Jumat, Maret 29, 2024

Pengajaran Sejarah yang Rasis?

Iman Zanatul Haeri
Iman Zanatul Haeri
Penulis adalah Guru

Berkembang pesatnya tren ‘rasisme’ dalam masyarakat dunia dan munculnya para politisi garis ultra-kanan (seperti Donald Trump) ke tampuk kekuasaan dipengaruhi oleh berbagai aspek, termasuk pendidikan. Salah satunya pengajaran sejarah di sekolah yang berperan penting sebagai orientasi dasar warga negara Indonesia (siswa) untuk membentuk pemahaman dasar mereka tentang arti sebuah bangsa.

Mata pelajaran sejarah sebenarnya menyediakan rangkaian peristiwa untuk mendukung narasi kebhinekaan, namun juga bisa digunakan untuk hal sebaliknya.

Mata Pelajaran sejarah menyediakan peluang lahirnya kesadaran anti penjajahan, namun juga bila dipahami secara sempit, bisa dimaknai sebagai anti kepada bangsa tertentu saja. Sebagai contoh, pembangunan museum di Indonesia atas nama seorang Belanda.

Pembangunan Museum Multatuli di Lebak (Banten) bukan tanpa halangan. Dalam pidato peresmiannya, Bupati Lebak mengeluhkan bagaimana proses pembangunan museum ditentang banyak pihak.

Alasannya, Multatuli merupakan seorang Belanda. Premisnya: semua orang Belanda adalah penjajah. Itulah yang diajarkan disekolah. Lantas bagaimana apabila ada seorang Belanda yang mendukung kemerdekaan Indonesia dan menolak kolonialisme?

Kurikulum 2013 (Kurtilas) nyatanya mempersempit ruang perjuangan kemerdekaan dengan semangat rasisme. Sebagai contoh, Eduard Douwes Dekker (Multatuli) menulis novel berjudul ‘Max Havelaar’. Novel tersebut nyatanya adalah karya sastra antikolonial pertama didunia.

Padahal pejuang emansipasi RA Kartini hingga pejuang kemerdekaan seperti Soekarno mengaku terinspirasi dari novel Max Havelaar. Bahkan pengaruh novel ini melintasi antar-bangsa seperti perjuangan kemerdekaan Filipina. Hal ini diakui oleh bapak bangsa Filipina, Jose Rizal yang menjadi pelopor semangat kemerdekaan di Filipina.

Semangat antikolonial atau antipenjajah ini ternyata tidak mampu diakomodasi oleh silabus yang dikeluarkan pemerintah dalam Kurtilas. Multatuli hanya disebut dalam Sejarah Indonesia pada kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda yang disebut Cultuurstelsel atau tanam paksa (Kompetensi dasar 3.1).

Sedangkan dalam ‘Strategi perlawanan dan respon  bangsa Indonesia’, (KD 3.2 dan 3.7) baik buku teks dari pemerintah dan swasta tidak menyertakan Multatuli sebagai bentuk ‘perlawanan bangsa Indonesia’. Padahal didalam silabus Mata Pelajaran sejarah itu sendiri disebutkan bahwa ‘sastra’ bisa menjadi medium perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajahan.

Jadi, pengajaran sejarah sudah rasis sejak dalam kurikulum. Padahal, semangat pergerakan dan kemerdekaan Indonesia melintasi antar Ras. Keponakan Multatuli, Ernest Douwes Dekker justru kemudian menjadi salahsatu tokoh pergerakan.

Kita mengenalnya sebagai salahsatu tokoh dalam Tiga Serangkai. Karena semangat yang rasis, sebagian orang hanya mengenal nama Indonesianya, Setiabudi.

Cara mengenal sejarah secara hitam putih semacam ini pernah di uraikan oleh Prof Ariel Heryanto dalam kuliah umumnya berjudul ‘Historiografi yang Rasis’. Ia menelaah film yang terkait peristiwa 1965 dan film kemerdekaan yang selalu memberikan gambaran bahwa orang komunis ‘lugu tetapi bodoh’ dan orang Belanda  ‘tidak ada yang baik’.

Sepintas, generalisir ini tidak bermasalah. Namun ketika kenyataan justru berkata sebaliknya, kita tidak mampu mengkategorikan orang-orang yang melintasi batasan ras-nya untuk mendukung, katakanlah—kemerdekaan.

Kita yang terlanjur menganggap semua orang ‘Belanda’ adalah penjajah tidak mampu memahami bahwa yang kita tolak bukan ‘kebelandaannya’ sebagaimana ‘kearabannya’, kecinaanya’ dan seterusnya.

Hal utama yang kita tolak dari bangsa Belanda adalah kolonialisme-nya. Artinya selama terdapat suatu bangsa yang melakukan penjajahan darimanapun asalnya, kita sebagai sebuah bangsa yang dalam UUD 1945 dengan jelas menyatakan ‘penjajahan diatas dunia harus dihapuskan..” tentu bertolakbelakang dengan bangsa tersebut.

Namun, silabus Kurtilas Mata Pelajaran Sejarah lebih memberikan penekanan pada ‘kebelandaannya’ ketimbang ‘kolonialisme’ atau penjajahannya.

Hal ini akan menjadi kerugian yang sangat besar dan panjang. Akibat langsung yang sekarang kita hadapi adalah berkembangnya sikap rasisme ditengah masyarakat, sehingga sangat mudah untuk menghina identifikasi fisik seseorang hanya untuk mempertahankan kebanggaan nasional.

Walhasil, baru-baru ini sebutan ‘Monyet’ kepada orang Papua menuai banyak protes bahkan mengarah pada konflik vertikal dan horizontal. Pengajaran sejarah ternyata berperan besar secara struktural dalam membentuk pemahaman yang rasis ini didalam sekolah.

Lambat laun, pengalaman bangsa Indonesia didalam lanskap sejarah hanya akan mengenal musuh bernama ‘Belanda’, Separatisme Papua’, dan ‘ancaman asing’ yang targetnya bisa berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan politik praktis.

Tradisi semacam ini memang dipertahankan oleh para politisi usang untuk mendapatkan panggung dan mimbar demi meraup suara masa yang instan meski dengan mengobarkan rasisme sekalipun.

Sehingga pada generasi selanjutnya, lambat laun kita akan melupakan cita-cita utama pendiri bangsa yang melintasi ras dan benua dalam bentuk solidaritas antar-bangsa (Asia-Afrika) demi tujuan menghapus penjajahan. Dan sayangnya, pengajaran sejarah diam-diam menanam semangat rasis dan mengubur kemerdekaan.

Iman Zanatul Haeri
Iman Zanatul Haeri
Penulis adalah Guru
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.