Beberapa waktu yang lalu, saya membaca tulisan di sebuah media besar tentang kaum muda di Senayan. Dalam tulisan itu diceritakan bahwa ada sekitar 72 kaum muda yang terpilih menjadi anggota DPR RI dari berbagai dapil, dari berbagai partai. Rentang usianya dari 23-40 tahun.
Ada semacam optimisme di tulisan tersebut. Di akhir tulisan terpapar sebuah harapan kepada kaum muda yang terpilih di Senayan itu untuk memberikan perubahan.
Saya kira, itu adalah optimisme yang terburu-buru. Berharap boleh-boleh saja. Tapi lihat situasi dan kondisi.
Kita tengok atmosfir politik di Indonesia. Dengan atmosfir politik pragmatis yang mengahalalkan segala cara dan arusnya begitu tak terbendung semacam ini, siapa pun yang masuk di dalamnya, apakah itu kaum muda, setengah tua atau tua tidak mungkin tidak terseret arus permainan politik pragmatis yang menghalalkan segala cara itu.
Sebagaimana yang kita tahu, politik pragmatis yang menghalalkan segala cara lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok, alih-alih kepentingan rakyat. Seberapa besar harga yang harus dibayar oleh rakyat dari pemilu termutakhir, waktu, tenaga, pikiran, harta bahkan nyawa?
Kita ambil contoh dari salah satu partai yang pada pemilu termutakhir ikut kontestasi. Partai baru tersebut memproklamirkan diri sebagai partainya anak muda. Anak muda adalah simbol semangat, progressive, gandrung akan perubahan. Dan memang seperti itulah citra yang coba ditampilkan kepada rakyat oleh partai tersebut.
Kader kadernya yang cukup percaya diri nampang di media. Tetapi, ternyata hanya kadernya saja yang muda-muda. Cara main politiknya tidak, tetap tidak jauh berbeda sama yang tua-tua. Terutama perihal konsistensi. Misalnya, bilang anti korupsi, tapi balihonya mengganggu trotoar. Pemimpin partai bilang ini. Kader lain, yang memiliki posisi penting bilang itu.
Di dalam tulisan yang saya baca di media besar itu penulisnya juga menggambarkan pemuda dengan mengutip Tan Malaka. Bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda. Idealisme berkaitan dengan pemegangan teguh sebuah prinsip yang artinya identik dengan konsistensi. Sedangkan kenyataannya alih-alih konsisten, malah mencla-mencle.
Oleh karenanya, jika kita mengambil contoh dari partai tersebut, yang mau mencitrakan diri sebagai partai pemuda secara substantif bisa dikatakan gagal.
Di sisi lain, apa yang dilakukan partai tersebut tidak sepenuhnya salah. Permainan – permainan politik yang mencla – mencle seperti itu memang sudah biasa di negeri kita ini. Sebagaimana kata Ronggowarsito, di zaman edan harus ikut – ikutan edan, kalau tidak edan tidak kebagian.
Para politisi yang percaya diri tampil di televisi mengatakan bahwa politik itu dinamis. Sejauh mana batas dinamisnya? Jangan-jangan dinamis yang dimaksud bukan dinamis dalam artian positif. Tetapi menghalalkan segala cara, yang penting kepentingan terlaksana, tujuan tercapai.
Para politisi muda itu apakah tidak mengalami inkonsistensi sebagaimana yang dialami partai tersebut? Apakah pada masa-masa kontestasi politik termutakhir menunjukkan kredibilitasnya sebagai politisi? Benar-benar dipilih rakyat karena kualitasnya. Bukan karena untung-untungan atau menghalalkan segala cara. Termasuk dengan kekuatan modal yang besar.
Di sisi lain, apa orientasi para politisi muda yang mungkin secara mental belum begitu stabil masuk ke dunia politik? Ingin membangun karier? Ingin memunculkan kebanggaan diri, “Ini lho aku pejabat”? Ingin mencari kekayaan? Atau ingin mengabdi kepada rakyat?
Kalau ditanya, sudah pasti akan menjawab, ingin mengabdi kepada rakyat. Kalau benar seperti itu. Seberapa banyak jam terbang perjuangannya untuk rakyat. Seberapa besar harapan rakyat atas calon-calon muda itu.
Kembali ke atmosfir politik yang sedang berlangsung. Apakah atmosfir politik di Indonesia sekarang bisa mengondisikan seseorang kondusif berjuang untuk rakyat? Kalau ada yang menjawab iya, mungkin ia sedang tutup mata dan tutup telinga.
Buktikan dulu perjuangan di luar Senayan. Jangan tiba-tiba tampil di Senayan. Nanti kaget.