Kaum sarungan identik dengan komunitas sosial yang religius taat beragama dan acapkali di posisi proletar. Kaum sarungan lebih mementingkan kultural dalam aktivitas sosialnya dan mengesampingkan hal-hal formal, intensitas bersosial mereka terhadap masyarakat yang lain pun cenderung santai, enjoy dan jauh dari kesan sepaneng.
Secara dzhohiriyah style kaum sarungan kelihatan datar-datar saja, seolah-olah tidak terlalu memikirkan perkara dunia dan sekitarnya, akan tetapi di dalam benak diri mereka tetap memiliki jiwa patriotisme yang kuat.
Hal itu terbukti manakala penjajah mengobrak-abrik negara ini, kaum sarungan tak ingin ketinggalan membela negara, bahkan pusat berkumpulnya kaum sarungan yaitu pondok pesantren sering menjadi sasaran utama penjajah, dikarenakan pesantren dianggap sebagai pusat berkumpulnya para pejuang-pejuang pribumi yang melawan penjajah disamping markas militer.
Pesantren seperti Lirboyo yang menjadi sasaran belanda pada 1949, Pesantren API Tegalrejo yang di bumi hanguskan pada 1948, Pesantren Gontor yang juga sempat di porak-porak porandakan penjajah menjadi bukti konkret betapa pesantren menjadi momok menakutkan bagi penjajah.
Puncaknya adalah Fatwa Resolusi Jihad yang dikumandangkan oleh KH Hasyim Asy’ari dan kiai-kiai berpengaruh lainya pada tahun 22 Oktober 1945. Untuk melawan tentara sekutu yang kembali ke Indonesia. Disitu kaum sarungan menjadi garda terdepan sebagai pasukan berani mati yang datang dari berbagai pesantren di Nusantara.
Setelah perjuanganya terhadap negara menuai hasil dan tatanan kenegaraan telah terbentuk, kaum sarungan kembali ke habitat aslinya. Fokus mengaji dibilik-bilik pesantren menjalani hidup dengan enjoy lagi. Walaupun kaum sarungan sempat termarjinalkan kembali diera orde baru, mereka tetap besar hati dan ikhlas mengabdi kepada negara apa bila dibutuhkan.
Yang menarik bagi saya adalah manakala kaum sarungan berkecimpung di dunia pemerintahan, sarung yang biasa mereka pakai terpaksa ditanggalkan terlebih dahulu, dan mengenakan pakaian dinas yang telah ditentukan aturanya.
Mereka pun menyadari akan peraturan tersebut. Mereka menerima pihak-pihak yang keberatan apabila sarung dipakai di lingkungan kerja. Mereka yang keberatan beranggapan bahwa sarung bilamana dipakai di kantor kesanya kurang sopan, tidak etis, dan cenderung tidak menghargai profesi. Kaum sarungan dengan sikap ‘andap asor’ (rendah hati) memahami akan hal tersebut. Mereka tak sedikit pun protes apalagi sampai mebawa label agama.
Berkebalikan dengan topik yang lagi ramai diperbincangkan publik, yaitu atas wacana menteri agama mengenai pelarangan pemakain cadar dan celana cingkrang di instansi pemerintahannya, berbagai reaksi bermunculan, apalagi bagi mereka yang kontra. Menganggap wacana ini membatasi privasi berbusana, apalagi yang ekstrem menganggap pelarangan ini sama saja mengucilkan agama Islam.
Alasan Menag mengenai pelarangan pemakain cadar dan celana cingkrang ini untuk mencegah radikalis dan ektremis menjamur di Aparatur Sipil Negara (ASN), karena keterlanjuran publik mengenai stigma negatif apabila melihat pemakai cadar dan celana cingkrang. Namun penolakan yang baru sekedar wacana ini benar-benar masif.
Mereka tidak menyadari bahwasanya kaum sarungan sebelumnya sudah mengalami hal pelarangan tersebut, toh sarung, cadar, dan celana cingkrang sendiri umum dikenal sebagai simbol beragama, bedanya sarung muncul dari budaya lokal sedangkan cadar dan celana cingkrang timbul dari budaya Timur Tengah.
Pertanyaan yang timbul dari dalam benak hati saya adalah, mengapa pemakai cadar dan celana cingkrang tidak belajar dari kaum sarungan? Toh meskipun terjadi perkhilafan dalam perkara pemakaian cadar, mereka tidak sadar bahwa tradisi yang ada di negeri ini sangat tidak sesuai dengan pemakain cadar.
Karena tradisi di sini yang terkesan ramah agak berkurang kesannya ketika memakai cadar, sarung sendiri yang sebenarnya sesuai dengan budaya saja tertolak di lingkungan pekerjaan pemerintah, apalagi cadar dan celana cingkrang yang jelas-jelas tidak sesuai dengan kebudayaan lokal.
Alangkah baiknya kaum cadar dan celana cingkrang sadar diri dan ‘neriman‘ terhadap wacana yang kemungkinan besar akan diketok palu oleh pemerintah, berbesar hati seperti yang ditunjukkan kaum sarungan yang menunjukkan kearifan dan kedewasaan sikap bernegara.