Sabtu, April 20, 2024

Masyarakat Adat Sebagai Penyandang Hak

Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah
Advokat dan Peneliti Hukum I Tertarik menggunakan pendekatan multidisplin & interdisplin (Socio-Legal) untuk telaah hukum.

Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menggunakan istilah kesatuan masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional untuk menunjuk entitas masyarakat adat. UUD 1945 tak menjelaskan dua istilah tersebut sebagai istilah yang sama atau berbeda.

Namun, pada pelbagai pengaturan perundang-undangan yang mengatur soal masyarakat adat, istilah umum yang digunakan adalah masyarakat hukum adat, masyarakat adat dan desa adat.

Teks konstitusi

UUD 1945 mengakui keberadaan masyarakat adat sebagai subjek hak, yaitu dalam Pasal 18 b ayat (2), 28 i dan 32 ayat (1) dan (2) UUD 1945. Pasal 18 b ayat (2) menyebutkan; “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.”

Pengakuan keberadaan masyarakat adat tersebut mempunyai persyaratan pemberlakuan (conditionalities), yaitu; pertama, masyarakat adat bisa dibuktikan masih hidup (actual existing); kedua, keberadaan masyarakat adat berkesesuian dengan perkembangan masyarakat; dan ketiga, masyarakat adat berkesesuaian dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selanjutnya, Pasal 28 i dan Pasal 32 ayat (1) dan (2) UUD 1945 menjelaskan aspek hak masyarakat adat secara spesifik. Pasal 28 i menyebutkan bahwa ikatan masyarakat adat dengan tanah dan sumber-sumber alamnya adalah salah satu unsur pembentuk ‘identitas budaya’ masyarakat adat.

Ikatan tersebut kemudian dirumuskan sebagai bagian dari hak asasi manusia, yang secara detil dijelaskan dalam pasal 6 (2) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal tersebut menyebutkan bahwa; “Identitas masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.”

Sedangkan, Pasal 32 ayat (1) dan (2) menyebutkan secara implisit bahwa negara menghormati nilai-nilai budaya masyarakat dan bahasa daerah sebagai bagian dari hak konstitusional.

Secara umum, konstitusi kita menempatkan hak masyarakat adat bersifat khusus karena terkait dengan identitas dan kebutuhan khusus masyarakat adat sebagai suatu kelompok sosial organik berbasis tradisi.

Istilah yang digunakan dalam konstitusi untuk mengidentifikasi hak masyarakat adat ini disebut sebagai hak tradisional atau hak asal usul. Secara konsep, hak tradisional ini adalah “hak bawaan” yang melekat dan tak terpisahkan dengan identitas masyarakat adat itu sendiri.

Penafsiran Konstitusionalitas

Masyarakat adat sebagai subjek penyandang hak menjadi isu sentral dalam pelaksanaan perlindungan hak konstitusional masyarakat adat. Wiratraman (2014) menjelaskan bahwa rumusan masyarakat adat sebagai subjek hak dapat dilihat dalam dua hal.

Pertama, Perlindungan hak masyarakat adat tak bersifat individual, melainkan pengakuan atas suatu “kolektiva.” Sifat kolektiva ini berimplikasi pada bentuk perlindungan hukum yang bersifat kolektif juga, sehingga perlindungan hukum secara individual masyarakat adat masuk dalam kategori perlindungan warga Negara.

Kedua, Pengakuan terhadap hak-hak yang bersifat “kolektiva” tersebut berkaitan dengan unit sosial ‘kesatuan masyarakat hukum adat.’ dan Hak-hak tradisional dari unit sosial tersebut. Unit sosial ini bisa diidentifikasi dengan nama yang beragam, seperti Nagari, Negeri, Marga dan sebagainya.

Putusan Mahkamah Konstitusi N0.35/PUU-X/2012 (Putusan MK 35) mempertegas posisi masyarakat adat sebagai subjek hak. Putusan MK 35 merumuskan dua hal dalam konteks posisi masyarakat adat sebagai subjek hak, yaitu; Pertama, Mahkamah Konstitusi menyebutkan masyarakat adat sebagai subjek hukum penyandang hak dan pemangku kewajiban yang mempunyai kedudukan hukum sama seperti subjek hukum lainnya; seperti individu dan badan hukum.

Kedua, Masyarakat adat berkembang secara evolutif. Mahkamah Konstitusi nampaknya merujuk pada pendapat ilmuwan sosiologi klasik; Emile Durkheim tentang evolusi perkembangan masyarakat, yaitu perkembangan masyarakat dari masyarakat mekanis menjadi organis.

Dalam konteks ini, masyarakat adat adalah tahapan awal (masyarakat mekanis) menuju masyarakat modern (masyarakat organis), sehingga bisa ‘berubah’ dan bahkan ‘punah’ dalam bentuk baru, yang disebut dengan ‘masyarakat modern.

Selanjutnya, untuk memastikan siapa sebenarnya masyarakat hukum adat tersebut, Mahkamah Konstitusi memberikan indikator keberadaan masyarakat adat yang hidup secara de facto (actual existence), baik bersifat teritorial, geneaologis, maupun fungsional.

Mahkamah Konstitusi menyebutkan, setidaknya secara fakultatif, masyarakat adat mengandung unsur-unsur yang dapat dilihat keberadaan eksistensinya, yaitu pertama, adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in group feeling), kedua, adanya pranata pemerintahan adat, Ketiga, adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, Keempat, adanya perangkat norma hukum adat dan, Kelima, terdapat unsur adanya wilayah tertentu.

Demikianlah, konstitusi kita telah menjelaskan dengan tegas kedudukan masyarakat adat sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban, baik itu yang telah disebutkan dalam teks konstitusi maupun penafsiran konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi.

Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah
Advokat dan Peneliti Hukum I Tertarik menggunakan pendekatan multidisplin & interdisplin (Socio-Legal) untuk telaah hukum.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.