Jumat, Maret 29, 2024

Kepulangan Mbah Moen, Ihwal yang Tak Dibicarakan

Zacky Aulia El Syahiq
Zacky Aulia El Syahiq
Penikmat film, Pemuja Seno Gumira Ajidarma

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, pada Selasa, 6 Agustus 2019, dinding linimasa media sosial warga Indonesia tampak kelabu dan berselimut duka. Penyebabnya tak lain karena kabar meninggalnya Mbah Kiai Maimun Zubair saat sedang melangsungkan prosesi ibadah haji di Tanah Suci.

Sebelum membicarakan sosok Mbah Moen lebih lanjut, saya coba jelaskan kenapa saya memilih istilah “kepulangan” sebagai judul di atas.

Tanpa bermaksud untuk bersikap chauvinis, saya sepakat bahwa salah satu keunggulan sekaligus kerumitan Bahasa Jawa dibanding bahasa lain di dunia adalah adanya sistem unggah-ungguh atau tingkatan berbahasa. Pada dasarnya, Bahasa Jawa dibagi menjadi tiga tingkatan bahasa yaitu ngoko (kasar), krama madya (biasa) dan krama inggil (halus).

Dalam tingkatan bahasa ini, peruntukan kegunaannya berbeda beda tergantung dengan lawan yang diajak bicara atau subyek yang sedang diceritakan. Dalam percakapan sehari hari, ngoko digunakan untuk berbicara dengan teman sebaya atau yang lebih muda, krama madya digunakan untuk berbicara dengan orang yang cukup resmi atau lebih tua, sedangkan krama inggil digunakan untuk berbicara dengan orang yang dihormati atau dituakan.

Salah satu keunikan dalam konstelasi khazanah bahasa Jawa ini adalah bagaimana manusia Jawa memandang kematian. Kata yang merujuk pada proses lepasnya nyawa dari jasad ini memiliki bentuk dan makna gramatikal yang sama sekali berbeda antara satu sama lain.

Kata “mati” merupakan bahasa ngoko yang biasanya ditujukan kepada binatang, begundal atau orang biasa yang tidak memiliki posisi sosial yang cukup istimewa di mata masyarakat. Bahasa krama madya nya adalah “pejah”, sedangkan bahasa kromo inggil nya adalah “seda”.

Nah menariknya, ketika kita bertemu dengan para sesepuh yang sangat menjaga konsep unggah ungguh ini, kata “seda” dianggap masih cukup kasar. Bagi beberapa orang tertentu, sistem tingkatan berbahasa dari kata “mati” tidak bisa secara literal hanya merujuk pada pedoman bahasa Jawa yang telah disepakati, dibukukan, dan disebarkan sebagai mata pelajaran muatan lokal di sekolah sekolah.

Istilah-istilah itu tidak sekedar dipahami sebagai kata kerja, tapi lebih pada konteks pemaknaan filosofis dan spiritual. Kata yang lebih luhur dari “seda” adalah “tindak” yang bisa diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “pergi”. “Tindak” adalah bentuk unggah ungguh paling halus dari kata “lungo” dan “kesah”. Sedangkan puncak penghormatan manusia Jawa pada orang yang meninggal adalah dengan memberikan istilah “kondur”, yang artinya “pulang”. “Kondur” merupakan tingkatan bahasa krama inggil dari “balik” dan “wangsul”.

Istilah “tindak” atau “pergi” adalah gambaran perwakilan ego duniawi kita, dari kacamata orang yang kehilangan. Sebagai pihak yang ditinggalkan, justru kitalah yang merasakan drama kesedihan dan air mata, yang terkadang masih perlu diyakinkan bahwa “semua akan baik baik saja”.

Sementara istilah “kondur” atau “pulang” menegasikan ego duniawi itu dan mensyaratkan keikhlasan bahwa kehidupan dunia hanya sementara. “Kondur” adalah ungkapan paripurna untuk menyebut perjalanan menuju kehidupan yang lebih kekal di alam sana.

Kembali lagi ke Mbah Kiai Maimun Zubair, beliau adalah sosok kharismatik yang dihormati baik secara keilmuan, kesalehan maupun ketokohan. Beliau merupakan salah satu ulama yang tidak hanya diam dan pasif di balik menara gading dinding pesantren tapi juga aktif turun di kegiatan sosial masyarakat. Bahkan Hingga ke tingkat persoalan yang paling pragmatis sekalipun.

Kita tentu masih ingat bagaimana figur Mbah Moen menjadi rebutan bagi masing masing Paslon pada saat kontestasi Pilpres 2014 dan 2019. Semua pihak berlomba lomba untuk mengajak Mbah Moen untuk masuk ke dalam gerbong politiknya.

Dengan harapan, dukungan massa dari pengikutnya akan mengalir kepada pihak yang berkepentingan. Perlu saya garis bawahi bahwa saya tidak sedang berusaha menjadi kurang ajar untuk kembali mengaitkan Mbah Moen pada urusan duniawi, apalagi soal polarisasi drama perebutan kekuasaan. Sama sekali tidak.

Saya bahkan menyayangkan–kalau tidak bisa dibilang mengecam–pihak manapun yang masih saja mendompleng kepulangan Mbah Moen demi eksistensi  dan kepentingan pribadi maupun golongan politiknya.

Yang perlu dicatat adalah, semasa beliau masih hidup, di manapun posisi pijakan Mbah Moen, beliau senantiasa memberikan keteduhan, menebarkan kedamaian bagi semua dan tak putus putus memanjatkan doa untuk kebaikan kita bersama.

Dengan maqom yang sedemikian tinggi dan penting, berita kepulangan Mbah Moen adalah duka cita besar bagi Bangsa ini. Cerita yang paling menonjol pada momen awal kabar tersebut adalah soal kesaksian bahwa Mbah Kiai Maimun pernah dawuh, minta didoakan agar beliau meninggal pada hari Selasa karena biasanya orang ahli ilmu itu meninggalnya hari Selasa. Beliau juga minta didoakan meninggal di Makkah pada saat melaksanakan ibadah haji. Sontak saja kita semua berseru “Masya Allah, diijabah oleh Allah semuanya.

Hati siapa yang tidak tergetar saat mengetahui bahwa di akhir hayatnya Mbah Moen mendapatkan semua dari apa apa yang diharapkannya. Beliau berpulang di hari yang baik, sedang melakukan aktifitas ibadah terbaik sebagai penyempurna rukun agama Islam dan berada di tempat yang paling suci di muka bumi.

Kisah ini mengalir deras di dinding linimasa. Dibagikan antara satu sama lain. Bergulir dari satu platform media sosial satu ke platform lainnya dan menjadi konten dari berbagai macam portal berita.

Bagaimana tidak, dalam hati masing masing dari kita tentu sepakat bahwa tidak semua orang bisa mendapatkan karomah seperti apa yang didapatkan oleh Mbah Moen. Sampai terkadang kita lupa dan abai, kenapa dan apa yang dilakukan oleh Mbah Moen semasa hidup hingga beliau bisa mendapatkan privilege yang sedemikian istimewa.

Saya sendiri bukanlah santri yang pernah menimba ilmu secara langsung dari beliau. Tapi kisah dan petuah beliau berulangkali saya dengar sebagai getok tular yang diceritakan oleh para guru saya semasa tinggal di Pesantren Al Muayyad, Solo dan Pondok Krapyak, Jogjakarta.

Mbah Moen memang telah pergi meninggalkan kita, untuk berpulang pada Sang Pencipta Yang Maha Agung. Tapi sebagai guru bagi banyak orang, warisan nasehat, ajaran dan gagasan beliau akan tetap abadi. Dan sebagai puncak penghormatan kita pada sosok Mbah Moen, mari kita berhenti bicara soal proses berpulangnya beliau. Dan marilah kita bicarakan soal apa kisah dan teladan semasa beliau masih hidup.

Lahul Fatehah…

Zacky Aulia El Syahiq
Zacky Aulia El Syahiq
Penikmat film, Pemuja Seno Gumira Ajidarma
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.