Jang Youn Cho diperkenalkan sebagai rektor asing pertama di Indonesia. Pria berkebangsaan Korea Selatan itu nantinya akan memimpin Universitas Siber Asia. Banyak polemik yang muncul setelah Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Indonesia yang saat ini menjabat Muhammad Natsir mengemukakan idenya dengan memilih rektor asing sebagai satu-satunya jalan untuk mengangkat kualitas perguruan-perguruan tinggi di Indonesia yang dianggapnya masih jauh dari standar.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah di Indonesia tidak ada lagi orang profesional yang mampu untuk mendongkrak kualitas perguruan tinggi di Indonesia sehingga harus menaturalisasikan orang dari negara lain?
Ini bukan tentang kualitas yang ditawarkan oleh rektor asing atau keunggulan yang dilirik oleh Menteri Natsir yang mungkin dalam alibinya kualitas itu dapat memperbaiki iklim perguruan tinggi yang sepi. Tapi bagaimana pendekatan yang digunakan oleh sang rektor lah yang dapat menggugah dan menghidupkan kembali semangat prestasi dalam perguruan tinggi.
Hal ini bahkan menyalahi peraturan Nomor 1 Tahun 2016 tentang pengangkatan dan pemberhentian rektor/ketua/direktur pada perguruan tinggi dalam persyaratan untuk diangkat adalah pegawai negeri sipil yang memiliki pengalaman jabatan sebagai dosen. Bagaimana bisa mendapatkan gelar pegawai negeri sipil kalau kewarganegaraan Indonesia saja tidak?
Rasanya ini seperti ironi konyol yang kalau diceritakan kita sebagai orang tua kemudian punya anak tidak bisa dalam mata pelajaran matematika, bukannya mencari penyebab mengapa anak kita tidak bisa matematika, bisa jadi anak kita malas atau bahkan mungkin matematika bukan bidang yang diminatinya tapi sebagai orang tua kita malah memutuskan menyalahkan gurunya atas ketidakberhasilan dan mencari guru pengganti dengan “standar” yang kita miliki. Tidak ada jaminan yang pasti digantikan dengan guru baru dapat mendongkrak kualitas yang dimiliki anak kita.
Sama halnya dengan perguruan tinggi. Baik atau bobroknya kualitas sebuah perguruan tinggi tidak hanya bergantung pada rektornya saja. Tapi juga mahasiswa, staff tenaga pendidik dan staff tenaga kependidikan bahkan masyarakat diluar kampus pun memiliki andil terhadap keberhasilan sebuah perguruan tinggi.
Banyak aspek yang sebenarnya dapat diperbaiki dari dalam, tidak harus mengambil jalan keluar “menyomot” rektor asing sebagai standar perbaikan perguruan tinggi. Sekali lagi tidak ada jaminannya.
Nampaknya Indonesia harus belajar dari Finlandia, negara yang menempati rangking 1 Human Capital Index dimana salah satunya didukung oleh sektor pendidikan yang unggul, Finlandia menempatkan diri sebagai kiblat pendidikan bagi negara-negara yang menginginkan perbaikan mutu dan pencapaian dalam sektor pendidikan mereka.
Namun hal itu tidak mudah, unsur budaya, kebijakan pemerintah dan tarik ulur urusan politik juga akan mempengaruhi bagaimana berjalannya birokrasi yang akan menjadi rambu-rambu dalam berkembangnya dunia pendidikan baik pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi di Indonesia.
Menurut Quacquarelli Symonds (QS) setidaknya ada empat indikator penilaian yang harus dicapai untuk mengukur kualitas perguruan tinggi. Yang pertama adalah jumlah riset, kemudian lulusan kerja, lalu kualitas pengajar dan infrastruktur. Dari empat aspek yang harus dipenuhi itu tidak ada korelasi dan garansi bahwa mengangkat rektor asing sebagai ketua dari sebuah perguruan tinggi dapat menorehkan rekor universitas tingkat dunia bagi perguruan tinggi yang dipimpinnya.
Mungkin alasan ini akan menjawab mengenai argumentatif Menteri Natsir yang menyebutkan bahwa salah satu alasannya mengambil rektor asing adalah agar perguruan tinggi yang dipimpin oleh rektor asing dapat menduduki rangking 100 dunia. Sebuah tantangan yang “hanya” diberikan pada rektor “asing”. Bukan sebuah tantangan namanya jika hanya diberikan kepada orang tertentu, tidak ada kesempatan untuk pembuktian diri bagi orang Indonesia asli memimpin lembaga pendidikan bangsanya sendiri.
Yang menjadi kiblat dari keputusan ini adalah Nayang Tecnological University di Singapura yang sejak tahun 2011 hingga 2017 dipimpin oleh rektor asing Bertil Andersson dan berhasil meraih peringkat 11 terbaik dunia. Kepercayaan atas satu fakta ini nampaknya cukup memberikan harapan serta menggiurkan sehingga membuat menteri Natsir ingin meng-copy cara yang sama ke Indonesia.
Namun yang terlewat dari keputusannya ini adalah tidak adanya perbandingan mendasar dari berbagai Universitas di dunia yang akhirnya bisa melesat seperti NTU karena adanya rektor asing, kita hanya memiliki satu contoh dan itu tidak cukup kuat sebagai alibi ditariknya rektor asing bagi perguruan tinggi dalam negeri. Jika NTU berhasil menduduki peringkat 11 dunia dengan rektor asing, lantas bagaimana dengan rangking 1 sampai 10, kemudian 12 sampai seterusnya berapa banyak dari 50 besar perguruan tinggi dunia yang memiliki rektor asing. Alasan ini sangat tidak valid.
Keberhasilan NTU tidak lepas dari campur tangan pemerintah Singapura dan konsistensi mereka dalam mendukung perkembangan perguruan tinggi. Hal ini dapat dilihat dari gebrakan perdana menteri Singapura, Tony Tan yang membangun yayasan riset nasional serta adanya pendanaan penelitian untuk riset.
Dimana hasil riset perguruan tinggi merupakan salah satu indikator agar dapat menjadi perguruan tinggi terbaik. Gebrakan Tony membuat topang untuk kemajuan perguruan tinggi semakin kuat. Lalu bagaimana dengan Indonesia, dapatkah sekuat itu mendukung kemajuan pendidikan tingginya?
Dua aspek yang keliru ketika keputusan ini hanya dilihat dari segi keberhasilan NTU karena memiliki rektor asing, namun tidak melihat faktor-faktor pendukung lain yang tidak kalah pentingnya.
Jika diibaratkan sebuah rumah, Indonesia bisa dikatakan sebagai rumah yang baru saja dibangun, perabotannya masih acak-acakan kesana-sini. Namun apapun yang terjadi di dalam rumah, sang pemilik rumahlah yang paling mengetahui keadaan rumahnya bahkan sampai barang terkecil sekalipun. Terlepas dari sang pemilik ingin memanggil seseorang profesional untuk membantunya menyusun perabotan, sang pemilik rumahlah yang memiliki kendali penuh atas rumahnya.
Sama seperti perguruan tinggi di Indonesia, agak semerawut tapi bukan berarti tidak bisa diperbaiki dengan tangan sendiri. Dibandingkan memilih jalan keluar merekrut rektor asing, mengapa tidak mencoba melatih dan mengembangkan kemampuan dan potensi putra-putri terbaik bangsa dan memberikan tantangan yang sama untuk melejitkan perguruan tinggi dalam negeri ke rangking 100 besar dunia.
Dari segi undang-undang keputusan ini telah jelas salah melanggar aturan, jika pragmatisme masih tidak bisa dilepaskan dalam keputusan ini, cobalah menilik dan kembali pada aturan yang telah tertulis dalam undang-undang mengenai rektor perguruan tinggi di Indonesia.
Jika ternyata di masa yang akan datang tantangan yang kita lemparkan kepada rektor asing ini tidak terwujud. Para penerus bangsa ini harus menanggung konsekuensi atas keputusan yang sebelumnya tidak pernah dipertanyakan kepada mereka. Para mahasiswa perguruan tinggi dengan rektor asing inilah yang akan menjadi penanggung utama dari pragmatisme falasi yang menjadi unsur keputusan ini.