Sabtu, April 27, 2024

Bola Panas Gerakan Pemberantasan Korupsi

Dadan Rizwan
Dadan Rizwan
Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Ketua Umum Forum Intlektual Muda Nahdliyin (FIMNA)

Akhir-ahir ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang menjadi sorotan publik. Ada optimisme, ada pula pesimisme menyelimuti berbagai wacana mengenai masa depan lembaga anti rasuah ini.

Bagaimana tidak, di tengah kerasnya kritik publik terhadap kinerja pansel Capim KPK, kini publik dihebohkan dengan revisi Undang-undang KPK oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Secara konstitusional, DPR untuk mengajukan RUU adalah hal yang diperbolehkan. Hal tersebut sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 20 A ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945, dimana DPR memegang kekuasaan dalam membentuk undang-undang (legislasi) bersama Presiden.

Namun ‘kecurigaan’ publik adanya upaya pelemahan terhadap KPK juga merupakan hal yang wajar, mengingat sejauh ini upaya DPR untuk merevisi UU KPK begitu terlihat tergesa-gesa seakan ada yang disembunyikan.

Kini bola panas tentang polemik Capim KPK dan revisi UU KPK berada di tangan Presiden Jokowi dan DPR. Presiden Jokowi ternyata memilih keputusan tak populer dengan ditandai terbitnya surat presiden (surpres) revisi UU KPK ke DPR. Bersamaan dengan surpres itu juga, Jokowi menyerahkan draf atau Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terkait hal-hal yang perlu direvisi dalam UU KPK oleh DPR.

Perubahan adalah Keniscayaan

Terlepas dari pandangan pro dan kontra, tentu kita harus mengkaji secara objektif dan mendalam atas RUU yang telah diajukan DPR. Apakah revisi UU KPK memang benar-benar diperlukan? Dan apakah jika revisi UU KPK ini dilakukan dapat memperkuat KPK atau justru sebaliknya?

Berdasarkan draf yang disusun Baleg DPR, setidaknya, ada empat hal baru dalam RUU KPK yang menjadi ‘sorotan’ publik. Pertama, kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Kedua, pembentukan Dewan Pengawas KPK. Ketiga, kewenangan KPK mengeluarkan surat penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3). Keempat, kewenangan KPK dalam mengangkat penyelidik, penyidik, dan penuntut umum.

Sebagai anak kandung Reformasi boleh dibilang KPK merupakan satu-satunya lembaga independen yang berada di garis depan dalam memberantas korupsi. Sedari awal KPK memang menjadi “trigger mechanism” dan salah satu pionir dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Namun demikian, KPK bukanlah lembaga sempurna, tanpa celah. Terdapat beberapa celah atau kelemahan kebijakan (policy defects) yang perlu diperkuat agar KPK bisa berjalan lebih maksimal.

Kelemahan mendasar KPK sebagaimana tersirat dalam UU KPK Nomor 30 Tahun 2002, adalah belum adanya lembaga pengawas eksternal untuk mengawasi penggunaan kekuasaan oleh pemimpin KPK.

Pasal 26 ayat 2d UU KPK hanya menentukan pembentukan bidang pengawasan internal. Ironisnya, dalam pasal 26 ayat 8 disebutkan, tugas dan wewenang pengawas internal ini ditetapkan oleh pemimpin KPK.

Hal ini dihawatirkan membenarkan apa yang dikatakan Robert Klitgard bahwa “korupsi adalah kombinasi antara monopoli kekuasaan (monopoly power), didukung kewenangan membuat keputusan (discrection by officials), namum minim pertanggungjawaban (acoountability). Oleh karenanya, fungsi pengawasan penting dalam lembaga negara disebuah negara demokrasi di manapun berada supaya adanya check and balanches (keseimbangan).

Dalam hal ini, keberadaan Dewan Pengawas KPK sebagai metafor dari keberadaan lembaga Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian sebagai lembaga pengawas eksternal dari sebuah lembaga. Tentu keberadaan Badan Pengawas ini perlu diperjelas secara mekanisme kerja dan Standar Operasional Prosedur (SOP), jangan sampai nanti menjadi multitafsir yang justeru dapat melemahkan kinerja KPK.

Kelemahan mendasar KPK lainnya adalah belum adanya sinergitas antar lembaga penegak hukum dengan KPK. Sebagaimana dalam UU KPK no 30 Tahun 2002, KPK didirikan karena “lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi”. Tentu aturan ini perlu dirubah untuk melakukan penguatan.

Terkait dengan keharusan adanya izin melakukan penyadapan, sebenarnya tidak memiliki urgensitas. Karena mengacu pada ketentuan Pasal 12 A ayat (1) huruf a RUU KPK, penyadapan bisa dilakukan jika terdapat 2 (dua) buah alat bukti permulaan yang cukup. Oleh karenanya, ketentuan Pasal 12 A ayat (1) huruf b tidak diperlukan, sepanjang memang telah terdapat 2 (dua) alat bukti yang cukup.

Kebijakan akselerasi pemberantasan korupsi adalah keniscayaan, karena negara harus segera mewujudkan kesejahteraan rakyat dan melakukan konvergensi antara daulat rakyat dan daulat hukum secara bersamaan untuk merealisasi terwujudnya negara hukum yang demokratis. Oleh karenanya penguatan terhadap peroses pemberantasan korupsi harus dilakukan.

Sinergi Memberantas Korupsi

Pada konteks seperti itu, ada tiga hal penting yang bisa dilakukan untuk akselerasi pemberantasan korupsi. Yaitu dengan konsep Triple Helix (pemerintah, akademisi dan masyarakat). Pertama, peran masyarakat sebagai ‘social power’ atau kontrol sosial. Masyarakat harus mulai berpikir terbuka (open minded) terhadap perubahan.

Memang upaya pemberantasan korupsi bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi juga harus diyakini dan dihidupkan optimisme bahwa ada cukup banyak cara dan strategi untuk melakukan pemberantasan korupsi. Sikap stereotif yang berlebih justru akan menimbulkan sikap saling curiga yang dapat membawa kita pada lingkaran konflik yang merugikan.

Kedua, para akademisi (pakar) memiliki posisi ‘knowledge power’ atau kekuatan pengetahuan dalam menghadapi issu kebijakan. Kalangan akademisi ini bisa memberikan sumbangsing gagasan dengan kajian, diskursus, ataupun riset (penelitian) dalam rangka mencari solusi efektif untuk pencegahan korupsi di Indonesia yang selalu terus berkembang. Hasil dari kajian dan riset ini bisa dipublikasikan dalam bentuk jurnal ilmiah, naskah akademik, modul ataupun buku yang nantinya bisa dibaca oleh masyarakat dan pemerintah sebagai referensi.

Ketiga, pemerintah (eksekutif dan legislatif) termasuk KPK sebagai lembaga ad hoc memiliki ‘political power’ (kekuatan politik) dalam menyelesaikan masalah korupsi. Pemberantasan harus diletakkan secara paralel dengan kebijakan pencegahan dan penindakan. Upaya pemberantasan korupsi tersebut harus dilakukan dengan strategi yang lebih sistemik dan pendekatan yang konsolidatif mengintegrasikan semua sumber daya dan modal sosial yang ada secara paripurna.

Untuk itu, koordinasi antar lembaga penegakan hukum seperti KPK, kepolisian, dan kejaksaan serta lembaga terkait lainnya harus dikuatkan dengan program yang bersifat bridging system and trust building. Pemerintah juga harus senantiasa menghargai dan melibatkan peran akademisi dan masyarakat dalam setiap proses pengambilan kebijakan. Karena bagaimanapun pemerintah adalah mandataris rakyat.

Dengan demikian, perbedaan pandangan terhadap sebuah isu kebijakan merupakan sebuah hal yang wajar (sunatullah). Namun, alangkah elegan dan bijak dalam menghadapi gegap gempitanya pro-kontra terhadap RUU KPK ini semunya kembali kepada aturan dasar dan mekanisme pembentukan perundang-undangan. Bagi penulis, perbaikan UU untuk penguatan terhadap kinerja KPK merupakan sebuah keniscayaan.

Dadan Rizwan
Dadan Rizwan
Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Ketua Umum Forum Intlektual Muda Nahdliyin (FIMNA)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.