Gejolak demonstrasi di Hong Kong tahun ini dimulai ketika seorang pemuda Hong Kong yang melakukan pembunuhan di Taiwan tidak dapat diekstradisi untuk dihukum di mana ia melakukan kejahatan.
Hong Kong dan Taiwan tidak mempunyai perjanjian ekstradisi para kriminal. Efek yang muncul panjang sekali. Hong Kong kini dirundung demo berkepanjangan. Apabila bill ekstradisi ke Taiwan disetujui, maka itu akan sepaket dengan perjanjian ekstradisi ke dataran China. Ini bisa mengakibatkan pemerintah komunis China bisa mengekstradisi para oposan politik Hongkong untuk diadili di Beijing.
Semakin lama semakin terkuak bahwa demo yang dilakukan berminggu-minggu ini sebenarnya mengincar kemerdekaan Hong Kong. Satu pertanyaan penting dari semua ini, sejauh mana masyarakat Hongkong percaya pada pemerintahan komunis China di masa depan?
Chief Eksekutif Hong Kong yang disinyalir adalah kaki tangan pemerintah komunis China diminta turun. Dia dianggap tidak becus untuk melobi aturan ekstradisi yang bisa menguntungkan Hongkong, karena diduga ada kepentingan pemerintah komunis di belakang lobi-lobi ekstradisinya.
Semenjak ditetapkan sebagai satu negara dua system, Hongkong diberikan high degree of autonomy untuk mengatur kehidupannya. Perjanjian itu mengakibatkan Hongkong mempunyai hak untuk mengadakan pemilu, melakukan kegiatan press, hingga keterbukaan informasi. Semua itu membuat Hongkong berbeda dengan masyarakat China daratan yang mengalami represi penguasa komunis Beijing.
Hongkong diperkirakan akan berada dalam kekuasaan China penuh pada tahun 2047. Tetapi, sayangnya China tidak sabar menunggu hingga tahun itu datang. Mereka menggiring Hongkong ke dalam tindakan represif terlebih dahulu sebelum waktunya tiba. Semua perlakuan pemerintah komunis China terhadap Hongkong sudah menyiratkan bahwa demokrasi di Hongkong akan mati suatu saat.
Akhir dari demokrasi
Menurut Steven dan Daniel dalam bukunya How Democracies die (2018) ada empat ciri yang merupakan awal kematian demokrasi di sebuah negara. Pertama, ada aturan demokrasi yang diganti untuk menolak permainan demokrasi yang lebih kredibel. Kedua, menolak eksistensi politikus oposisi.
Ketiga, melakukan pembiaran terhadap kekerasan. Keempat, menyembunyikan penerbitan atau informasi yang menjadi hak masyarakat. Kita bisa melihat keempatnya mulai terjadi satu per satu di Hongkong semenjak beberapa tahun yang lalu.
Penggantian aturan demokrasi yang kredibel dilakukan pemerintah komunis China dengan ikut menentukan pemimpin Hongkong. Pada tahun 2014 terjadi demo besar yang menolak campur tangan China pada pemilu di Hongkong. China diduga menentukan siapa saja calon leglistatif yang menjadi mewakili Hongkong mendatang berdasarkan kepentingannya.
Sebagai contoh dalam parlemen untuk bidang perdagangan/bisnis yang sangat terkait dengan kepentingan China, mereka menaruh orang-orang yang pro China untuk mewakili Hongkong. Leglistatif di Hongkong selalu dipenuhi lebih dari 50% orang yang pro China, padahal mayoritas penduduk Hongkong pro demokrasi. Selain itu, Chief Executive Hongkong harus disetujui oleh National People’s Congress Standing Committee di Beijing.
Tidak sampai di sana, sembilan aktifis pro-demokrasi ditangkap di Hongkong pada tahun 2017. Tiga di antaranya cukup terkenal di Hongkong. Professor sosiologi Chan Kin-Man, Ben Tai, dan pendeta Chu Yui-Ming. Mereka berunjuk rasa untuk menuntut pemerintah mengadakan pemilu tahun 2014. Mereka kini didakwa dengan alasan mengganggu ketertiban umum.
Selain itu, seorang penjual buku anti China Lam Wing-kee di dekat perbatasan ditahan pada tahun 2015. Pemilik toko buku Causeway Bay itu dibawa bersama dengan empat pegawai tokonya. Mereka diyakini ditahan terkait dengan pekerjaannya. Para penerbit dari Hongkong memang mulai merasakan tekanan pemerintah China terhadap buku-buku anti pemerintah China.
Sebenarnya, penolakan atas tindakan represif pemerintah China sudah dimulai pada tahun 2003. Masyarakat Hongkong memprotes kebijakan pemerintah China yang akan mengkriminalisasi siapapun yang mengritiknya. Salah satu yang membuat kuatir adalah perjanjian yang sedang dibuat dengan China daratan.
Perjanjian itu dikuatirkan akan memicu pengiriman tawanan politik Hongkong untuk diadili di China. Lolosnya aturan ekstradisi criminal ke China dianggap merupakan satu langkah besar kejatuhan Hongkong nantinya. Hongkong tidak bisa lagi bersuara lantang menentang kebijakan China. Demonstran di Hongkong akan dengan mudah dibawa ke China untuk diadili.
Bibit kebencian terhadap China diindikasikan melalui pemukulan warga China yang baru mendarat di Airport Hongkong. Banyak warga China mulai kuatir untuk datang ke Hongkong. Respon yang diberikan oleh pemerintah China terhadap demo ini pun semakin memicu konflik. Mereka menjejer kekuatan bersenjata lengkap di daerah perbatasan. Hanya tinggal menunggu perintah saja mereka bisa memasuki Hongkong kapanpun.
Taktik ini biasanya disebut dengan Psychological Warfare Tactical. Sebuah rencana yang menggunakan propaganda dan ancaman. Tujuannya untuk mempengaruhi cara berpikir dan perilaku para demonstran. Walau dibawah ancaman, mungkin demonstrasi ini akan menjadi babak baru bagi kehidupan demokrasi di Hongkong masa depan. “Kita tidak percaya pemerintah China,” ujar salah satu demonstran.