Rabu, April 24, 2024

Pep Guardiola dan Insting Belanja Pemain

Ridwan Ezy Faza
Ridwan Ezy Faza
Alumnus UIN Yogya, pernah nyantri di An-Nuqayah dan Nurul Jadid. Penggila bola sejak kecil.

Sejak berlabuh ke Manchester City, Pep Guardiola getol belanja pemain. Para pemain yang menjadi target buruannya berhasil didatangkan karena mendapat sokongan penuh dari manajemen klub. Dana yang digelontorkan oleh Mansour bin Zayed Al Nahyan atau Sheikh Mansour tidak tanggung-tanggung. Bak gayung bersambut, semahal apapun banderol pemain incaran Guardiola, The Citizen tidak keberatan menguras pundi-pundi finansialnya.

Baru saja menginjakkan kaki di Stadion Etihad pada awal Juli 2016, pria berkepala plontos ini sudah disiapkan uang 150 juta poundsterling (sekitar Rp 3,051 triliun). Anggaran ini bukan hanya terserap habis, tapi masih kurang untuk memboyong 10 pemain. Total dana yang dihabiskan Guardiola pada musim pertama bersama The Citizen mencapai 192,15 juta poundsterling (Rp 3,3 triliun).

Pada musim kedua (2017-18), dana yang dihamburkan lebih fantastis lagi. Angkanya melambung tinggi, naik di atas 1 triliun. Padahal jumlah pemain yang dibeli lebih sedikit dari musim sebelumnya. Guardiola mendatangkan sembilan pemain anyar dengan total tebusan sebesar 285,75 juta poundsterling (Rp 4,9 triliun). Dalam dua musim itu, Guardiola berada di garda terdepan dalam aktivitas bursa transfer kelas kakap.

Di musim berikutnya, aksi pembelian secara gila-gilaan direm. Guardiola percaya skuadnya masih sangat kompetitif dan bakalan mampu mempertahankan dominasinya di Liga Inggris. Dari empat pemain yang direkrut The Citizen pada bursa transfer musim panas 2018/19, hanya Riyard Mahres yang ditebus dengan harga tinggi. City harus menyetor uang sebesar 60 juta poundsterling ke Leicester untuk mendapatkan jaza Mahrez.

Kegemaran belanja pemain secara jor-joran bukan tabiat baru dalam gaya manajerial Guardiola. Tabiat itu sudah mendarahdaging jauh sebelum dia hijrah dan mengadu nasib di Negara Ratu Elizabeth. Di tanah kelahirannya dan di Jerman, Guardiola sudah tersohor sebagai sosok manajer yang boros.

Ketika menjadi juru taktik Barcelona, eks pesepakbola yang pernah merumput di Serie A ini mengeluarkan dana sebesar 342 juta euro (Rp 5,4 triliun). Gerard Pique masuk dalam radar pembelian pertama. Dia didatangkan kembali dari MU dengan mahar murah. Maklum saat itu Gerrad Pique masih terbilang pemain “ingusan”.

Dana 342 juta euro sebagian besar dihabiskan untuk belanja sederet pemain top dunia. Zlatan Ibrahimovic, David Villa, Cecs Fabregas, Javier Mascherano dan Alexis Sanches diboyong ke Camp Nou.

Selama tiga musim masa kepelatihannya di Jerman, uang yang dihabiskan 204 juta euro (Rp 3,2 triliun). Nilainya memang jauh lebih kecil dibanding pengeluaran Barcelona. Tapi nominal ini sudah tergolong anggaran besar bagi Bayern Munchen yang punya kebijakan transfer tidak jor-joran.

Meskipun Die Rotten masuk dalam jajaran klub kaya di dunia, manajemen klub tidak menginginkan kondisi finanasialnya oleng hanya gara-gara terpancing operasi pembelian super royal ala PSG, Citydan Madrid. Mereka mengedepankan tata kelola keuangan lebih ketat dan irit agar terhindar dari utang.

Kebijakan transfer ini, seperti dilansir portal berita CNN, menjadi alasan kenapa Guardiola memutuskan hengkang dari Allianz Arena. Guardiola dan petinggi klub tidak menemukan kata sepakat terhadap pembelian pemain. Pihak klub tidak bisa menuruti keinginan Guardiola yang mau menggaet pemain dengan banderol selangit.

Roberto Firmino, Kevin De Bruyne dan Angel di Maria masuk dalam daftar bidikan sang pelatih. Namun cinta bertepuk sebelah tangan, itulah kenyataan pahit yang dialami Guardiola. Proposal pembelian yang disodorkannya ditolak. Pihak klub tidak memberikan lampu hijau sebagai sinyal uang belanja pemain tidak cair.

Dua pemain yang disebut pertama akhirnya meninggalkan Bundesliga. Roberto Firmino dipinang Liverpool (41 juta euro), Wolfsburg melepas Kevin De Bruyne ke City(76 juta euro) sementara Angel di Maria berjersey PSG (63 juta euro).

Seandainya transfer ketiga pemain ini berjalan mulus alias mendapat restu dari manajemen klub, nominal pembeliannya mencapai 384 juta euro, melebihi total dana yang dihabiskan Guardiola selama masa kepemimpinannya di Barcelona.

Tapi siapa mengira, di balik kegandrungannya yang jor-joran dalam bursa transfer, Guardiola justru lebih banyak merekrut pemain belakang, baik bek tengah maupun bek sayap. Ketika memegang kendali Barcelona, hanya di akhir musim (2011/12) dia tidak membeli pemain belakang. Total pemain lini pertahanan yang diboyong ke Camp Nou sebanyak 6 orang.

Sebaliknya, di musim perdananya bersama Munchen, tidak ada satupun pemain center back dan full back yang direkrut. Untuk memperkuat barisan lini pertahanan klub raksasa Bundesliga itu, Guardiola hanya menggaet Medi Benatia, Juan Bernat dan Joshua Kimmich.

Belanja pemain belakang meningkat drastis pada saat Guardiola pindah ke Inggris. Sejak menangani City dari 2016 hingga sekarang, dia getol menambah amunisi pada sektor pertahanan. Setiap musim manajer kelas dunia ini tidak pernah absen membeli pemain bertahan.

Dari daftar belanja pemain The Citizen pada musim 2016/17, dana pengeluaran terbesar tersedot untuk memboyong bek tengah. Everton menerima pinangan City setelah menyatakan sanggup menyiapkan dana 47,5 juta pound sterling demi mendapatkan John Stones.

Nilai transfer bek tengah timnas Inggris ini menduduki tarif paling teratas, disusul Leroy Sane (37 juta 50 pound sterling), Gabriel Jesus (27 juta pound sterling) dan Ilkay Gundogan (20 juta pound sterling). Nilai transfer ini pulalah yang mengantarkan Stones berstatus bek termahal kedua sejagad di bawah David Luiz.

Begitupun pada musim berikutnya. City menyetujui klausul pelepasan Aymeric Laporte dari Athletic Bilbao. Mahar yang ditebus mencapai 65 juta euro atau setara Rp 1,06 triliun. Banderol fantastis ini memecahkan rekor pembelian termahal sepanjang sejarah klub.

Hal menarik yang layak disorot seberapa tajam insting Guardiola belanja pemain belakang, terutama bek tengah. Kalau kita telisik sepanjang sepak terjangnya merekrut pemain palang pintu di tiga klub berbeda, insting pembelian Guardiola jauh dari kata sempurna. Sosok paling menonjol dari hasil perburuanya hanyalah seorang Gerard Pique.

Ditarik kembali ke Barcelona, Pique saat itu bukan siapa-siapa. Di bawah sentuhan Guardiola, pesepakbola kelahiran Februari 1987 ini mengalami perkembangan pesat. Dia tidak hanya bisa menikmati taktik tiki-taka, tapi juga mengerti bagaimana memerankan bek tengah dalam sepakbola menyerang.

Meski minim jam terbang, Pique tidak canggung berduet dengan bek tangguh sekelas Carlos Puyol. Ketika turun ke lapangan, dia yang waktu itu masih muda tidak mau hanya menjadi beban bagi partnernya di lini pertahanan.

Jebolan akademi La Masia ini tahu Guardiola mengidolakan seorang ball-playing defender. Mau tidak mau, kemampuan seperti yang diinginkan sang pelatih harus diasah. Dengan kemampuan inilah, Pique menjadikan jantung pertahanan bukan hanya sebagai area pertarungan mematahkan gempuran lawan, tapi area memulai serangan.

Sementara pembelian bek tengah yang lain tergolong transfer cacat. Jika Pique mengukir prestasi emas di era kepelatihan Guardiola, Martin Caceres tidak bisa menembus tim utama. Selama bergabung dengan Barcelona, pesepakbola berpaspor Uruguay ini hanya tampil 13 kali di La Liga.

Dengan menit bermain yang minim, Camp Nou bukan tempat bersahabat bagi karir sepakbola Caceres. Status pemain pinjaman lebih kerap disandangnya. Dia pernah dipinjamkan ke Juventus dan Sevilla.

Merdi Benatia yang dibeli Guardiola pada bursa transfer musim panas 2014 gagal bersinar di Bundesliga. Guardiola tergiur merekrut Benatia karena berstatus sebagai salah satu bek terbaik Liga Italia musim 2013/14.

Sayang, kinerja apiknya bersama AS Roma tidak bisa dia lanjutkan ketika berkostum Die Rotten. Kedatangan bek asal Maroko ini ternyata tidak menambah lini pertahanan Munchen makin solid. Benatia hanya bertahan selama dua musim, dan akhirnya dilepas ke Juventus dengan status pemain pinjaman.

John Stones sampai sekarang masih bisa bertahan di Stadion Etihad. Tapi kemungkinan didepak seperti Benatia sangat terbuka. Kalau eks bek tengah Everton ini terus menerus berkutat dengan masalah konsistensi dan kebugaran, majenemen klub bisa hilang kesabarannya.

Sewaktu belum berpisah dengan City, Vincent Kompany sudah mengingatkan Stones agar menjaga kestabilan penampilannya. “Satu hal yang saya harapkan darinya adalah konsistensi, baik dari permainan dan kebugaran,“ ucap Company seperti dikutip dari laman sepakbola detik.com. Tapi justru konsistensi inilah yang menjadi jantung persoalan Stones.

Semakin lama Stones bukannya mampu menjawab kritikan tajam terkait performanya yang naik turun, namanya malah makin tenggelam. Sisi kelemahan lain yang juga banyak disorot adalah Stones tidak memiliki kecepatan. Lambannya pergerakan dan ketidakstabilan performa pemain berpostur 1,88 m ini tentu saja menodai belanja pemain yang dilakukan Guardiola.

Sedangkan pembelian Aymeric Laporte bukan sebuah perekrutan yang gagal, tapi juga tidak bisa dibilang istimewa. Permainan bek tengah berusia 25 tahun ini memang cukup memukau. Laporte bisa menjelma sosok yang bisa mewarisi kepemimpinan Vincent Kompany di lini belakang. Pada musim 2018/19, dia paling sering diturunkan. Bermain 35 kali di Liga Inggris. penampilan terbanyak mengalahkan Kompany, Otamendi dan Stones. Laporte bukan hanya bek tengah andalan City, tapi juga dianggap memenuhi ekspektasi yang diinginkan Guardiola.

Laporte memiliki kekuatan komplit; berpostur tinggi, memiliki kecepatan dan ketenangan. Inilah kekuatan yang sangat menunjang kinerjanya dalam mengantisipasi serangan balik. Kekuatan ini membuat Laporte bertubuh ganda. Tubuh pertama mampu mengatasi kelemahan Otamendi yang sering kalah dalam duel udara, tubuh kedua bisa menjadi solusi atas lambannya pergerakan Stones.

Hanya saja meskipun berbekal kekuatan komplit, Laporte gagal unjuk gigi di level kompetisi elit Eropa. Kontribusi pemain pilihan utama Guardiola ini tidak signifikan saat membela City di Liga Champion. Dia bahkan menjadi biang keladi terhentinya laju City ke semifinal Liga Champion musim lalu.

Pada leg kedua perempat final kontra Tottenham di Stadion Etihad (Kamis, 18/4/2019), Laporte melakukan blunder. Blunder itu tidak hanya sekali, tapi sampai tiga kali. Kinerja buruk Laporet mengawal lini belakang inilah yang menyebabkan The Citzen kebobolan tiga gol.

Ridwan Ezy Faza
Ridwan Ezy Faza
Alumnus UIN Yogya, pernah nyantri di An-Nuqayah dan Nurul Jadid. Penggila bola sejak kecil.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.