Kamis, April 25, 2024

Arah Kabinet Jilid II Joko Widodo?

Mabrur Mudzakki
Mabrur Mudzakki
Santri Alfatah Banjarnegara

Di era perjuangan kemerdekaan hingga berakhirnya orde baru kita nyaris tak pernah mendengar adanya nama-nama bakal calon menteri yang beredar di koran, radio dan televisi apalagi di dunia maya. Bahkan, pada saat itu belum ada fasilitais internet dan media sosial.

Tampaknya ide membangun opini publik tentang seorang calon Menteri mulai terjadi sejak masa Presiden ke 4. Meski memerintah hanya 2 tahun, Gus Dur terkenal getol melakukan perombakan kabinet sejak membentuk kabinet pertamanya dengan “Kabinet Persatuan Nasional”.

Ketika beberapa Menteri mengundurkan diri, sejak saat itulah muncul ide-ide melalui media massa mencalonkan nama-nama unggulan calon menteri pengganti Menteri yang mengundurkan diri. Tujuannya adalah pembentukan citra positif dan mempengaruhi pendapat publik.

Misalnya, pemerintahan masa Presiden Ke-5 membentuk Kabinet Indonesia Bersatu kemudian terjadi perombakan kabinet KIB II. Pada masa itu media internet mulai marak digunakan. Melalui aneka media massa kita telah terbiasa disuguhi informasi nama-nama calon Menteri pengganti Menteri yang hendak diresshufle, mengundurkan diri atau bahkan dibentuk dari awal.

Menentukan posisi menteri di kabinet memang tidak mudah. Mereka harus bersih, berintegritas, dipilih secara cermat dan bisa dikendalikan tentunya oleh presiden selaku atasan.

Jangan sampai, pembantu presiden tersebut justru lebih banyak menjadi petugas partai, lebih patuh dengan ketua umum partainya, atau bahkan menjadi benalu.

Langgam politik kita bukanlah yang menang mengambil semua dan yang kalah dihabisi semua. Wajah politik kita mengikuti kaidah fikih, apa yang tidak bisa diraih semuanya, jangan ditinggalkan semuanya.

Karena itulah, peta politik pra dan pascapemilu tak pernah ajek. Di suatu waktu, ia bisa menjadi lawan, tapi di waktu lain ia menjadi kawan. Maka, negosiasi, lobi, dan bahkan transaksi lumrah terjadi.

Perombakan Keriteria

Sebagai bangsa besar, Indonesia memerlukan fondasi yang kuat agar bisa bersaing dengan negara-negara lain. Selain itu, dalam berita utama Obsession News, Jokowi sendiri sudah menyiapkan dan membeberkan syarat-syarat calon menterinya nanti pada Kabinet Jilid II. Setidaknya ada tiga syarat yang diajukan Jokowi untuk bisa menjadi menteri di era pemerintahannya. Yakni, mampu mengeksekusi program-program kerja pemerintah, punya keahlian managerial, dan orang yang cerdas.

Pada periode pertama sebagai Presiden, Jokowi bahkan melakukan terobosan dengan menempatkan lebih banyak kalangan profesional non-parpol sebagai menteri. Saat pengumuman nama-nama menteri pada 26 Oktober 2014, ia memercayakan 20 menteri dari kalangan profesional dan 14 menteri dari parpol.

Sulit dipungkiri bahwa tema utama yang muncul dalam pembicaraan koalisi di tingkat elite selama ini berkaitan dengan pembentukan kabinet adalah siapa mendapat apa, ketimbang mewujudkan penguatan sistem demi perbaikan kehidupan bangsa dan negara di masa mendatang.

Karena itu, dalam pembentukan kabinet, Presiden Joko Widodo harus belajar dari pengalaman 5 tahun periode pertama. Secara realistis memang tidak mudah mewujudkan agar semua figur Menteri yang terpilih dalam Kabinet jilid II memiliki kesamaan dalam integritas, kompetensi, kemampuan menjadi motor penggerak, serta memiliki kepemimpinan dan kenegarawanan yang tinggi.

Akan tetapi, demi tercapainya dan terwujudnya semua program kerja Presiden Jokowi kedepan, serta agar bisa memberikan karya nyata yang akan dikenang abadi oleh seluruh generasi penerus bangsa, maka paling tidak mayoritas dari keseluruhan Menteri Kabinet Jilid II adalah figur-figur yang kompeten, memiliki integritas tinggi, serta merupakan para negarawan sejati. Agar tercipta lingkaran kebaikan yang mendominasi kinerja pemerintahan dalam semangat untuk perubahan dan kemajuan bangsa dan negara.

Ditambah, kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara dikuasai oleh orang-orang oportunis menyebabkan korupsi merajalela dan sulit dibrantas. Maka, pertimbangan pertama dan utama memilih seorang Menteri adalah integritas dan moralitas.

Penilaiannya tidak cukup dengan surat fakta integritas dan pernyataan moral, tetapi harus melalui penelitian track record yang mendalam.

Dalam negara demokrasi yang menganut sistem presidensial seperti di Indonesia saat ini, kekuasaan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif.

Dalam sistem presidensial atau sering disebut juga dengan sistem kongresional, presiden secara bersamaan menjabat sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dan dalam jabatannya ini mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait untuk duduk dalam kabinet.

Kabinet yang dibentuk dalam sistem presidensial haruslah bersifat kabinet ahli atau sering disebut dengan zaken kabinet. Kabinet yang berisikan orang-orang yang tidak terikat dengan kepentingan politik tertentu dan memang ahli di bidangnya. Keahlian yang memang dibutuhkan untuk mewujudkan visi dan misi presiden sebagai pengemban amanat kontrak sosial dari rakyat.

Pelaksanaan pengangkatan Menteri Kabinet Jilid II yang dilakukan oleh presiden harus senantisa mematuhi syarat dan prosedur pengangkatan sebagaimana telah diatur dalam UU No 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara.

Di sisi lain presiden sebagai pelaksana wewenang untuk mengangkat Menteri juga harus menggunakan logika sistem presidensial dengan menggunakan pendekatan prosefesilitas yang menguatamakan kecakapan kinerja, bukan berdasarkan logika sistem parlementer yang mengangkat Menteri atas dasar koalisi antarpartai politik pendukung presiden dan wakil presiden.

Mabrur Mudzakki
Mabrur Mudzakki
Santri Alfatah Banjarnegara
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.