Setelah mengarungi perjalanan intelektual yang panjang dalam mempertahankan mazhab Ahlussunnah, menjelang wafatnya Imam Abul Hasan al-Asy’ari (w. 324)—atau yang kita kenal dengan Imam Asy’ari—sempat berkata kepada salah seorang muridnya:
“Bersaksilah untukku (wahai muridku), sesungguhnya aku tidak mengafirkan Ahlu qiblah.Karena semuanya mengarah pada Tuhan yang satu. Dan semua (perdebatan) ini sejujurnya hanya soal perbedaan dalam ungkapan belaka.”
Petuah terakhir beliau ini kiranya cukup menjadi tuntunan tentang bagaimana seharusnya kita—sebagai orang Sunni—menyikapi perbedaan pendapat yang terjadi dalam tubuh umat Islam. Imam Asy’ari, sebagai imamnya orang-orang Sunni, menolak untuk mengafirkan Ahlu qiblah. Ahlu qiblah yang dimaksud tentunya ialah seorang Muslim yang masih percaya dengan dasar-dasar ajaran Islam, dan masih menghadap kiblat.
Terlepas dari apapun mazhabnya, selama dia berstatus sebagai Muslim, mengikrarkan dua kalimat syahadat, dan percaya dengan dasar-dasar ajaran Islam, maka Imam Asy’ari menolak untuk mengafirkannya. Harusnya orang-orang Sunni, dan orang-orang di luar Sunni, menghayati pesan ini dengan baik. Karena ini adalah keteladan yang telah ditunjukan oleh junjungan mereka sendiri.
Ahlussunnah punya sikap yang tegas dan jelas, bahwa tidak boleh hukumnya mengafirkan seseorang, dengan maksud untuk mengeluarkan dia dari Agama Islam, kecuali kalau yang bersangkutan mengingkari salah satu prinsip ajaran yang dulu pernah memasukkan dia kedalam Islam. Sikap seperti ini sangat fair.
Orang tidak boleh dikeluarkan dari suatu Agama, kecuali kalau dia mengingkari—dengan pengingkaran yang tegas dan jelas—apa yang dulu pernah memasukkkan dia kedalam Agama itu.Ibarat Anda masuk kedalam rumah melalui satu pintu, dan tak Anda pintu masuk lain kecuali pintu itu, Anda hanya bisa keluar dari rumah tersebut, kalau Anda melewati pintu yang sebelumnya memasukkan Anda kedalam rumah itu.
Kita semua tahu, seseorang itu bisa menjadi Muslim yang sah manakala yang bersangkutan mengikrarkan dua kalimat syahadat. Syahadat itu berisikan pengikraran bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan pengakuan bahwa Nabi Muhammad Saw merupakan utusan Allah.
Apakah selesai sampai di situ? Tentu saja tidak. Keimanan atas dua prinsip tersebut melahirkan konsekuensi-konsekuensi lanjutan. Kalau Anda percaya kepada Nabi Muhammad, Anda juga harus percaya dengan semua ajaran yang dibawanya. Percaya dengan rukun Islam yang lima, juga percaya dengan rukun iman yang enam.
Itulah prinsip-prinsip yang menjadikan seseorang sebagai Muslim yang sah. Apapun jenis mazhabnya, selama dia percaya dengan dasar-dasar itu, yang bersangkutan tidak boleh dikafirkan.
Lalu kapan seseorang bisa disebut kafir? Seseorang baru dikatakan kafir, sekali lagi, kalau dia mengingkari salah satu dari prinsip ajaran yang dulu pernah memasukkan dia kedalam Islam. Misalnya ada orang yang tak percaya bahwa al-Quran itu merupakan wahyu dari Tuhan.
Kalau dia mengingkari kewahyuan al-Quran dengan pengingkaran yang sarih, maka yang bersangkutan sudah keluar dari Islam. Sebab, keimanan terhadap al-Quran merupakan konsekuensi dari keimanan terhadap Nabi Muhammad Saw.
Tapi bagaimana kalau orang berbeda tafsir dengan para ulama terkait satu atau dua ayat dalam al-Quran? Sejauh yang tidak dia setujui itu menyangkutan persoalan partikular, maka yang bersangkutan tidak boleh dikafirkan. Sebab dia masih percaya dengan asal, yakni keyakinan bahwa al-Quran itu merupakan wahyu dari Tuhan.
Hal yang sama berlaku manakala kita mendiskusikan persoalan-persoalan keagamaan lainnya. Poin intinya, orang baru boleh dikafirkan kalau memang dia mengingkari dengan pengingkaran yang jelas akan salah satu prinsip ajaran yang dulu pernah memasukkan dia kedalam Islam. Inilah sikap Ahlussunnah, yang tercermin melalui wasiat Imam Abul Hasan al-Asy’ari di atas.
Sekarang kita kerap menyaksikan fenomena sebaliknya. Sekali beda pendapat dengan ulama langsung dikeluarkan dari Agama. Berbeda tafsir langsung diusir. Berbeda pendapat langsung dilaknat. Berbeda sudut pandang langsung disesat-kafirkan.
Sikap seperti ini tidak sehat dalam kehidupan beragama kita. Takfirisme merupakan racun. Takfirisme adalah musuh kita bersama. Orang-orang yang mudah mengafirkan biasanya berasal dari kalangan yang miskin wawasan dan tak punya ketelitian dalam menilai pandangan orang.
Tak banyak gunanya kita mengafirkan orang. Kafir-iman itu urusan hati. Dan manusia tidak punya otoritas untuk memasuki dimensi yang tersembunyi itu. Orang-orang non-Muslim yang kita pandang kafir itu sebetulnya boleh jadi hatinya sudah beriman. Mungkin kelak Anda akan terkaget-kaget, ketika melihat orang-orang yang selama hidup di dunia berstatus sebagai non-Muslim, tapi karena hatinya sudah beriman, dengan keimanan yang benar, maka Tuhanpun memasukkannya kedalam sorga.
Hal yang sama berlaku sebaliknya. Bisa jadi kita mengenal orang-orang yang selama di dunia dikenal beragama Islam, tapi karena dalam hatinya ada pengingkaran—dan itu sangat mungkin terjadi—diapun dimasukkan kedalam neraka bersama orang-orang yang tak beriman.
Dari Imam Asy’ari kita bisa belajar, bahwa betapapun kita bertengkar keras seputar persoalan-persoalan agama, tapi ada satu hal yang merekatkan kita semua. Kita semua masih menyembah Tuhan yang sama, beriman kepada nabi yang sama, dan salat dengan menuju kiblat yang sama. Kita semua masih Ahlu qiblah, dalam istilah beliau. Dan itu cukup menjadi alasan bagi kita untuk tidak mengafirkan sesama.
Mirisnya, sikap mudah mengafirkan itu kadang ditunjukkan oleh orang-orang yang mendaku sebagai bagian dari Ahlussunnah. Padahal, Imam Asy’ari sendiri, sebagai tokoh sentral dalam mazhab tersebut, punya komitmen yang tegas untuk menolak takfirisme itu.
Sudah selayaknya, sebagai seorang Sunni yang baik, kita mengikuti jejak beliau untuk tidak mudah mengafirkan sesama Muslim. Sikap mudah mengafirkan hanya akan memperkeruh dunia keberagamaan kita.
Alih-alih menciptakan perdamaian, sikap semacam itu hanya akan mencitrakan kita sebagai umat yang rajin bermusuh-musuhan. Sementara Islam menghendaki perdamaian dan kehidupan yang damai. Tak ada manusia berakal sehat yang tak menginginkan perdamaian. Tapi, selama takfirisme menjalar luas, mewujudkan perdamaian ibarat mencari sumber mata air di tengah padang pasir yang gersang. Perdamaian hanya akan menjadi utopia manakala kita tak mampu menghargai antar-sesama.
Sebelum mengafirkan orang, hendaknya kita sadar bahwa kita semua adalah makhluk yang terbatas. Masing-masing orang melihat kebenaran sesuai dengan kemampuan dan kekurangan yang dimilikinya. Tuhan—seperti kata Prof. Quraish Shihab—tidak akan bertanya lima tambah lima itu berapa. Yang akan Tuhan tanyakan ialah sepuluh itu berapa tambah berapa. Jalan menuju sorga terlalu luas untuk kita ringkus dalam satu mazhab saja.
Jika kita memimpikan perdamaian, maka langkah awal yang bisa kita lakukan ialah menumbuhkan sikap terbuka terhadap orang-orang yang memiliki pandangan berbeda. Betapapun, sikap mudah mengafirkan orang tak mencerminkan ajaran Ahlussunnah, juga tidak merepresentasikan ajaran Islam, yang dikenal terbuka, toleran, dan punya komitmen kuat untuk mewujudkan perdamaian. Demikian, wallahu ‘alam bisshawab.