Jumat, Maret 29, 2024

Maaf Bong, Pret, Kami Tak Sudi Terperangkap Cintamu!

Eriton
Eriton
Penulis dan Mahasiswa Magister Sosiologi UMM, Malang-Aceh

Pasca Pemilu 17 April lalu seluruh tokoh bangsa meminta Prabowo dan Jokowi untuk segera rekonsiliasi. Mengingat perseteruan politik cukup menyita perhatian seluruh komponen anak bangsa. Yang lebih memprihatinkan polarisasi grass root yang awam terhadap politik.

Untuk menghilangkan anasir-anasir yang mengganggu dan memulihkan kerukunan bangsa usai perhelatan akbar demokrasi tentu bukan hal gampang. Tanpa dilandasi kesungguhan dan kecintaan menjaga Indonesia.

Bagi Jokowi dan Prabowo betapa cinta terhadap tanah air Indonesia tak bisa ditawar-tawar. Ia harus diletakkan di tempat yang agung. Di atas segala kepentingan kelompok manapun. Itulah yang ingin disampaikan kepada kita semua di Stasiun MRT Lebak Bulus, pada 13 Juli 2019 kemarin.

Cinta obsesif dan altruisitik

Menyinggung cinta, maka kita menyentuh sesuatu yang mendasar bagi kehidupan manusia. Banyak nukilan dan syair-syair para pujangga dipakai untuk menguatkan hubungan yang dilandasi cinta.

Konon lagi bagi generasi muda yang sedang dimabuk cinta. Karena cinta memang menyentuh eksistensi manusia itu sendiri. Dalam perspketif filsafat cinta, pertemuan Jokowi dan Probowo ternyata tak memuaskan semua pihak terutama cebong dan kampret militan. Cebong dan kampret garis keras yang menganut paham cinta obsesif.

Cinta obsesif (obsessive love), merupakan cinta yang memaksakan. Dan ia dengan gampang memasuki jiwa yang merasa diri harus menang, kehendak menguasai sesuatu/seseorang.

Cinta dijadikan sebagai alat untuk memenangkan diri. Walhasil kecemburuan, obsesi yang memuncak, emosi-emosi yang tak stabil (Wesfix, 2014). Sedang Dorothy Tennov (1977), ia menyebut orang istilah limerence bagi orang-orang yang membujuk orang lain membuat cinta menjadi kegilaan sementara.

Secara obsesif, mereka memikirkan objek sasaran gairahnya dan pada akhirnya obsesi tersebut membuat mereka menderita dan tak berdaya dikarenakan objek gairahnya itu.

Pandangan lain soal ini, juga datang dari Psikoanalis, Erich Fromm dalam Art of Loving. Ia menyinngungnya sebagai prilaku yang takut kehilangan, sehingga ia terus-menerus mencari cara agar dicintai. Ini nama cinta palsu (pseudo love).

Lynn Wilcox (2012) memaknainya sebagai cinta pemujaan (idolatrous love). Ia cenderung kecewa berat manakala dikatahui sang idola memiliki kejelakan. Konon lagi telah nyata membuat ia patah hati.

Atas dasar cinta inilah yang mendorong cebong dan kampret mencintai idolanya, Jokowi dan Prabowo. Dan ternyata idolanya diam-diam telah mengabaikan cintanya yang sedari awal dicintainya mati-matian sampai gelap mata.

Bahkan didasari itu, pertemuan idolanya tak diharapkan oleh mereka sama sekali. Bagi cebong militan berharap Jokowi tidak tertarik menemui Prabowo karena telah menghajarnya hab-s-habis dan harus dipermalukan.

Mengingat poin kemenangan jagoannya 60 persen lebih. Secara kalkulasi politik tidak perlu mencari kawan. Jadi ini saatnya Prabowo dan kampret harus meradang.

Sebaliknya, kampret menganggap bahwa jagoannya tidak butuh bertemu Jokowi. Dalihnya, simple saja selain sebagai rivalnya juga disinyalir menang secara tidak patut (TSM). Mereka pun berharap pertemuan itu tidak terjadi.

Selama lima tahun ke depan atau mungkin bisa lebih lama menjadikan Jokowi dan cebong sebagai common enemy.  Ia pantas merasakan kebencian itu karena dianggap telah melakukan pengkhiatan.

Sayangnya taksiran itu tersisihkan sepenuhnya dengan pertemuan Jokowi dan Prabowo. Anak bangsa yang bertarung di pilpres tersebut bertemu untuk pertama kali. Kendati sebagai pertemuan awal namun telah memancarkan cinta dan keakraban.

Durasi yang lumayan lama dan tempat pertemuan yang terbuka sepertinya memang dirancang untuk membuat cebong dan kampret militan patah hati. Kemesraan itu dipertontokan di ruang publik jauh dari kata rekonsiliasi politik yang diasosiasikan elitis dan tertutup.

Rekonsiliasi pada akhirnya dijawab dengan cinta altriustik (altriustic love). Dimana pemiliknya memilih nilai-nilai universal sebagai pijakan. Menanggalkan egoisme dan akan terpuaskan ketika melakukan sesuatu yang memiliki manfaat bagi orang lain.

Cinta ini bagi Sorokin dan Hanson (1953) merupakan pilihan menuju ideal-ideal yang diinginkan. Dan kemudian kekuatan cinta tersebut mampu meluluhkan dorongan negatif yang kuat, termasuk cinta yang salah.

Pilihan Jokowi dan Prabowo mencintai Indonesia persis hal itu yang paling tidak diharapkan cebong dan kampret. Karena akan kontra produktif dengan cintanya selama ini.

Secara tegas mereka bahkan mengultimatum. Jokowi misalnya, “Tidak ada lagi yang namanya cebong, tidak ada lagi yang namanya kampret, yang ada adalah Garuda, Garuda Indonesia”.

Yang kemudian ditimpali Prabowo. “Jadi saudara-saudara, saya sangat setuju. Sudahlah, tidak ada cebong-cebong, tidak ada kampret-kampret, semuanya Merah Putih”, Prabowo. seperti dilansir kompas.com. pada 13/7/2019. .

Mereka mengorbankan semua kepentingan pribadinya demi menjaga Indonesia. Caranya dengan merawat keragaman dan keutuhan yang selama ini diteror. Itulah modal pangkal saling menguatkan cinta itu.

Pengorbanan tersebut menjadi abadi dan terkenang secara substantif. Layaknya kisah cinta Qais dan Laila, Rama dan Shinta, serta Romeo dan Juliet.

Daripada masing-masing bertahan pada cinta obsesif, cinta yang asosiasinya penuh amarah, cemburu, protektif, rayuan gombal, ambisius, kepalsuan dan egois itu.

Cinta obsesif itu pula mendorong pemilik menjadi agresif. Sehingga catatan-catatan perjalanan selama beberapa bulan pemilu akan menjadi kenangan pilu. Belum lagi dengan rencana-rencana awal tentang masa depan yang dicanangkan penuh hasrat menguasai.

Pertemuan itu sekalgius bentuk ketidakpercayaan pada ekspresi-ekspresi manis tanpa makna dan bualan-bualan kosong cebong dan kampret fanatik selama ini.

Bagi mereka apa yang dilakukan Jokowi dan Prabowo sangat menyakitkan sekaligus menyisakan kekecewaan mendalam.

Namun, ingat setelah memilih pergi dengan hati yang terbakar karena kecewa dan terabaikan akan membenci dari jauh. Atau mungkin merencanakan dendam atas nama cinta. Tanggal 13 Juli menjadi pengingtanya.

 Sumber ilustrasi kumparan.com

Eriton
Eriton
Penulis dan Mahasiswa Magister Sosiologi UMM, Malang-Aceh
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.