Barangkali penting merefleksikan kembali gagasan besar Bung Karno yang termanifestasi dalam Pancasila saat suasana hari kemerdekaan ini. Mengingat, belakangan ini bermunculan nyanyian ‘sumbang’ beserta jargon-jargon seperti, finalisasi Pancasila, NKRI harga mati, dan persatuan Nasional, yang senyatanya cenderung mengidap hyper-nasionalis. Orang dengan mudah mengkritik sesuatu tanpa mereka pelajari secara serius apa yang mereka kritik.
Kita dapat melihat bagaimana kritik itu di sampaikan kepada kelompok pendukung khilafah islamiyyah serta terhadap Marxisme-Leninisme dan Komunisme. Tanpa mempelajari secara serius, maka kritik itu tidak punya landasan argumen yang rigid, sistematis dan koheren. Dalam sejarah Indonesia, tepatnya sejak orde baru, ketidaksukaan terhadap pemikiran/paham, selalu di atasi secara represif.
Rezim orde baru memberangus Marxisme-Leninisme dan Komunisme memakai instrumen otoritatif negara. Tindakan represif di hadapi seluruh kader, simpatisan atau terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Bahaya komunis dijadikan legitimasi atas segala tindak-tanduk penguasa, sekalipun itu melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Pola serupa juga di pakai pemerintahan Jokowi-JK waktu membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) lantaran dianggap berlawanan dengan Pancasila.
Generasi bangsa sekarang seakan diajarkan agar berhenti berpikir kritis seraya menyikapi sesuatu. Otot lebih di utamakan ketimbang otak. Padahal para founding father dan founding mother telah memberi contoh teladan.
Meski kita tak sepakat terhadap suatu pemikiran, menghadapinya bukan via otot atau ngotot. Tapi hadapi memakai akal sehat. Jika usaha itu menemui jalan buntu. Maka mengagau nilai-nilai universal dari apa yang kita dan mereka yakini supaya menemukan titik temu.
Seperti ikhtiar Soekarno menyatukan nasionalisme, islamisme, dan komunisme (Nasakom). Menyitir pendapat sejarawan Harry Benda bahwa sejak Soekarno menjadi aktivis politik ia bersikeras kalau nasionalisme islamisme, komunisme adalah satu.
Saat kebanyakan insan lebih melihat divergensi antara tiga ideologi semasa itu. Bernard Dahm bahkan mengatakan ketiga ideologi itu inkompatibel. Soekarno justru mencari persamaan dari ketiga ideologi besar tersebut. Artinya Bung Karno melakukan gerak meninggi demi mengetahui persamaan antar tiga kekuatan itu.
Penyatuan itu tak lantas membuat seorang nasionalis harus berubah paham menjadi islamis atau Marxis. Sebagaimana manifesto bung Karno dalam buku “Di Bawah Bendera Revolusi” bahwa impian kita iyalah kerukunan, pertautan antara tiga golongan itu.
Kerukunan adalah fondasi dari ketiga golongan tersebut yang memiliki kesamaan tujuan pembebasan demi tercapainya tujuan negara. Singkat kata, ketiga kekuatan ideologis tersebut tidak relevan untuk saling di benturkan.
Sebagai bangsa yang berdiri di atas gagasan-gagasan besar para pendahulu. Usah terlalu membiasakan diri menyimpulkan sesuatu tanpa mempelajari dengan seksama. Jangan sampai peristiwa razia buku oleh Brigade Muslim Indonesia (BMI) di Makasar beberapa waktu lalu terulang kembali.
Tindakan BMI membuat kita bertanya apakah mereka anti atau pro Marxisme-Leninisme dan Komunis? Sebab ada lektur yang terkena razia justru menentang Marxisme-Leninisme dan Komunis.
Nasionalisme itu penting, tapi bukan hyper-nasionalis. Soekarno mengatakatan nasionalisme iyalah suatu ikhtikad; suatu keinsafan rakyat, bahwa rakyat adalah satu golongan dan satu bangsa.
Itu dimanifestasi oleh pendiri bangsa ke dalam Pancasila. Secara pribadi saya sepakat bahwa Pancasila merupakan dasar negara Indonesia. Tapi kita tak bisa memungkiri fakta bahwa, Pancasila sendiri tidak mengeksklusifkan diri terhadap nilai-nilai tertentu. Pancasila dalam dirinya masih membuka diri diinterpretasi berdasar nilai-nilai tertentu yang diyakini oleh sang penafsir.
Itu terlihat dari cara pengikut paham sosial-demokratis dengan pengikut paham pasar bebas (neoliberal) tatkala menafsirkan Pancasila. Atau seorang Islam moderat (kebanyakan dari Nahdatul Ulama/NU dan Muhammadiyah) dengan seorang Islam konservatif. Diferensiasi tafsir ini sejatinya tidak lepas dari fakta bahwa Pancasila merupakan hasil dari sintesis dari pelbagai ideologi-ideologi besar dunia.
Seperti di tandaskan Yudi Latif dalam buku “Negara Paripurna”. Bahwa Pancasila dari fase pembuahan, perumusan, dan penetapan, para founding father dan founding mother hendak mensintesakan nilai-nilai dari pelbagai aliran ideologi, kemudian di kontekstualisasikan sesuai nilai-nilai lokal di alam nusantara. Karenanya, tatkala Soekarno berbicara tentang demokrasi. Tegas ia mengatakan bahwa Indonesia tak menganut demokrasi gaya barat.
Sangat berlebihan bila kemudian segala distingsi itu di negasi mengatasnamakan Pancasila. Sampai sekarang, nampaknya belum ada suatu penjelasan dari badan-badan otoritatif seperti BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) tentang siapakah rejim penguasa (orde lama, orde baru, dan orde reformasi) paling Pancasilais? Karena dalam perkembangan, pancasila telah mengalami pergeseran nilai.
Ketika presiden Soekarno secara lantang menentang investasi asing. Apakah kesimpulannya rezim penguasa setelahnya itu tidak nasionalis lantaran menyediakan karpet merah bagi investasi? Atau, saat rejim orde baru dan orde reformasi mengatakan Marxisme-Leninisme dan Komunisme itu bertentangan terhadap Pancasila. Apakah kita akan berkesimpulan kalau presiden Soekarno tak paham Pancasila lantaran ingin menyatukan Nasionalisme, Islamisme, Komunisme?
Jika cara kita bernegara hanya mengungkai perbedaan. Maka selamanya kita akan saling menyalahkan. Tapi kalau cara bernegara kita adalah memeriksa kesamaan di antara perbedaan itu. Sudah pasti kita tidak terjebak pada hyper-nasionalis. Bagaikan seorang pilot memandang Indonesia dari atas yang terlihat dari dismilaritas di daratan adalah satu kesatuan ekosistem.