Siang itu matahari bersinar terik, saat sebuah mobil SUV legendaris berhenti di Alun-alun Menes, Padeglang, Banten yang diikuti oleh beberapa mobil di belakangnya. Pintu mobil belakang sisi kiri kemudian dibuka oleh seorang berkemeja putih. Lalu sosok yang ditunggu banyak warga di alun-alun itu melangkah keluar dari mobil.
Pria itu adalah Menkopolhukam Wiranto. Memakai batik biru, Wiranto langsung menyalami seorang polisi yang menyambutnya. Namun tiba-tiba seseorang berkaos hitam menyelinap dari belakang polisi dan menikam perut Wiranto. Mantan Panglima ABRI ini reflek dan berusaha menangkis dengan tangan kirinya. Wiranto terluka dan terhajuh ke sisi kanan.
Sementara pria itu langsung diringkus oleh aparat dan polisi yang berjaga di sekitar kejadian. Selain Wiranto, seorang polisi dan pengawal wiranto ikut terluka dalam serangan teror itu. Pria itu ternyata tak sendiri, seorang perempuan bermasker yang ternyata adalah istrinya ikut ditangkap.
Kamis itu, 10 Oktober 2019 menjadi Kamis berdarah bagi Menkopolhukam.
Peristiwa ini ditanggapi beragam oleh Netijen, salah satunya adalah yang menuduh bahwa aksi teror yang mengacam Wiranto sebagai sebuah sandiwara belaka. Tuduhan Netijen itu berpegang video yang beredar di dunia maya. Mereka merujuk pada posisi keamanan yang saat itu memang terlihat longgar, sehingga pihak keamanan seolah membiarkan saja dua orang pelaku mendekati Wiranto.
Namun tuduhan adanya rekayasa atau drama bisa dibilang mentah jika hanya berdasar pada asumsi mereka belaka. Perlu data tambahan seperti siapa perangcang, di mana mereka merancang dan kapan merancangnya. Ini sangat-sangat sulit untuk dibuktikan, jika tak mau dibilang mustahil. Sementara, jika keamanan terlihat longgar maka sejatinya itu adalah kesalahan keamanan hingga terjadi penyerangan itu. Bukan membuktikan ada “sandiwara”.
Pihak keamana sendiri membantah jika mereka kecolongan. Bila seperti itu, bila pengamanan telah ketat dan sesuai dengan prosedur, maka artinya prosedur keamanan perlu direvisi lagi. Sebab terbukti jika dengan keamanan sesuai SOP, ternyata seorang pejabat tinggi negara masih juga hampir kehilangan nyawanya.
Lalu jika ini adalah serangan teror, betapa “tololnya” melakukan teror dengan sebuah belati? Ini adalah salah satu pertanyaan yang muncul dari mereka yang menganggap serangan kepada Wiranto itu hanya sebuah “drama”.
Pertama, fakta di lapangan ada penyerang dan ada korban. Hal ini tak bisa dibantah bahwa ada aksi terorisme di sana. Kedua, meminjam istilah dari Direktur Pelaksana Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR) Adhe Bhakti, Banten adalah wilayah “merah”. Sebab di Banten sendiri secara historis masih ada jejak Negara Islam Indonesia (NII).
Sementara di Banten juga memiliki dua jejak kelompok teror yang mendominasi serangan teror di Indonesia saat ini, yaitu Jamaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Salah satu jejak kelompok yang ada di Banten adalah “Kelompok Banten”. Kelompok ini dulu berperan merampok toko emas pada 2002, kemudian hasil perampokan itu digunakan sebagai dana untuk bom Bali dan bom Bali di kaitkan dengan JI.
Jejak JAD di Banten bisa diwakili oleh Iwan Dharmawan Mutho alias Rois yang dikenal sebagai ketua Kelompok Darul Islam atau “Ring Banten”. Rois dipidana mati Pengadilan Jakarta Selatan pada 2005 karena terlibat pengeboman Kedubes Australia pada 2004 dan menyembunyikan teroris kelas kakap Dr Azahari dan Noordin M Top.
Dengan kemunculan ISIS pada 2013, Rois akhirnya bergabung dengan teman satu selnya di Nusakambangan, Aman Abdurahman untuk membentuk kelompok JAD pada 2014 dan mendukung ISIS. Dari balik penjara Rois selanjutnya mengatur serangan bom di Jalan Thamrin pada 2016.
Lalu kelompok mana penyerang Wiranto, JI atau JAD?
Jika dilihat dari pola serangan, tak mungkin ini dilakukan oleh kelompok JI, sebab kelompok JI memiliki rancangan serangan yang presisi, dan merusak. Salah satu contohnya adalah bom Bali I, bom Bali II dan bom Kedutaan Australia yang mengakibatkan banyak korban jiwa.
JAD sendiri juga tak bisa dibilang serangannya tak terencana. Misalnya serangan bom Thamrin, dan serangan triple bom di Surabaya, keduanya dirangcang dengan seksama sehingga sulit tercium oleh aparat keamanan.
Jika begitu kelompok mana yang menyerang Wiranto?
Pasti bukan JI dan bisa jadi bukan JAD, tapi Adhe Bhakti yakin 99% jika penyerang ini adalah simpatisan ISIS. Sebab kelompok ISIS memiliki strategi penyerangan yang disebut “lone wolf”. Yaitu menyerang sendirian tanpa komando secara struktural dan menggunakan apa saja yang bisa digunakan.
Salah satu contohnya adalah serangan yang dilakukan oleh seorang pemuda 22 tahun ke polisi di pos Polisi Kawasan Pendidikan, Cikokol, Tangerang pada 2016. Serangan itu mengakibatkan tiga polisi kena luka tusuk termasuk Kapolsek Tangerang saat itu Kompol Effendi.
Jika memang pelaku penyerangan Wiranto adalah kelompok JAD, artinya mereka bertindak sendiri tanpa melapor kepada Amir mereka atau tanpa ada perintah dari Amir mereka.
Tuduhan serangan kepada Wiranto sebagai “sandiwara” semakin mentah setelah identitas penyerang diungkap ke media. Kedua penyerang Wiranto disebut bernama Syahril Alamsyah alias Abu Rara dan Fitri Andriana. Kedua nama itu bulan lalu disebut oleh Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono.
Argo menyebut pasangan suami istri itu kala menjelaskan penangkapan 9 terduga teroris di beberapa wilayah di Bekasi dan Jakarta. Salah satu yang ditangkap adalah pimpinan kelompok JAD Bekasi Fazri Pahlawan alias Abu Zee Ghurobah.
Peran Abu Zee selain sebagai amir JAD Bekasi, ia juga mengordinir orang-orang untuk bergabung dengan JAD. Abu Zee juga menikahkan sesama anggota kelompoknya di kontrakannya di daerah Tambun, Bekasi. Salah satu yang dinikahkan oleh Abu Zee adalah Syarial Alamsyah alias Abu Rara dan Fitri Andriana.
Kini setelah teman-temannya tertangkap pasangan suami istri itu menyerang Wiranto. Ini secara tidak langsung menjadi bukti jika keduanya adalah JAD dan sangat-sangat kecil kemungkinan keduanya mau bekerjasama untuk membuat sandiwara penyerangan dengan Wiranto.
Muncul juga pertanyaan, lalu kenapa kalau melakukan aksi teror membawa Istri?
Kasus teror bom di Surabaya sudah dapat menjawab itu. Kasus hijrahnya banyak keluarga yang membawa istri dan anak-anak mereka ke Suriah untuk berjihad, saya pikir cukup untuk menjawab itu. Artinya, serangan teror saat ini bukan dominasi para pria, bahkan juga melibatkan keluarga dan anak-anak.
Yang patut dikhawatirkan saat ini adalah “Copycat”. Yaitu serangan yang dilakukan oleh pasutri ke Wiranto akan dicontoh dan menjadi barometer serangan oleh anggota kelompok teror lain. Artinya, pejabat-pejabat tinggi negara bisa menjadi target serangan teror seperti Wiranto.
Kekhawatiran ini juga yang seharusnya membuat polisi memperbaiki pengamanan terhadap pejabat negara, terutama pengamanan kepada Presiden sebagai Kepala Negara.
Sumber gambar: Okezone.com