Saat kita menyusuri jalanan Ibu Kota Jakarta, tampak jelas pandangan tertuju pada bangunan-bangunan tinggi ibarat hutan beton yang dihiasi dengan papan nama dipermukaan gedung sebagai tanda kebesarannya, namun jangan dibayangkan ini rimba hutan seperti yang masih tersisa di dataran Kalimantan.
Gedung-gedung berjejer saling bertautan memancarkan kemegahan terlihat jelas dari jalanan ibu kota, kita bisa menyaksikan hiasan gedung-gedung pencakar langit yang umum tidak saling kenal tetangganya, tentunya bukan rumah warga, tapi bangunan komersial yang siap bersaing menggaet pundi uang, sebagai perkantoran dan hotel.
Menurut catatan data yang penulis sadur, Jakarta berada di urutan ke 7 sebagai pemilik gedung tinggi terbanyak dunia. Jumlah gedung pencakar langit yang ada di Jakarta mencapai 382 gedung.
Dari data tersebut, beberapa gedung masih dalam proses pembangunan, di antaranya Icon Tower 1 dengan tinggi 350 meter, Thamrin Nine Tower 1 setinggi 334 meter, Gama Tower setinggi 286 meter dan Wisma 46 Setinggi 262 meter, perkiraan akan rampung semua pada tahun 2019 ini (The Skyscraper Center). Tugu Monumen Nasional sebagai icon gedung tertinggi, hanya akan menjadi catatan sejarah sempat menjadi tower tertinggi di Ibu Kota Jakarta.
Udara Pekat
Seiring pesatnya kemajuan industri dan pembangunan, kita akan sering menyaksikan pekatnya awan menyelimuti Ibu Kota Jakarta, hal itu bukan karena proses perubahan uap air ke air hujan, namun hitam pekat awan yang menyelimuti ibu kota akibat dari emisi cerobong asap industri dan polusi kendaraan yang tiap tahun semakin meningkat.
Tiap harinya ada ribuan paku alam menancap ke dalam perut bumi Jakarta, meningkatnya pembangunan gedung pencakar langit yang sudah tentu menghentikan setiap tetes resapan air.
Hutan beton yang dibangun oleh jutaan buruh tersebut, menghasilkan peluh yang terkucur mengalir tak terhitung derasnya serta lepuhan tangan mengepal, seperti aspal mulus didepan gedung-gedung yang terlihat mulus namun saat disentuh tetap terasa kasar.
Menurut Badan Meterorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), mengungkapkan kualitas udara Jakarta belakangan ini disebabkan oleh tiga faktor yakni, polusi kendaraan, pembangunan, dan musim kemarau.
Selain itu dalam catatan Greenpeace Indonesia faktor pokok disebabkan adanya pembangkit listrik tenaga uap batu bara dalam radius 100 meter di sekitaran Jakarta, sekaligus kondisi tersebut menempatkan Jakarta sebagai kota penyumbang polusi terbesar di Asia Tenggara.
Penulis teringat beberapa tahun silam, yang mengumpamakan hanya ada satu hari udara Jakarta bisa dikatakan cerah dan bersih yaitu, pada saat hari pertama Idul Fitri, yang kala itu sempat viral dalam pemberitaan cuaca Jakarta bebas dari polusi.
Jika menelisik ke belakang di mana ibu kota Jakarta, kisaran 40 tahun yang lalu, semua orang masih dapat melihat ke kubah langit malam untuk menyaksikan taburan ribuan bintang berkedap kedip memancarkan cahaya mungil. Kunang-kunang pun laksana bintang berkerlap kerlip bercengkerama satu sama lainnya.
Hampir setiap malam tiba, teramat susah bagi penghuni Ibu Kota untuk menikmati bentangan galaksi bima sakti secara natural. Alam semesta yang tercemari oleh noda emisi karbon, nyata secara fisik sudah mulai mengganggu lingkungan, keselamatan, konsumsi, energi, hingga taraf untuk mengubah pola hidup sehat.
Kemacetan dan Meluapnya Kendaraan di Jakarta
Meningkatnya volume kendaraan, sejalan dengan kemacetan yang tidak bisa kita hindari, sering pula kita temukan jalan-jalan di Kota Jakarta menyatu dengan bibir pagar gedung dan halaman rumah penduduk (apalagi dalam perkampungan sudah tentu sempit dan sesak), bukan cuma satu alasan pemerintah tidak mampu melebarkan jalan.
Namun banyak yang harus dikorbankan serta biaya begitu mahal jika harus melakukan penggusuran pemukiman warga. Selain itu akan terdengar tak populis jika penggusuran menjadi pilihan pemerintah, sekalipun sering juga menjumpai penggusuran secara langsung terjadi di sekitaran Ibu Kota Jakarta.
Kendaraan yang terus meningkat tak sebanding lurus dengan pelebaran jalan yang diberikan pemerintah, sekalipun jalanan tol yang berleok leok seperti ular tanggga terus dibangun, seakan kemegahannya seperti jembatan tol yang ada di Kelok Sembilan, Payukumbuh, Sumatera Barat.
Pesatnya pembangunan infrastruktur menjadi agenda rutin pemerintah menggalang kerjasama investasi, seakan sudah dipastikan hanya melalui investor kelas kakap, pembangun mega proyek infrastruktur tol bisa dilaksanakan.
Sekalipun pembangunan fasilitas umum menjadi alasan tunggal yang terus digenjot, namun belum juga menuai hasil mengatasi kemacetan. Kebijakan wacana untuk memperluas jangkauan ganjil-genap pembatasan kendaraan mobil pribadi baru baru ini mulai digengungkan kembali oleh pemerintah DKI Jakarta, untuk mengurai kemacetan jalanan tersebut.
Berdasarkan data dari BPS DKI Jakarta, tahun 2019 jumlah kendaraan bermotor rata-rata tumbuh lima persen dalam lima tahun, kurang lebih ada 18 Juta kendaraan bermotor masuk Jakarta setiap hari nya.
Sedangkan panjang jalan yang ada hanya bertambah kurang dari 0,1 persen. Komposisi lalu lintas secara umum adalah sepeda motor 73,92 persen, angkutan umum 19,58 persen (terus berkurang tiap tahunyan, terkecuali angkutan online), mobil beban 3,83 persen, mobil bus 1,88 persen serta kendaraan khusus 0,79 persen.
Artinya, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta jauh lebih banyak dari ruas dan panjang jalan yang tersedia. Sehingga jalanan Jakarta overload, akibatnya kemacetan parah terjadi di hampir seluruh ruas jalan.
Isu Kepindahan
Gemuruh mesin kendaraan dan peralatan berat tiap harinya akan mudah ditemukan ditangan buruh yang sibuk menancapkan paku alam, di atas petak tanah yang sudah tak begitu luas lagi di dataran Jakarta, memang ketersedian lahan semakin hari semakin tak terlihat tanahnya, karena sudah tersirami oleh tumpahan hotmic dan aspal. Mungkin jalan satu satunya adalah reklamasi bibir pantai yang ada di Jakarta.
Gedung tinggi yang tertata terlihat ramping keatas berjajaran tersebut, menurut logika bukan karena tak mampu membangun melebar kesamping, namun seperti yang sudah diutarakan sebelumnya, ketersedian lahan yang sudah tidak nampak lagi tanahnya. Kita bisa taksirkan, dimana gedung itu semakin keatas semakin tercermin bahwa bangunan tersebut bernilai tinggi yang tak mampu saya hitung satu persatu nilai aset nya.
Beriringan dengan gedung-gedung megah yang terus akan tumbuh, nuansa hangat hadir dari para elit politik ibu kota yang sibuk sedang tarik menarik menyusun Kabinet Kerja Jilid II. Sehingga alangkah baiknya jika isu akan kepindahan ibu kota ke pulau Kalimantan segera direalisasikan.
Alasannya sederhana, lingkungan sehat, kondusif dan cagar alam masih tumbuh subur, sebagai penghambat emisi karbon, tidak untuk di Jakarta. Karena sudah penuh sesak penduduknya, sesak pula polusi udara dan kemacetan nya.