Istilah ‘lesser evil’ menjamur dalam skema politik Indonesia menjelang Pilpres April 2019 lalu. Ia berarti sesuatu yang tidak terlalu buruk di antara pilihan terburuk. Pada Pilpres lalu, masyarakat Indonesia memang dihadapkan pada pilihan yang tak mudah. Mereka harus menimbang lebih dalam mana yang keburukannya paling minimal bagi negeri di hari mendatang.
Klaim ‘lesser evil’ ini disematkan kepada Jokowi, tentu saja, oleh simpatisan mantan wali kota Solo tersebut, terutama, lewat media sosial. Terdapat dua penyebab istilah itu muncul di masyarakat.
Penyebab pertama adalah karena Jokowi memilih Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden padahal Ketua Umum MUI tersebut memiliki track record buruk dalam isu HAM dan toleransi antar golongan di masyarakat. Selain pernah mengeluarkan fatwa anti Ahmadiyah dan kriminalisasi LGBT, Amin juga merupakan orang yang meneken pernyataan sikap MUI yang menyatakan bahwa Ahok menista agama Islam pada 2016 silam.
Penyebab kedua merupakan konsekuensi dari penyebab pertama di atas. Karena Amin dipilih menjadi cawapres, banyak pendukung petahana yang kecewa dan enggan memberikan suaranya bagi Jokowi lagi tapi juga tak sudi memilih lawannya sehingga akhirnya golput. Untuk menangkal golput, pendukung Jokowi mengkampanyekan sebuah ide bahwa pemimpin yang dicitrakan sederhana dan merakyat itu adalah ‘lesser evil’di antara dua kontestan.
Yang Melandasi Definisi ‘Evil’ di Indonesia
Istilah ‘lesser evil’ memiliki makna spesifik di suatu masyarakat atau negara. Di Amerika Serikat pada pemilu 2016 lalu, misalnya, istilah evil disematkan kepada kedua kandidat. Trump dianggap jahat karena dia anti imigran dan tidak memercayai isu pemanasan global. Di sisi lain, Clinton dianggap jahat karena dia dianggap penjahat perang (war criminal) di Timur Tengah. Walau demikian, Clinton berada di posisi ‘lesser evil’.
Suatu negara mempunyai sisi buruk masing-masing yang bisa menjadi landasan definisi ‘lesser evil’ di dalam tubuh masyarakatnya sendiri. Di Indonesia, istilah tersebut tampaknya mengakar kepada dua hal: unsur-unsur berbau Orba dan radikalisasi agama. Di era reformasi ini, tentu masyarakat bisa menilai bahwa masa sebelum ini, yakni Orba, adalah masa yang lebih ‘gelap’ dibanding sekarang.
Orba bernilai buruk di mata masyarakat reformasi yang sekarang ini sedang menikmati kebebasan bersuara. Rezim Soeharto dianggap buruk dari segi HAM terkait peristiwa 1965 dan penculikan aktivis 1998, berlakunya Dwi Fungsi ABRI, hingga kerap terjadi praktik KKN di kalangan elit.
Poin kedua, yakni radikalisasi agama, juga merupakan landasan dasar untuk definisi evil di Indonesia. Radikalisme agama, beserta turunannya seperti terorisme dan ideologi khilafah, dianggap menjadi tantangan serius bagi keutuhan bangsa dan ideologi Pancasila.
Terorisme, terutama, sudah meresahkan masyarakat karena menyangkut nyawa manusia seperti yang terjadi di Surabaya pada Mei 2018 silam. Peristiwa besar lainnya yang dianggap menjadi simbol radikalisme agama adalah saat berlangsungnya demonstrasi 212 dan sekaligus dijebloskannya Ahok ke hotel prodeo.
Siapa yang Orba dan Siapa yang Radikal
Lalu, dari keduanya, siapa yang Orba dan siapa yang radikal? Dua-duanya. Dilihat dari unsur-unsur Orba yang mungkin menjadi dasar ideologi atau sekadar kepribadian tiap kandidat, baik Jokowi maupun Prabowo memiliki keduanya. Yang disebut kedua sudah sangat lekat dengan label Orba yang secara umum bernilai negatif dalam masyarakat kita setidaknya sejak Pemilu 2014 lalu. Dia disangkakan sebagai aktor utama pemaksaan penghilangan beberapa aktivis di tahun 1998.
Di kubu Jokowi, terdapat Wiranto yang menjabat sebagai Menkopolhukam. Di masa Soeharto, dia menjabat sebagai Panglima ABRI. Dalam kehidupan perpolitikan Indonesia, Wiranto acap kali diisukan terlibat dalam beberapa permasalahan HAM berat di rezim Orde Baru, di antaranya Tragedi Trisakti dan peristiwa Semanggi I dan II.
Tak hanya itu, Wiranto juga termasuk salah satu nama yang harus bertanggung jawab atas praktik pelanggaran HAM menurut laporan Komnas HAM dan disebut-sebut dalam laporan khusus PBB di bawah mandat Serious Crimes Unit.
Dari sisi radikalisme agama, dua-duanya pun memilikinya. Jokowi justru yang paling kentara dalam hal ini karena ia menggandeng Ma’ruf Amin, yang oleh banyak pihak dianggap radikal, intoleran, dan tak mengindahkan HAM kaum minoritas, sebagai pendampingnya.
Padahal, sejak kemunculannya ke gelanggang politik Indonesia sejak paruh pertama dekade 2010-an, Jokowi jauh dari kesan radikal dan justru lebih moderat; bahkan justru ia dianggap memusuhi dan ingin memberantas kaum-kaum intoleran dan radikal tersebut.
Sementara di kubu Prabowo, para radikalis dianggap sebagai pihak-pihak yang bekerja di belakang layar. Dari pihak partai, PKS selalu menjadi sorotan sebagai partai koalisi yang membawa panji Islam. Lembaga PA 212 juga menyatakan dukungannya kepada Prabowo. Tak hanya itu, bahkan Prabowo pun pernah dengan tegas menyatakan bahwa dirinya bersahabat dekat dengan pemimpin FPI, Rizieq Shihab.
Klaim “Lesser Evil” setelah Pilpres 2019
Pilpres selesai dan Jokowi-Ma’ruf adalah pemenangnya. Bisa dibilang “lesser evil” memenangkan kontes politik ini. Tapi, apakah Jokowi benar-benar “lesser evil” dan masyarakat kita baik-baik saja saat ini?
Pada kenyataannya, unsur-unsur Orba justru muncul kembali. Yang paling mencengangkan adalah dihidupkannya kembali Dwifungsi TNI. Presiden meneken Perpres Nomor 37 tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional TNI belum lama ini. Tak hanya itu, pemerintah melalui Kemendikbud juga menggandeng TNI untuk bekerja sama dalam ranah pendidikan, yakni dalam program pengenalan lingkungan sekolah.
Di bidang literasi, pemerintah juga bertekad memusnahkan buku-buku yang berhaluan kiri. Kebebasan berekspresi pun dibungkam karena di pertengahan Juli lalu, aparat negara, Polri, menangkap pemilik akun yang mengkritik Jokowi terkait krisis agraria. Semua ini kental dengan elemen Orba.
“Tapi, Jokowi tetap bersih dari unsur-unsur Orba!” teriak pendukung Jokowi kepada tulisan ini. Dari segi personal memang betul; tapi dari segi politik tidak. Kehidupan politik dan demokrasi suatu masyarakat tidak bekerja seperti itu. Apabila kita memandang seorang pemimpin dari segi personalitasnya tanpa menimbang kebijakan-kebijakannya, maka kita sedang terjerembab dalam jerat politik identitas.
Kita hanya peduli pada identitas Jokowi yang ‘merakyat’ dan ‘sederhana’ dan Prabowo yang ‘tegas’ dan ‘garang’. Kita hanya memperhatikan figur dan ketokohannya. Sementara kebijakan-kebijakannya banyak terabaikan dan tidak diperhatikan.
Inilah, menurut hemat saya, yang menjadi sebuah kesalahan inheren di dalam tubuh partisipan praktik demokrasi saat ini. Kita melihat pemimpin karena sosoknya, identitasnya yang ditunjukkan lewat media, bukan karena kebijakan politiknya. Kita tidak bisa tetap bersorak bangga dengan identitas ‘merakyat’ dan ‘sederhana’ Jokowi apabila kebijakan-kebijakannya berbau Orba dan memberatkan orang yang tak berdaya. Itu terlalu naif.