakan refleksi kejemuan publik terhadap media arus utama hingga intelektual yang cenderung mepet ke status quo, yang sekadar menjadi corong dan pelindung agenda pemerintah atau elit, lebih-lebih yang sengaja menghindar dari realitas yang miris.

Bisa dibilang, satire telah mengisi ceruk kecil yang diabaikan (atau mungkin sengaja diabaikan) pers mainstream dan cendekiawan dalam mewartakan “kebenaran” juga menawarkan wacana-wacana yang berperan dalam pendewasaan publik (McClennen & Maisel, 2014).

Caufield, yang menulis salah satu subbab di buku Laughing Matters: Humor and American Politics in the Media Age (2008), memaparkan kalau para satiris kuno tak ubahnya penyihir. Ia dipuja lagi ditakuti, karena dianggap memiliki “mukjizat” untuk mengusir setan dengan kekuatan kata-kata magisnya.

Di era modern, peran satiris berubah seiring kian beragamnya medium untuk menyampaikan satire, meski tugasnya tak jauh dari mengusir “roh jahat”, yang kini banyak bersemayam di tengah masyarakat.

Ya, satire – seperti tertuang dalam perspektif penulis dan wartawan Jerman, Kurt Tucholsky, tahun 1919 silam–bak pemurni darah. Ia lahir dari keinginan seorang yang idealis dan utopis untuk mengubah dunia menjadi lebih baik. Intisari dari satire adalah kritik terfokus kepada pihak tertentu, bisa pemerintah, institusi, sipil, ataupun sistem sosial.

Dalam paradigma Tucholsky itu, menjadi tak beralasan kalau menyebut satire adalah informasi palsu. Pertama, walaupun dibalut oleh berlapis-lapis kiasan dan dihias oleh simbol-simbol tertentu, satire tetap punya inti wacana yang tersembunyi bahkan tertutup rapi. Dibutuhkan usaha lebih untuk membuat maupun memperoleh esensi darinya.

Animal Farm dari George Orwell, misalnya, memakai salah satu teknik umum satiris, yakni memanfaatkan hewan untuk mencerminkan karakteristik manusia atau anthropomorphism.

Kedua, satire tidak mengada-ada. Unsur olokan di dalamnya tidak mungkin ada atau tidak terasa menyakitkan kalau memang fenomena yang diangkat itu salah, imajiner, tidak pernah ada sebelumnya. Mungkin, Setya Novanto selaku pihak yang pernah melaporkan penyebar meme satire dirinya dengan UU ITE lebih kompeten dalam menjelaskan poin ini secara lebih komprehensif.

Oleh karena itu, pemblokiran video The Juice Media membuat pemerintah Indonesia tampak canggung dalam merespons satire. Menyamaratakan satire bak hoaks atau berita bohong sangat tidak beralasan, karena satire justru berstatus sebagai penguat bahkan pilar penting dalam praktik demokrasi.

Seperti disarikan dari Is Satire Saving Our Nation?; Mockery and American Politics (McClennen & Maisel, 2014), kecerdasan humor, paparan fakta yang cenderung komprehensif sekaligus berani, serta penyajian menyenangkan satire dapat membukakan mata publik akan isu krusial yang luput dari amatan.

Dalam titik tertentu, satire di televisi, film, teater lawak, atau media sosial bisa mendorong partisipasi aktif kita untuk memajukan bangsa dan negara, dengan upaya meliterasi diri, baik dari buku, artikel, hingga diskusi.

Kalau satire dilarang agar masyarakat tidak berpikir, jadi siapa yang sedang menggeletar?

 

Referensi:

McClennen, S. A., & Maisel, R. M. (2014). Is Satire Saving Our Nation?; Mockery and American Politics. New York: Palgrave Macmillan.

Caufield, R. P. (2008). The Influence of “Infoenterpropagainment”: Exploring the Power of Political Satire as a Distinct Form of Political Humor. Dalam Baumgartner, J., & Morris, J. S. Laughing Matters: Humor and American Politics in the Media Age. New York & London: Routledge.

Ulwan Fakhri
Ulwan Fakhri
Peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) | www.ihik3.com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.