Ada gelombang cuitan yang hebat selepas ditayangkannya film Joker dua hari yang lalu. Ada yang mengatakan betapa tak terduganya film itu, ada yang mengatakan betapa menganggu dan betapa menggelisahkan perjalanan pemain utama dalam film tersebut, bahkan ada yang kecewa karena ternyata film itu bukanlah film heroism dan tidak ada sosok Batman sebagai ‘sang baik’ yang punya kemampuan untuk melawan ‘sang jahat’.
Memang, film Joker memberikan kita sudut pandang baru di mana batas antara kebaikan dan kejahatan tak menjadi hitam putih lagi, melainkan abu-abu. Itulah sensasi yang saya rasakan pula ketika ikut menikmati pementasan ‘Sengkuni’ pada awal tahun 2019 di Taman Budaya Yogyakarta.
Bagi yang belum mengetahui siapa itu Sengkuni, Sengkuni ialah tokoh antagonis dalam wayang yang dikenal sebagai penghasut perang antara Pandawa dan Kurawa. Dia dikenal sebagai penghianat dan jahat, bahkan dalam pementasan itu ditunjukkan pula kalau Sengkuni tega-teganya memakan daging keluarganya sendiri demi untuk bertahan hidup.
Pada intinya Sengkuni adalah tokoh yang sangat jelek dan masing-masing orang punya alasan kuat untuk membencinya. Ia adalah perwujudan sempurna dari ‘kejahatan’. Sama seperti halnya Joker, kalau kita semua melihatnya di film-film Batman sebelumnya. Dia adalah pembunuh dan penyebar onar, dan semua itu dilakukan hanya atas dasar kesenangan pribadi semata.
Merugikan masyarakat dan membuat semuanya menjadi kacau, siapa yang bisa tidak membenci Joker? Sengkuni dan Joker memang telah berhasil menyimbolkan diri mereka secara sempurna sebagai bagian ‘hitam’ dari diri manusia, sedangkan Pandawa dan Batman adalah sosok yang mencoba memerangi si jahat itu. mereka juga merupakan perwujudan tanpa cela tentang ‘’si baik’’. Merekalah bagian ‘putih’ yang dinobatkan menjadi teladan kemanusiaan.
Dikarenakan menjadi teladan dan acuan dalam bersikap, banyak kisah-kisah yang kemudian diceritakan dari sisi ‘si baik’ saja. Kita semua secara sadar dan tak sadar mulai mengidolakan tokoh-tokoh protagonis dalam suatu cerita.
Bahkan, ketika tokoh antagonis semakin jahat, semakin peduli dan besar harapan kita terhadap tokoh protagonis untuk melakukan tindakan heroik yang nantinya bisa menumpas kejahatan. Begitulah,suatu kisah seringkali memang berat sebelah. Sangatlah jarang ada suatu kisah yang mengambil sudut pandang dari mereka yang pada mulanya dibenci, dan untungnya film Joker lantas muncul untuk mematahkan mainstream selama berpuluh-puluh tahun ini.
Patut disetujui bahwa film Joker memanglah ‘menganggu’ dan menyentil psikologis kita jika kita memiliki kemampuan untuk membayangkan bagaimana seandainya jika diri kita ada di posisinya. Selama kita mengenal Joker dari film Batman, kita tak pernah mengetahui alasan kuat mengapa Joker bisa berperilaku sangat kejam dan melebihi setan.
Kita hanya ditunjukkan sosok Joker dalam lapisannya yang paling luar saja. Itupun masih dibantu melalui kacamata Batman dan orang-orang yang tidak menyukainya. Namun, pada film ini, kita ditunjukkan bagaimana sosok Joker berdasarkan sejarah hidup dan berbagai penderitaan dan rasa sepi yang dia alami sendiri.
Melalui itu, kita bisa merasakan betapa menyiksa ketika seseorang berusaha untuk mencintai dunia yang tidak mencintainya kembali. Sama halnya seperti Sengkuni, hingga detik ini Sengkuni masih dianggap sebagai sosok yang paling biadab dan munafik. Tapi kita sendiri pun tak pernah tahu penderitaan macam apa yang membuat seorang manusia bisa bertindak sedemikian kejamnya.
Ketika Sengkuni melakukan perbuatan bengis dan amoral, kita tak tahu bahwa sejatinya itu adalah respon dia terhadap penderitaan-penderitaan yang selama ini dijatuhkan kepadanya.
Dendam yang dia selalu bawa sebenarnya dalam rangka untuk membela martabat keluarganya yang telah dihancurkan oleh Prabu Drestarasta. Maka ia lah yang saat itu memikul tanggung jawab moral untuk mengembalikan martabat keluarganya yang telah dihinakan.
Bahkan dalam pementasan tersebut ditunjukkan pula adegan ketika Sengkuni terpaksa memakan daging keluarganya dan orangtuanya sendiri. Namun, alih-alih men-cap bahwa tindakan tersebut adalah bengis, tindakan memakan saudara lain sebenarnya adalah taktik yang masuk akal.
Diceritakan bahwa Sengkuni dan keluarganya dikurung dan hanya diberi sebutir nasi untuk satu orang setiap harinya. Jumlah itu tentu tidaklah cukup. Atas kesepakatan bersama, maka butir-butir nasi itu pun dikumpulkan dan diberikan kepada anggota keluarga yang paling memiliki kemampuan untuk mengembalikan martabat keluarga yang telah hancur. Dialah Sengkuni itu. akan tetapi, butir-butir beras yang dikumpulkan itu ternyata masih kurang juga.
Akhirnya, masing-masing dari saudara dan bahkan orangtua Sengkuni mengikhlaskan diri mereka untuk dimakan. Semua itu dengan harapan bawha Sengkuni bisa terus hidup dan kemudian membalaskan dendam keluarga. Pada adegan inilah, kita dibuat untuk berfikir kembali.
Sejahat-jahatnya manusia, tidak akan ada yang sampai hati untuk memakan dan memutilasi daging saudaranya sendiri dan mereguk darah orangtuanya sendiri. Sengkuni pun sebenarnya tidak mau dan menolak pengorbanan saudara-saudaranya dengan penuh kesedihan, tapi dia harus melakukan hal itu untuk kepentingan nama keluarganya di masa depan.
Kisah Joker dalam filmnya pun selain mendapat respon dari orang-orang yang terkejut akan masa lalunya, juga kemudian mendapatkan respon yang bernada empati. Mulai banyak orang yang kemudian menyadari bahwa Joker memiliki alasan kuat untuk bertindak sejahat itu. masa lalunya pedih [walau tak sepedih Sengkuni] dan ternyata tidak ada orang yang jahat secara murni dan mutlak. Mereka berdua adalah alasan kita untuk menunda agar diri kita tak dikuasai kebencian.
Terkadang ketika kita terlalu terhanyut dalam suatu kisah, kita lantas membenci mereka yang sikapnya sangatlah jahat bagi kita. Namun kita jadi terlena dan menutup mata untuk sekadar bertanya “Penderitaan macam apa yang membuat seseorang bisa menjadi sejahat itu?”