Jumat, April 19, 2024

Refleksi 5 Tahun Jokowi dalam SDGs

Izzuddin Ar Rifqiy
Izzuddin Ar Rifqiy
ASN BPS Maluku Tenggara Barat, Staf Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik

Sustainable Development Goals (SDGs) adalah pembangunan yang menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan. Pembangunan yang mampu menjaga peningkatan kualitas hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya. SDGs disepakati oleh 193 negara pada September 2015.

Tak selang lama menjelang ulang tahun ke-empat SDGs, Presiden Jokowi juga melangkah menuju periode kedua. Lalu dengan umur yang hanya berselang satu tahun, bagaimana performa Jokowi diukur dengan SDGs?

Terdapat 17 hal besar yang menjadi tujuan pembangunan berkelanjutan ini yang kemudian dikelompokkan Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam 4 pilar. Keempat pilar itu adalah pilar pembangunan sosial, pilar pembangunan ekonomi, pilar pembangunan lingkungan, dan pilar pembangunan hukum dan tata kelola.

Pemerintahan yang sehat berprogres dalam semua pilar, tidak hanya fokus pada satu-dua saja. Seperti ironi yang dihadapi Indonesia adalah sebagai negara penghasil sampah terbesar kedua dunia, kita juga masih menghadapi ancaman balita stunting. Keduanya merupakan indikator keberhasilan SDGs yang belum tercapai.

Secara umum Indonesia sudah berada dalam tracknya pada pilar pembangunan sosial. Hal ini tampak pada salah tujuan pertama SDGs yakni tanpa kemiskinan. Dalam hal ini warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu. Seperti yang diucapkan Jokowi saat Pidato Kenegaraan 16 Agustus 2019, “Penduduk miskin terus menurun dari 11,22 persen pada Maret 2015, menjadi 9,41 persen pada Maret 2019, terendah dalam sejarah NKRI.”

Begitupun 4 tujuan lain dalam pilar sosial yakni tanpa kelaparan, kehidupan sehat sejahtera, pendidikan berkualitas dan kesetaraan gender. Kemajuan pencapaian tujuan dalam pilar sosial ini tidak lepas dari intervensi negara dalam memberi bantuan sosial yang lebih tepat sasaran. Pun juga gelontoran transfer dari pusat ke daerah melalui berbagai macam program seperti dana desa, anggaran pendidikan yang fantastis, dan pendampingan masyarakat.

Hal tersebut juga didukung aturan-aturan yang strategis demi tercapainya berbagai target yang ada. Contohnya dalam upaya meningkatkan keterwakilan perempuan dalam parlemen (yang merupakan salah satu indikator kesetaraan gender), pemerintah menetapkan partai harus memberikan porsi minimal 30 persen perempuan sebagai calon anggota legislatif.

Salah satu pencoreng keberhasilan pilar sosial ini adalah tingginya prevalensi bayi stunting/ pendek. Stunting yang berjuluk kelaparan tersembunyi kita berada pada peringkat 2 ASEAN. Prevalensi ini bahkan mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017.

Pilar pembangunan ekonomi juga menunjukkan trend positif. Rasio Gini yang menggambarkan ketimpangan sosial mengecil dari 0,408 pada Maret 2015, menjadi 0,382 pada Maret 2019, menandakan gap antara si kaya dan si miskin yang semakin mengecil. Pertumbuhan ekonomi juga stabil di angka 5 persen. Capaian tersebut meleset dari target Jokowi dalam Nawacita yakni 7 persen, namun bisa dimaklumi mengingat perekonomian dunia yang sedang bergejolak.

Bersenjatakan pembangunan infrastruktur yang dengan getol dilakukan Pemerintahan Jokowi disertai peran aktif masyarakat lewat maraknya ekonomi digital, berbagai inovasi dan penetrasi digital yang terus menanjak. Pilar pembangunan ekonomi semakin menunjukkan masa depan yang cerah.

Titik lemah

Di samping berbagai macam kemajuan di bidang sosial dan ekonomi, tampaknya Indonesia dikawal oleh pemerintahan Jokowi-Ma’ruf 5 tahun mendatang perlu membenahi arah pilar pembangunan lingkungan dan pilar pembangunan hukum dan tata kelola.

Salah satu tujuan dalam pilar pembangunan lingkungan adalah penanganan perubahan iklim. Beberapa bulan terakhir terjadi bencana alam yang dahsyat. Penanganan pasca bencana dan kesiapsiagaaan yang belum memadai mengakibatkan korban yang lebih banyak daripada semestinya. Polusi dan kualitas udara di pelbagai belahan Indonesia menjadi sorotan publik.

Salah satu akibat pembangunan yang masif tanpa kontrol yang ketat, adalah dampak negatif pada lingkungan. Jangan sampai karena ingin mengejar pembangunan ekonomi, sampai mengabaikan lingkungan. Karena salah satu amanat dalam SDGs ini adalah menjaga ekosistem daratan dan ekosistem lautan. Hal tersebut menjadi tujuan utama yakni tujuan 14 dan 15. Keseriusan pemerintah dalam menjalankan pilar pembangunan lingkungan sangat diperlukan. Supaya anak cucu kita dapat menikmati alam minimal sama seperti yang kita nikmati saat ini.

Namun gejala keserampangan dalam menangani masalah lingkungan ini selalu muncul dari waktu ke waktu. Kebakaran hutan yang selalu terjadi setiap tahun, tumpahnya minyak pertamina, simpang siur reklamasi, penambangan yang tidak diatur dengan ketat, hutan yang semakin gundul, polusi udara. Semua itu hanya sebagian kecil contoh gejalanya. Pemerintah belum menunjukkan komitmen kuat dalam menangani masalah lingkungan.

Yang marak dan populer hanya yang menyasar pada hilir (masyarakat) seperti penggunaan plastik, sedotan dan gimmick-gimmick lainnya. Sementara itu hulunya (produsen, pengusaha besar) masih dibiarkan bebas dengan sedikit aturan yang mengikat mereka. Kepedulian masyarakat secara luas memang perlu digalakkan, namun pembuat kebijakan jangan sampai melupakan yang ‘besar-besar’.

Weak point lain Pemerintahan Jokowi adalah penegakan hukum untuk membela yang lemah. Keberadaan UU ITE yang sering dianggap sebagai pasal karet sudah menelan banyak korban. UU ITE menjadi semacam simbol kelemahan ini, karena seringnya pasal ini dijadikan senjata politik. Menurut catatan dari South Asian Freedom of Expression Network (SAFENet) terdapat lebih dari 300 kasus UU ini selama 2014-2019.

Selain UU ITE, terdapat masalah-masalah lainnya mengenai penegakan hukum dan HAM. Seperti kekerasan terhadap wartawan saat peliputan demo buruh tempo hari dan yang masih fresh adalah show of force aparat tatkala menyerbu asrama mahasiswa papua. Hal masih pula dibumbui ketidaktegasan sikap pemerintah yang hanya meminta masyarakat bersabar dan memaafkan, bukannya mengusut dan mengadili pelaku rasialisme.

Hal-hal diatas tidak aneh mengingat istana negara juga mengeluarkan statement penanganan HAM bukan prioritas utama. Sejalan dengan pidato pertama Jokowi sebagai presiden terpilih (14/7/2019) yang menyatakan akan membuka investasi seluas-luasnya namun sama sekali tidak berbicara masalah hukum dan HAM. Sikap seperti ini tentu tidak sesuai dengan tujuan ke 16 SDGs yakni Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh.

Indonesia baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-74. Mendekati usia tiga perempat abad, Indonesia masih punya banyak pekerjaan rumah untuk diselesaikan. Kita harapkan, kepempinan Jokowi-Ma’ruf 5 tahun mendatang akan membawa perbaikan lingkungan serta keadilan hukum dan HAM bagi Indonesia. Dengan demikian slogan “Menuju Indonesia Unggul” sebagai tagline dirgahayu Indonesia ke-74 ini dapat terwujud.

Izzuddin Ar Rifqiy
Izzuddin Ar Rifqiy
ASN BPS Maluku Tenggara Barat, Staf Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.